Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #2

Bukan Pilihan #2

Katanya, anak terakhir adalah anak yang paling dimanja. Untuk sebagian besar keluarga, mungkin iya. Tapi tidak dengan keluargaku. Keluargaku amat sangat partiarkis. Maka anak pertama lah yang menjadi kesayangan ibu. Anak kesayangan Ibu selanjutnya adalak anak ketiga karena ia juga laki-laki.

Ibu memiliki masa kecil yang begitu berat karena sepulang sekolah mesti berjualan kue keliling kampung. Kemudian lanjut mengajar membaca Quran di Madrasah Diniyah. Ibu sudah merasakan beratnya hidup sejak ia masih duduk di bangku SDI.

Beratnya masa kecil Ibu membuat ia kehilangan masa kecilnya. Sehingga di masa tua, ia menjelma menjadi orang tua yang kekanak-kanakkan karena alam bawah sadarnya menagih masa mudanya.

Seperti kebanyakan orang tua narsistik, orang tuaku pun memperlakukan anak-anaknya dengan berbeda-beda, terutama Ibu. Ukasya sebagai anak kebanggan Ibu. Zalina sebagai anak kebanggaan ayah. Bilqis sebagai anak yang dipermusuhkan dengan Ukasya oleh Ibu saat mereka kecil. Fachri, anak laki-laki yang juga Ibu sayang setelah Ukasya, tapi rutin ibu perbandingkan dengan Ukasya.

Bagi ibu, anak pertama kelak akan menjadi pengganti ayah sebagai wali di keluarga ini. Maka sejak kecil, pendidikann Ukasya pun sudah dirancang oleh Ibu. Kalau Ibu sudah berkehendak, maka ayah tidak boleh ikut campur. Ukasya dimasukkan oleh ibu di TK dan sekolah negeri, berbeda dengan kami yang mengikuti keinginan ayah untuk bersekolah di MI[1].

Dari lima bersaudara, hanya Ukasya dan aku yang merasakan taman kanak-kanak. Ukasya anak pertama dan aku anak terakhir. Untuk Ukasya, karena Ibu sudah merancang masa depannya. Dan untuk aku, ibu kerepotan mengurusku. Bahkan sejak masuk TK, aku sudah diurus oleh Bilqis. Mulai dari mandi, makan, ganti baju, bahkan cebok pun Bilqis yang urusi. 

“Repot urus di rumah. Makanya masukin TK aja,” Ibu bercerita alasan memasukkan aku ke taman kanak-kanak di usia 3 tahun.

Saat aku kecil, sebelum masuk SMP dan sebelum ayah pensiun, baik ayah atau ibu, keduanya masih menyayangiku sebagai anak terakhir. Mereka masih kerap mengajakku bepergian bersama mereka mengunjungi rumah kerabat dan teman-teman ayah.

Biasanya selain mengajak aku, mereka juga mengajak Zalina. Sedang kakak-kakakku yang lain ditinggalkan di bermain bersama tetangga-tetangga dekat rumah.

Ayah dan Ibu juga sering mengajak aku beristirahat malam bersama di kamar mereka. Biasanya aku hanya sebentar di dalam sana karena melihat ekspresi tidak senang di wajah kakak-kakakku. Aku berusaha menjaga perasaan mereka agar tidak menjadi konflik.

Ibu sering memasak dan menyajikan beragam lauk-pauk lengkap sebagai menu makanan sehari-hari kami. Usiaku yang belum lima tahun dan belum terbiasa dengan ragam rasa makanan, membuatku tetap meminta dimaskkan yang bisa aku makan. Biasanya aku meminta udang rebus. Jadi sering ada menu udang rebus khusus yang ibu masakkan untuk aku.

Baik Ibu dan Ayah, keduanya seperti memiliki sifat dualisme di balik semua ini. Dan di antara kami, akulah yang dipermusuhkan dengan semua anggota keluarga di rumah ini. Aku tidak pernah benar di mata ibu. Sampai akhirnya aku yakih, aku memang orang yang selalu salah. Keyakinan yang membuatku sulit untuk tumbuh dan bersosialisasi.

Pertentangan yang di kemudian hari baru kuketahui itu disengaja oleh ibu. Ibu lah yang mengadu domba kami agar kami saling berasa bersaing satu sama lain. Tapi ibu juga sudah punya pilihan, siapa yang akan dibelanya.

Tidak seperti Zalina. Ia bisa bergaul dengan siapa pun tanpa ada rasa rendah diri. Mungkin itulah yang membuatnya jadi malas belajar. Sedang aku, karena aku jadi menarik diri dari pergaulan, aku pun disibukkan dengan membaca buku, yang kelak membuatku sering menjadi juara kelas. 

“Statusnya naik percobaan bu,” kata Pa Ali, wali kelasnya.

Status yang tidak pernah kutemui bahkan sampai aku dewasa. Ternyata di kemudian hari baru kuketahui bahwa status itu hanyalah kebaikan Pa Ali.

Karena hanya terpaut dua tahun, Ibu sering membelikan aku dan Zalina barang yang sama. Sayangnya aku tidak pernah diberi kesempatan memilih. Ibu panggil Zalina dahulu untuk memilih salah satu dari 2 bando yang sudah ibu beli. Sudah pasti Zalina memilih yang terbaik dari keduanya. Saat kembali padaku, aku melihat Zalina memakai bando yang cukup bagus. Tak lama kemudian, ibu pun memanggil aku.

“Wah, aku pasti akan diberikan yang lebih bagus. Aku kan anak kesayangan,” pikirku saat berjalan menuju ibu.

“Itu bando buat kamu,” kata ibu sambil menunjuk bando yang modelnya kurang aku suka.

“Kirain sama kayak Zalina,” kataku.

“MAU GAK ?” tanya ibu dengan nada tinggi.

Aku ketakutan. Kuambil bando itu dengan hati yang terluka dan tangan yang gemetar.

Meski tidak suka, melihat Zalina bagus dengan bandonya, aku pun juga ingin memakai bandoku. Aku juga ingin terlihat cantik dengan berbando. Tapi aku kurang nyaman ketika berkaca. Bando untukku tidak secantik bando untuk Zalina.

Aku pun mencoba meminjam bando Zalina. Ya, aku jadi terlihat cantik dengan bando itu.

“Sini, balikin, mau dipakai,” kata Zalina.

Lihat selengkapnya