Keesokan harinya. Siang ini Neil sedang tidak ada jadwal kuliah, dari pagi dia sudah sibuk sendiri di kamar kos. Dia duduk di atas kasur, sambil menatap laptop untuk menulis cerita yang ingin diikutsertakan ke festival film pendek. Sudah hampir tiga jam di depan laptop, tapi naskahnya tak kunjung selesai. Dari tadi dia hanya mengetik lima baris sinopsis, tapi dihapus lagi, ditulis, dihapus, tulis, hapus, hanya itu yang dilakukan. Dia tidak punya ide.
Dia masih belum menghubungi Vega, karena ingin fokus menulis cerita. Namun kenyataannya, dia sama sekali tidak menulis apapun, pikirannya terus tertuju pada Vega, Vega dan Vega.
Neil dilema. Dia sangat yakin kalau festival film pendek ini merupakan pintu untuknya masuk ke industri film, tapi disisi lain ada Vega yang sangat dia cintai, belum lagi ditambah masa perkuliahan sudah menjelang ujian akhir semester. Saat ini kepalanya seakan mau pecah karena impian, cinta dan tanggung jawab, sedang tidak berpihak padanya. Dia sadar satu satunya jalan keluar, harus memilih salah satu diantara pilihan yang ada.
Di tengah kekalutannya, Neil mengambil handphonenya lalu chat Tiara. Dia butuh seseorang untuk berbagi beban dengannya.
“Gue stuck banget.” Tulis Neil di chatnya.
“Kenapa? Kepikiran kan lo?” Jawab Tiara tak lama kemudian.
“Gak tau dah.”
“Mau curhat? Yaudah ketemu aja yuk? Gue laper belom makan.”
Neil langsung menghentikan ketikannya, saat Tiara mengajaknya untuk ketemu. Dia ingat kejadian di kantin saat Tiara tiba tiba menggenggam tangannya. Dia tidak ingin kalau Tiara memiliki perasaan lebih kepadanya. Menurutnya jika mengiyakan ajakan Tiara untuk ketemu, sama saja memicu potensi masalah yang tidak dikehendaki.
Yang dilakukan Neil selanjutnya, mengunci handphone lalu menyimpannya di bawah bantal, dia kembali mencoba fokus menulis cerita.
Disisi lain, dengan masih memakai piyama Vega baru saja masuk ke kos setelah membeli makan siang di warteg. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan kantung mata menghitam karena sudah beberapa hari dia belum cukup tidur. Saat mau naik tangga menuju ke kamar, dia malah papasan dengan bu Reni yang turun sambil menyapu tangga. Melihat Vega, bu Reni akhirnya memutuskan untuk basa basi sebentar.
“Gak kuliah, Mbak?
Belum Vega, sempat menjawab. Fokus bu Reni malah ke lengan kiri Vega yang terdapat tanda memar kebiruan. Vega tidak sadar dengan tanda itu, padahal piyama berlengan pendek. Tau bu Reni menyadari tanda itu, dia buru buru menutupnya dengan tangan kanannya.
“Ohh ini, gapapa, Bu. Aku lagi kurang enak badan, jadi gak sadar ketabrak meja.”
Selesai bicara, Vega langsung buru buru masuk ke kamarnya. Bu Reni bukan orang bodoh, tidak mungkin kalau ketabrak meja memarnya bisa sebiru itu. Bu Reni yakin kalau Vega baru saja menerima kekerasan karena disiksa oleh Neil. Padahal sebenarnya tanda memar itu karena ulahnya sendiri yang mencubit lengannya dengan sangat keras.
Vega masuk kedalam kamarnya lalu melempar bungkusan nasi warteg ke atas kasur. Tiba tiba handphonenya berdering dari saku celana, dia sumringah karena mengira kalau itu telepon dari Neil. Namun saat dilihat ternyata dari nomor tidak dikenal. Vega mengangkatnya, ternyata itu telepon dari klinik psikolog.
“Iya betul, ada apa? Tanya Vega kepada wanita yang bicara dari ujung telepon.
“Maaf mengganggu. Saya mau mastiin kira kira mba Vega ada waktu untuk ketemu di klinik besok lusa jam satu siang? Ada hal penting yang mau disampaikan.”
Itu adalah telepon dari klinik psikolog tempat Vega memeriksa diri. Dia mulai menerka nerka apa yang sedang terjadi.
“Oke, bisa kok, mba.”
Vega menutup telepon dan mulai berpikir kalau ada suatu hal yang tidak beres. Dia takut kalau ternyata benar benar mengalami gangguan bipolar. Rasa takutnya menjadi cemas yang berlebihan, sampai tak sadar dia kembali mencubit tangannya sendiri.
Kembali lagi ke Neil yang masih stuck dengan idenya. Dia masih terus menatap layar laptop tanpa mengetik satu kata pun di laptopnya. Kepalanya berat, sangat berat, andai ada jasa jual beli otak, dia pasti sudah jadi pemborongnya. Neil mengambil handphonenya dari balik bantal, membuka aplikasi youtube, lalu memainkan lagu Chrisye, Merpati Putih.
Lagu Chrisye, Merpati Putih, yang diciptakan oleh Eros Djarot berkumandang memenuhi semua sudut ruangan kamar kos Neil yang sempit. Suara alunan musik merasuk membuat bulu kuduknya merinding, lirik demi lirik terserap ke dalam perasaan lalu hati.
Mengering sudah bunga di pelukan
Merpati putih berarak pulang
Terbang menerjang badai
Tinggi di awan
Menghilang di langit yang hitam
Neil terhanyut saat lagu masuk di bagian pertama,dia merasa emosinya sedikit memaksa untuk keluar. Saat bagian kedua lagu, dia merasakan sensasi magis saat di bagian lirik...