Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #3

Mengaji Bersama

Kakekku adalah warga asli Betawi. Hampir sepertiga tanah di daerah tempat aku tinggal adalah miliknya. Namun setelah aku lahir, tanah-tanah kakek banyak dibeli para pendatang. Hasil dari penjualan tanah ini dijadikan kakek sebagai ongkos untuk naik haji.

Selain rumah-rumah yang ia tinggalkan untuk anak-anaknya, kakek juga masih menyisakan kebun di depan rumah kami, anak dan cucunya. Kebun itu berisi macam-macam pepohonan.

Mulai dari pohon pisang, mangga, nangka, dukuh, jambu air dan jambu biji, pepaya, hingga pepohonan yang tidak berbuah. Kebun kakek kami terbuka untuk menjadi tempat main siapapun, tak terbatas hanya pada anak dan cucunya.

Ayah kerap menebang beberapa sisir pohon pisang batu sore hari saat kami bermain. Pisang batu itu kemudian ayah berikan pada kami. Bersama saudara dan tetangga-tetangga teman main kami, kami makan pisang batu yang ayah berikan diiringi dengan melepehkan batu-batunya.

Aku tidak menyangka bahwa buah yang kami anggap aneh ini kelak menjadi buah yang cukup digemari dalam campuran rujak bebeug[1]. Di kebun itu pula kami dibuatkan ayunan oleh ayah. Disertai angin semilir, kami sering bergantian menikmati bermain ayunan di sore hari.

Meski tinggal di tengah kota Jakarta, Kakek adalah orang pertama yang berangkat haji di kampungku. Ia berangkat menggunakan kapal laut selama enam bulan lamanya. Orang-orang tua dahulu bilang, haji yang benar adalah haji yang menggunakan kapal laut. Bukan pada kendaraannya. Tapi pada hasil yang didapat setelah berhaji.

Lamanya waktu berhaji membuat mereka jadi memanfaatkan waktu tersebut untuk lebih memperdalam lagi ilmu-ilmu agama pada para alim ulama yang ada di sana.

Dan memang, setelah berhaji, banyak orang yang belajar mengaji pada Kakek. Kelak, orang-orang yang mengaji pada Kakek menjadi imam-imam masjid di kampungku. Tak ketinggalan dengan Ayah. Ayah termasuk salah satu murid Kakek.

Saat masih berusia lima tahun, beberapa kali aku diajak Ayah berkunjung ke rumah Kakek. Rumah Kakek tersambung dengan belakang rumah kami. Pintu belakang rumah Kakek terhubung langsung dengan dapur rumah kami. Pintu itu sering terbuka sehingga kami mudah masuk ke dalamnya. Tentunya dengan saling panggil terlebih dahulu.

Ayah sering bertanya pada kakek tentang beragam persoalan kehidupan. Kakek menjawabnya dengan mengambil dan membukakan salah satu dari sekian banyak kitab kuning di rak-rak kitab miliknya.

Mereka berdialog layaknya murid yang sedang berkonsultasi pada guru. Pengalaman bersahaja ini kusaksikan langsung dari orang tua-orang tuaku. Sejak itu, aku pun jadi senang membaca dan bertanya.

Saat itu aku masih belum tahu apa saja nama-nama kitabnya. Kelak, ketika kitab-kitab kuning itu telah diwariskan pada Ayah dan bisa kami buka, ternyata salah satu kitab kuning koleksinya adalah kitab Ihya Ulumuddin. Salah satu kitab termahsyur karangan ulama yang juga amat termahsyur, Imam Al-Ghazali.

 

*************

 

Hanya ada dua suku di lingkungan sekitar rumahku. Suku yang sama-sama diawali dengan huruf yang sama. Kedua suku ini terkenal sarkas dalam bicara. Orang-orang yang tidak tahan dengan sarkasnya kami pasti akan mudah sekali tersinggung dan mendendam, atau pergi dari kami. Dan memang hanya kami yang bisa tahan hidup berdampingan. Suku itu adalah Batak dan Betawi.

Sarkasnya kami memiliki ciri masing-masing. Orang Betawi kalau bicara kadang suka seenaknya saja. Seperti tidak dipikirkan terlebih dahulu. Namun ini kadang terdengar lucu di telinga suku-suku lain. Sedang kebanyakan orang Batak bicaranya keras seperti orang marah. Kadang mereka juga tidak peduli kalau cara bicaranya membuat lawan bicaranya sakit hati.

Di antara teman-teman Batak kami ada Butet yang mudah sekali menangis. Karenanya ia dijuluki “Butet Cengeng”. Julukan ini kami berikan karena melawan karakter kebanyakan orang Batak yang keras dan tahan banting. Hal ini membuat kami gemar menggoda Butet sampai menangis.

Kalau sudah menangis, kami akan meledeknya dengan bernada, “Butet Cengeng, Butet Cengeng”, sambil bertepuk tangan dan mengikutinya pulang dengan menangis. Lalu Butet pun mengadu pada mamaknya. Biasanya mamaknya langsung keluar rumah mengacungkan sandal jepit di tangan sambil berjalan cepat menuju kami untuk menggebuk yang meledek Butet.

“Mana tadi yang ngeledekin Butet?” ucap mamaknya marah pada kami.

Kami pun langsung berlari berhamburan.

Ada Lizbeth yang ketika kecil hidup keluarganya sama seperti tetangga Batak kami pada umumnya: hidup susah, gemar berjudi dan minuman beralkohol, serta senang bernyanyi bersama-sama di jalanan untuk menghibur diri. Lalu tiba-tiba saja saat aku duduk di bangku SMP, keluarga Lizbeth seperti memenangkan lotere yang sangat besar karena bisa membeli rumah yang paling besar di lingkungan kami.

Ada Waldes yang sering memproklamirkan diri bawa ia satu-satunya pemilik nama itu di dunia. Kami punya kegemaran bermain tanpa memakai sandal. Bagi kami, sandal sering menghambat kecepatan kami dalam berlari. Sehingga beberapa dari kami sering tidak menggunakan sandal saat bermain.

Kebanyakan dari kami tahu dalam permainan apa kami bisa melepas sandal, dan dalam permaianan apa pula kami harus tetap menggunakannya. Hanya Waldes yang tetap tidak menggunakan sandal dalam permainan apa pun.

Permainan petak umpet memang terlihat sepele. Tinggal cari tempat persembunyian yang sekiranya tidak bisa dijangkau langsung oleh teman kami yang sedang menjadi petugas penjaga tiang. Aku sendiri hanya berusaha bersembunyi di tempat yang sekiaranya aku bukan menjadi orang pertama yang dilihatnya. Karena yang pertamalah yang musti menggantikannya menjaga tiang.

Namun tidak dengan Waldes. Dengan kaki tanpa sandal, ia malah mencari tempat bersembunyi yang sangat sulit untuk ditemukan. Kali ini, ia menjadi orang terakhir yang sulit ditemukan.

Karena kasihan, kami yang sudah ditemukan penjaga tiang pun ikut membantunya mencari Waldes. Ternyata ia masuk ke dalam rumah kosong yang berada di antara semak-semak. Begitu ditemukan, Waldes pun berteriak.

“Hiaaaaatttttt…..”

Ia melompat ke dalam semak-semak untuk memepertahankan kondisinya tetap tidak bisa ditemukan. Rasa takut ditangkap membuatnya tidak menyadari sedang melompat ke pecahan-pecahan beling yang terbuang di semak-semak itu.

Hening. Tidak ada suara sama sekali. Pelan-pelan, ia berjalan berjinjit ke arah kami dengan telapak kaki yang sudah keluar darah. Dari telapak kaki itu, menjuntai sedikit daging merah. Aku ngilu melihatnya. Namun Waldes tetap berusaha menujukkan wajah yang tetap tenang.

“Ada tensoplas ga?” tanyanya pada kami sambil berjalan berjinjit namun tetap menyembunyikan rasa sakitnya.

 

**************

 

Lihat selengkapnya