Bintang & Bulan

Agung Gumara
Chapter #11

Neil Hilang

Hujan turun dengan sangat deras disertai petir menyambar. Vega masih terus menangis meneriakan nama Neil, sekarang dia baru menyadari hal yang baru saja terjadi merupakan sebuah kesalahan fatal. Melihat Vega menangis, bu Reni terus menenangkannya.

“Udah, biarin aja dia pergi. Liat positifnya aja.” Ucap bu Reni dengan intonasi suara sangat keibuan.

Chika menambahkan, “iya betul biarin aja, nanti pasti kamu dapet yang lebih baik kok.”

“Iya, nanti gue kenalin deh sama temen gue ya.” Tambah Chiko dengan senyum sangat lebar, yang direspon Chika dengan cubitan sambil berbisik mengucapkan “jangan ganjen”. Bu Reni yang melihat mereka berdua, langsung menenangkan meminta jangan berisik.

Sejujurnya Vega saat ini sama sekali tidak memperdulikan mereka bertiga. Dalam pikirannya terus kilas balik masa masa suram saat dia melempar catokan, saat dia mencakar, saat Neil menamparnya, dan saat papa berbuat kasar pada mamanya. Dia sangat menyesali apa yang sudah terjadi, dia sangat terpuruk dan merasa sudah tidak berguna lagi untuk hidup di dunia ini.

Vega tiba tiba melepaskan tangan bu Reni yang dari tadi terus mencoba menenangkannya. Dia mengambil gunting yang dari dalam laci meja, kemudian mencoba menusuk dadanya sendiri. Namun untungnya Chiko yang melihat itu, langsung sigap menarik tangan Vega untuk mencegahnya melakukan hal yang tidak diinginkan. Bu Reni dan Chika jadi ikut panik dan langsung mendekap Vega.

“Chika, ambil itu guntingnya!” Teriak bu Reni memerintahkan Chika mengambil gunting dari tangan Vega. Dengan sekuat tenaga Vega menarik gunting, lalu melemparnya jauh keluar pintu. Setelah gunting terlempar, Chiko melepaskan tarikan tangannya. Dia meraih Chika yang terlihat sangat terkejut.

“Biariiiin!!! Biariiiin!!!” Teriak Vega yang dalam pikirannya sekarang ingin mencoba bunuh diri. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi menahan semuanya.

“Sabaar , sabar. Kamu tenang ya, tenang.” Bu Reni terus mencoba menenangkan dengan mendekap Vega dengan kencang. Chika menangis dan merasa kasihan karena melihat tetangga kost nya sedang sangat terpuruk. Chiko kemudian memeluk Chika yang menangis untuk menenangkannya. 

Vega masih terus meronta ronta meminta bu Reni untuk melepaskan dekapannya. Tapi setiap Vega beraksi, bu Reni terus memberikan reaksi dengan mengencangkan dekapannya. Vega hanya bisa teriak memanggil nama Neil. Teriakannya sangat kencang seperti beradu dengan suara hujan dan petir yang terus menyambar.

***

Sudah pukul sepuluh malam, hujan masih turun dengan sangat deras. Neil masuk ke dalam kamar kost dengan memakai kaos santai dan handuk di kepala untuk mengeringkan rambutnya. Dia baru saja selesai mandi, setelah melewati hujan deras selama perjalanan pulang. Dadanya masih berdegup kencang karena terus kepikiran kejadian saat di kost Vega. Dia masih bingung bagaimana menanggapi nasibnya sekarang, nama baiknya sudah rusak tapi disisi lain ini adalah waktu yang tepat untuk pergi meninggalkan Vega.

Dia menggantungkan handuk di gantungan baju di belakang pintu, lalu mengambil flyer festival film pendek yang waktu pendaftarannya sudah semakin dekat. Dia mulai ragu kalau waktunya masih cukup untuk mendaftar, karena sampai sekarang dia belum melakukan persiapan apa apa. Namun asa untuk mengejar cita cita dari dalam hatinya belum padam. Dia ingat pesan ibunya, “jangan ragu untuk melangkah”.

Dia mencoba mengalihkan pikirannya yang masih terus mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Sekarang yang harus dipikirkan adalah langkah selanjutnya, mengejar cita cita sebagai seorang sutradara. Satu satunya cara ekstrim yang harus dilakukan saat ini adalah, meninggalkan kehidupan sekarang dan membangun kehidupan yang baru. Dia berencana pergi. Sebuah rencana yang sebenarnya sudah dia pikir sebelumnya sampai beberapa kali.

Neil kemudian membuka gorden, dia melihat air hujan masih terus membasahi jendela kamar kost nya. Dia mendongak ke atas mencari bintang dan bulan tapi dia malah tertawa dan dalam hati bicara, “bego banget, mana ada bintang sama bulan kalo lagi hujan deres kayak gini.”   

Handphone Neil berdering, dari layar terlihat kalau itu telepon dari Tiara. Sepertinya Tiara penasaran bagaimana nasib Neil sekarang.

“Halo, Tir. Kenapa?” 

“Halo, lo dimana?” Jawab Tiara diujung telepon sambil mengerjakan tugas di depan laptop di dalam kamarnya.

“Di kost. Kenapa?”

“Gapapa, gue kira lo gak selamet.”

Neil tersenyum menanggapi ucapan Vega, karena dia sendiri bingung apakah sebenarnya dia selamat atau tidak. Vega menutup laptopnya, dia mulai masuk ke topik pembicaraan yang serius.

“Jadi gimana hasilnya?”

“Ya, gitu deh.”

“Gitu deh, gimana?”

Sebenarnya Neil malas menanggapi pertanyaan ini, karena dia sudah mengalihkan pikirannya ke hal lain. Namun karena sekarang Tiara yang tanya, apalagi sebelumnya dia sudah curhat, jadi dia tidak bisa mengelak menjawabnya.

“Dia gak mau…” Jawab Neil sambil kembali membuka gordennya untuk melihat hujan.

“Terus gimana?”

“Kejadian lagi, Tir. Dia gak terima, gue dipukulin bertubi tubi.”

“Ya ampun, akhirnya gimana?” Tiara yang kaget kembali mengajukan pertanyaan dengan penuh rasa penasaran.

“Gue hilang kesabaran, akhirnya gue tampar dia.” Mata Neil berkaca kaca saat bicara, dia masih tidak menyangka telah melakukan tindakan yang sangat kasar kepada seorang wanita yang dia sayangi. Dia menutup gorden, lalu duduk diatas kasur. Dia menyesali perbuatannya.

Tiara terdiam tidak bisa berkata kata, dia terkejut. Dia tidak menyangka Neil bertindak sangat kasar kepada seorang wanita, karena dia tahu sahabatnya ini sangat menyayangi adik dan ibunya. Tiara memutuskan tidak menanggapi jawaban dari Neil yang ini, dia mengalihkannya ke pertanyaan lain.

“Terus sekarang gimana? Lo sama dia?”

Lihat selengkapnya