Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #1

Rumah Itu #1


Pagar hitam itu kubuka kuncinya dari bawah lalu perlahan kugeser. Lalu pagar hitam itu kembali kugeser dan kukaitkan lagi ke slot kuncinya.

Setelah hampir enam bulan kematian Ibu, rumah ini makin tak terawat. Sandal-sandal yang dahulu biasa kami pakai untuk menginap di sini ternyata sudah tidak ada. Menaiki tangga menuju kamar di paviliun samping, debu-debu tebal sudah menyambutku.

“Mungkin karena lama tak ditempati,” pikirku saat merasakan debu-debu itu.

Dahulu, sebelum Ibu meninggal, kami rutin meminta tolong orang yang biasa membersihkan rumah. Namun, setelah Ibu meninggal dan ada persengketaan di antara kakak kedua dan keempat, rumah ini mendadak sunyi.

Kakak keempatku, Zalina, ia dahulu rajin merawat rumah orang tua kami. Zalina sangat apik soal kebersihan rumah dan kesehatan ayah dan Ibu. Bisa dibilang, Zalina lah yang paling rutin mengunjungi ayah dan ibu saat kami sudah saling berpisah rumah.

Sebelumnya, ia juga pernah menghidupkan majelis taklim di masjid dekat rumah kami. Dan untuk yang ingin mengkuti pelajaran tambahan, bisa mengikutinya selepas magrib di rumah. Karenanya beberapa dari kami sempat mewacanakan agar rumah kami ditinggalinya untuk dihidupi dengan majelis ilmu dan majelis zikir.

Sayang, hal itu menimbulkan rasa iri pada Bilqis, kakak nomor dua. Bilqis lah yang paling keras menolak kalau rumah ini ditempati Zalina. Bilqis juga sangat apik soal kebersihan. Namun ia tidak serutin Zalina dalam menengok ayah dan ibu di rumah ini. Bahkan ia yang paling jarang menengok ayah dan ibu. Ia selalu berasalan sibuk dengan anak dan toko kelontongnya. Padahal rumah tinggalnya bukan termasuk yang jauh seperti aku, Ukasya, dan Fachri.

Rasa ingin menguasai dan merasa lebih layak memang kerap timbul dalam diri seseorang yang selalu merasa kurang. Rasa itu timbul tanpa berkaca terlebih dahulu apakah itu pantas dan mau dibawa ke mana rasa itu? Rasa yang merusak yang menghambat terselesaikannya masalah yang sedang dihadapi.

******************

Kami punya kesepakatan piket bergiliran untuk merawat Ibu. Hari itu adalah hari giliran Bilqis yang merawat ibu. Ibu yang sering dikecewakan Bilqis karena sering terlalu malam baru bisa datang, meminta Zein, suami Zalina menjaganya sementara. Zein pun menyanggupi dengan membawa beragam buah kesukaan ibu.

Zein tahu kalau Ibu kerap merasa kesepian. Sambil menunggu Bilqis datang, Zein tetap menemani Ibu sambil mengajak ibu bicara banyak hal. Namun sampai malam tiba, Bilqis tak kunjung datang. Malam kian larut, sudah jam 22.00, namun tidak juga terdengar suara pintu pagar depan rumah dibuka.

“Padahal sore tadi sudah ditelepon,” kata Ibu pada Zein.

Zein tidak berani menimpali. Ia kasihan melihat Ibu yang kian menua mesti menunggu sampai larut malam. Kembali Zein mengajak ngobrol ibu untuk menghilangkan kebosanan menunggu Bilqis. Hampir jam 23.00, baru lah Bilqis sampai dan masuk ke rumah.

Melihat kehadiran Zein, bukannya berterima kasih, Bilqis malah mengusirnya. Zein kebingungan. Ia pun pamit pada Ibu. Sejak itu, Zein tidak mau meninggalkan jejak kakinya di rumah ini. Zalina pun jadi malas merawat dan membersihkan rumah lagi. Ukasya dan Fachri memilih diam.

Bilqis juga tidak mengambil alih merawat rumah. Ia tetap menjadi orang yang paling jarang mengunjungi rumah. Yah, apa boleh buat, debu-debu di rumah ini makin menebal. Rumah pun makin tak terawat.

****************

Posisi rumah kami memang sangat strategis. Untuk menuju halte bus Transjakarta terdekat, kami hanya perlu menaiki tangga penyebrangan yang ada di samping kiri jalan persis setelah gerbang keluar dari daerah rumah kami. Untuk menuju stasiun kereta terdekat, hanya perlu berjalan sepuluh menit tanpa perlu menyeberang dahulu.

Saat masih kuliah, teman-teman menyebutku sebagai ornag yang bergaya hidup sehat karena kerap berjalan kaki menuju stasiun. Padahal gaya hidup sehat yang mereka katakan ini terjadi karena jaraknya yang sangat nanggung kalau menggunakan transportasi umum. 

Jarak dari rumah kami ke bandara terdekat juga hanya sekitar 3,7 km. Jalan raya di depan daerah rumah kami menjadi perlintasan beragam kendaraan. Mulai dari kendaraan umum seperti kereta, bus, dan transjakarta. Hingga beragam kendaraan pribadi dan kendaraan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) turut melintasi jalan raya ini.

Sering kali di pagi hari aku melihat Bus AKAP yang bertuliskan Padang Sidempuan melintas di jalan raya ini. Jalan raya ini juga menjadi tempat keluar-masuknya kendaraan dari pintu tol. Tak heran, jalan raya ini terkenal dengan kemacetannya.

Rumah kami beralamat di Jakarta Timur. Tapi kalau sudah keluar jalan, sudah berada di Jakarta Selatan. Hanya perlu jalan satu arah saja untuk menuju pusat-pusat perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebelum dibangun Mass Rapid Trasportation (MRT), salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar pernah lama bercokol di seberang jalan raya daerah rumah kami tinggal. Posisi yang sangat strategis ini membuat pusat perbelanjaan itu menjadi favorit orang-orang dari berbagai daerah.

Jika kami ada acara di tengah kota, biasanya kami juga akan singgah atau menginap di rumah ini. Apalagi kalau acaranya di pagi hari. Sungguh sangat merepotkan kalau mesti berangkat sebelum subuh. Dahulu aku rutin berangkat sangat pagi menuju tempat kerjaku di Bekasi.

Namun setelah punya anak, aku pun mesti cari kontrakan yang dekat dengan kantor. Bagiku, lebih baik mengeluarkan uang di awal untuk membayar kontrakan ketimbang mesti membayarnya dengan beragam penyakit di masa tua akibat sering kelelahan di jalan.

Sepertinya aku belum rela membeli rumah di Bekasi. Rumah-rumah Bekasi jaraknya kadang bisa lebih jauh dari jarak tempat kerjaku ke rumah ini. Selain itu, berat rasanya jika mesti menetap dan mengatakan bahwa aku sudah menjadi penduduk yang bukan kampung halamanku. Kampung halaman yang masih meninggalkan beragam kenangan pahit-manis masa kecil dengan segala keasriannya.

Posisinya yang sangat strategis membuat kami enggan untuk menjual rumah ini. Bagi kami, sebaiknya rumah ini ditempati oleh salah satu dari kami saja. Apalagi daerah tempat kami tinggal juga merupakan daerah tempat tinggal saudara-saudara dari ayah. Sayang, konflik antara Zalina dan Bilqis membuat rumah ini makin tak terurus. Debu-debu kian menebal dari hari ke hari.

Baik Fachri dan Ukasya, sama sekali tidak mengupayakan untuk mengislahkan mereka. Fachri hanya meminta Zalina mengalah saja pada Bilqis. Zalina tidak bisa menerima itu, karena itu adalah kehormatan harga diri suaminya. Sedang Ukasya, ia juga sedang pusing akan hubungannya dengan anaknya.


 ********************


Posisi rumah kami memang lebih tinggi dari rumah tetangga samping dan depan kami. Saat membangunnya, tanahnya memang sudah sangat tinggi. Lantai kami menapak sejajar dengan atap tetangga depan kami. Padahal posisi rumah depan kami tidak lebih rendah dari jalan.

Butuh waktu lama dan tenaga ekstra untuk menguruk semuanya. Solusinya, rumah ini dibangun tetap di atas tanah yang tinggi. Dan diberikan tangga masuk untuk tanah yang sudah diuruk sebagiannya.

Ajaibnya, ketika rumah ini selesai dibangun, banyak tetangga kami menyebut rumah kami ini rumah yang bagus. Mungkin karena mereka melihatnya model rumah kami ini tidak biasa. Ketika bermain dengan teman-temanku, mereka membicarakan rumahku. Ketika bermain ke rumah temanku, orang tuanya juga membicarakan rumahku.

Aku yang sejak kecil menempati rumah yang lebih besar dari rumah kami, merasa aneh dengan pembicaraan mereka. Rumah berukuran 150 meter persegi itu tergolong kecil bagiku. Karena sebelumnya kami sudah menempati rumah yang ukurannya dua kali lipat dari ini.

Beberapa tahun kemudian, ada rumah yang baru dibangun di lingkungan sekitar kami yang meniru habis desain rumah kami, bahkan pada tangga masuknya. Tangga yang terpaksa ada karena tidak masuk dalam desain. Pengemasan arsitek pilihan ayah membuat rumah kami jadi ciamik. Hal yang sebenaranya adalah masalah ketika membangun rumah, justru menjadi terlibat sebagai terobosan baru yang ditiru tetangga sekitar rumah.

Ayah memang tidak pernah membeli rumah pada developer. Pengalaman Ayah yang diwarisi kakek rumah ukuran 300 m2 dengan kondisi mesti sudah direnovasi ulang, membuatnya terbiasa meminta jasa arsitek untuk mendesain rumah. Setelah itu ayah memanggil mandor dan tukang-tukang yang sudah ia percaya.


************************


“Kotor, debu”, gumamku setelah membuka kunci paviliun dan mencoba masuk ke dalam.

Aku terpaksa mesti tetap mengenakan sepatu untuk masuk. Dari dalam, pintu paviliun kukunci kembali. Kuletakkan sepatu yang telah kubuka di dekat pintu pavilun sebelah dalam.

”Assalaamu’alaikum,” salam kuucapkan pada penghuni yang tak kasat mata.

Telapak kakiku kian merasakan betapa tebalnya debu dalam rumah.

Lihat selengkapnya