Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #4

Penerus Ayah

Masa-masa bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI[1]) merupakan masa-masa yang menyenangkan. Karena aku melewati fase mengeja dalam membaca Quran, aku pun jarang kena sasaran amarah ayah. Di rumah, aku juga melewati fase mengeja dalam membaca Bahasa Indonesia. Aku sudah lancar membaca di usia lima tahun.

Kegemaran Ibu membeli koran membuat kakak-kakakku saling berebut untuk membacanya. Ada yang kebagian lembar depannya, lembar tengahnya, atau lembar belakangnya. Dan aku yang saat itu masih duduk di bangku TK dan belum lima tahun, iri dan ingin ikut berebut koran.

Sayang, tulisan-tulisan koran terlihat begitu kecil untukku yang baru saja mengenal huruf. Untung saja di koran tersebut selalu ada suplemen komik-komik bergambar khas Indonesia. Setelah dibaca oleh kakak-kakakku, aku pun mengambilnya agar ikut membaca seperti yang lainnya.

Pelan-pelan kucoba baca. Berhubung kata-katanya hanya sedikit, aku pun dapat memahami cerita kartun bergambar itu. Aku yang baru saja mengenal huruf-huruf alfabet, lama-lama bisa membaca tanpa perlu diajari di usia lima tahun, tepatnya saat aku duduk di kelas satu di MI.

Selain aku, ada Fachri yang juga kerap jadi juara kelas. Ayah pun berinisiatif membelikan aku dan Fachri jam tangan merk Alba. Kami pun senang. Kami tidak pernah merasa terpaksa dalam belajar. Ayah juga tidak sadar bahwa kerasnya ia mengajarkan kami belajar bacaan Quran membuatnya berhasil membuat kami senang mempelajari ilmu-ilmu lain secara mandiri. Zalina pun ingin punya jam seperti kami.

“Jam ini untuk yang juara kelas saja,” kataku pada Zalina saat ia menyatakan keinginannya meminta jam pada ayah.

“Aku ada uang arisan. Nanti aku kasih uang arisan ini ke ayah,” jawab Zalina.

Heh, tiba-tiba saja Zalina punya uang arisan.

Zalina pun mendatangi Ayah dengan membawa uang itu. Ayah tidak menggubrisnya.

Namun esoknya, Ayah pulang membawa satu jam lagi untuk Zalina. Aku pun terbelalak melihatnya.

“Yah, buat apa belajar kalau ternyata dia juga dapat,” umpatku.

Aku menebak ada peran Ibu di balik ini. Ibu lebih mudah kasihan pada Zalina ketimbang aku meski hanya perkara indomie. Aku kan dijadikan saingannya karena Ayah suka banggakan aku di hadapannya. Sedangkan Zalina bukan saingannya, karena dalam belajar, Zalina paling lemah.

Kami kerap memakai jam itu ke mana pun. Saat bermain bersama teman-teman pun kami pakai. Karena hanya kami yang suka bermain sambil memakai jam, mereka pun tertarik untuk melihat-lihat jam kami. Biasanya mereka melihat jam yang hanya ada angka dengan putaran jarum-jarum di dalamnya.

Ayah memang paham, aku yang masih duduk di kelas dua MI memang belum paham bagaimana membaca jam dengan jarum-jarumnya itu. Jam kami adalah jam pertama yang mereka lihat dengan tampilan angka berbentuk seven segmen. Pada tampilan sebelah kiri adalah angka jam, tengahnya adalah angka menit, dan paling kanan adalah angka detik. Kawan-kawan kami senang melihat perubahan angka-angka itu.

 

**********************

 

 Setelah bersekolah di MI, sorenya kami ikut belajar Bahasa Arab pada Ustad Manaf. Ustad ini khusus mengajarkan bahasa Arab mulai dari muhadatsah[2] hingga nahwu-shorof[3].

Meskipun Ustad Manaf menerapkan bayaran yang sangat murah, beliau tidak pernah menagih uang iuran bulanannya. Dibiarkannya murid-murid yang tidak membayar. Baginya, yang terpenting adalah anak-anak bisa belajar dan menyerap ilmunya.

Ustad Manaf punya kelas layaknya kelas-kelas di sekolah. Ia membagi kelas sesuai dengan kelas kami di MI. Namun karena ia mengajar hanya sendiri, kelasku dan kelas Zalina disatukan. Aku pun jadi bisa melihat dan mengikuti pelajaran di kelasnya.

Sejak kelas satu, aku sebenarnya sudah mengenal ilmu nahwu-shorof ini. Pelajaran pertama kami adalah tentang isim dhamir atau kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga. Lalu kemudian belajar tentang fi’il atau jenis kata kerja pada bahasa Arab.

Fi’il dalam Bahasa Arab bisa diumpamakan sebagai tenses dalam Bahasa Inggris. Bahasa Arab mengenal Fi’il Madhi sebagai kata kerja lampau sebagaimana Past Tense dalam Bahasa Inggris.

Jika pada Bahasa Inggris ada Present Tense untuk kata kerja saat ini dan Future Tense untuk kata kerja yang akan datang, Bahasa Arab hanya menggunakan Fi’il Mudhori.

Namun jangan salah, Perubahan kata pada Bahasa Inggris jauh lebih sedehana dibanding dengan perubahan kata pada Bahasa Arab. Baik Fi’il Madhi maupun Mudhari, keduanya memiliki 14 perubahan kata untuk masing-masing isim fa’il[4] mulai dari yang tunggal, dua orang, jamak membedakan antara muzakkar dan muannas[5].

Dari Fi’il Madhi ke Fi’il Mudhari pun juga terjadi perubahan kata. Perubahan kata ini dengan didahului oleh huruf ya atau ta tergantung isim fa’il-nya.

Saat tiba pelajaran dengan hafalan tashrif di kelas Zalina, tiba-tiba saja lidahku ikut-ikut merapalnya padahal aku tidak bermaksud menghafalnya.

“Fa'ala – yaf'ulu – fa'lan – wa – maf'alan – fahuwa – fa'ilun – wadzaka – maf'ulun – uf'ul – la – taf'ul – maf'alun – maf'alun – mif'alun”

Penasaran, Ustad Manaf pun segera memberikan jenis kata yang lain. Ternyata aku tetap bisa meneruskan perubahannya. Ya, aku tiba-tiba saja hafal pola perubahan pada tashrif[6] sehingga tidak perlu menghafalnya seperti orang-orang yang belajar di kelas Zalina.

“Kamu, Salma, bisa ikut kelas ini juga ya,” ajak Ustad Manaf mengapresiasiku.

Sejak itu, aku pun menjadi siswa tambahan di kelas Zalina.

Rupanya keikutsertaanku di kelas yang lebih tinggi diperhatikan oleh Dini. Dini juga ingin ikut kelas ini. Dini adalah langganan peringkat satu di kelas. Guru-guru pelajaran umum di MI sering tidak mengecek dahulu hasil pekerjaan yang dibuat Dini. Kalau ada nama Dini, otomatis mereka berikan nilai sempurna. 

Aku pernah mencoba mencari tahu jawaban dari jawabanku yang disalahkan dengan mengeceknya di lembar kertas jawaban Dini yang mendapat nilai sempurna. Ternyata jawaban Dini sama dengan jawabanku. Tapi jawaban Dini tidak disalahkan.

Dini memang sangat diistimewakan. Sedang aku, seluruh hasil kerjaku sudah pasti diperiksa guru-guruku. Karenanya, sulit bagiku untuk menggantikan posisi Dini sebagai juara kelas.

Sebelum berangkat ke tempat Ustad Manaf mengajar yang terletak di seberang jalan raya tempat tinggal kami, aku biasa menjemput Dini. Sampai di rumah Dini, kulihat Dini sedang menghafalkan suatu pelajaran.

“Lagi menghafal apa?”, tanyaku penasaran.

“Ini, shorof,” jawabnya.

“Loh, dihafal?”, tanyaku bingung.

 

************

 

Para Ustad pengajar kami seperti Ustad Yusuf, Ustad Murdan dan Ustad Salim musti menyaksikan sendiri hasil belajar melalui praktik. Praktik-praktik itu di ataranya adalah imla’[7] Bahasa Arab dan membaca Quran disertai penggunaan tajwidnya seperti hukum nun mati dan tanwin, hukum mim mati, ghunnah, hukum-hukum mad[8], hingga qalqalah[9] dan waqof. Dalam hukum mad sendiri ada banyak sekali macamnya.

Mulai dari mad thabi’i yang hanya dua harakat. Mad wajib muttashil yang terdapat pada kata yang sama. Mad jaiz munfashil yang terdapat pada kata yang berbeda. Mad lazim yang sering ditemui pada ayat pertama dalam surat-surat di Quran. Mad liyn, mad iwadh, hingga mad ‘aridl lissukun yang berlaku saat menemui mad pada akhir penggalan bacaan.

Biasanya penggalan bacaan terletak pada akhir kalimat di tiap ayatnya. Namun surat-surat panjang kebanyakan dipenggal di kata-kata tertentu. Penggalan bacaan sebelum ayat selesai ini dalam Quran dikenal dengan waqof, atau tempat berhentinya suatu bacaan. Dan di antara hukum waqof itu, ada pula tanda waqof yang justru melarang berhenti di situ.

Khusus mad lazim, kalau orang belum mengerti, ia akan membaca mad lazim harfi musyabba sebagaimana membaca huruf yang difathahkan namun dipanjangkan. Padahal membaca mad lazim harfi musyabba adalah dengan mematikan huruf-hurufnya. Yang dipanjangkan adalah bunyi dari huruf itu.


**************


Malamnya, aku juga ikut mengaji bersama teman-teman mainku. Yang mengajar adalah seorang janda yang tidak memiliki anak. Ia berasal dari keluarga kaya yang tinggal di lingkungan kami. Ia memang bukan orang yang mendalami khusus ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu Quran pun tidak.

Ia mengajari kami hanya karena ia suka dengan anak-anak dan keramaian anak-anak. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Ka Mila. Kami pun senang karena bisa bertemu dan bermain kembali dengan teman-teman kami di waktu malam. Kami dibagi menjadi dua kelas dan saling bergantian.

Diawali dengan shalat Magrib, kemudian masuk pelajaran mengeja Quran untuk anak-anak yang baru mulai sekolah. Lalu bergantian dengan pelajaran tajwid untuk kami yang sudah duduk di bangku kelas 4-6 SD.

Pergantian waktu belajar ini sering kami gunakan untuk bermain bersama di halaman samping rumahnya. Ia mengajari kami di pojok khusus di samping taman belakang rumahnya. Kali ini, aku ikut mengaji karena banyak teman yang mengaji dengannya. Kami merasakan angin sepoi-sepoi saat waktu belajar sudah mulai.

Kali ini masuk ke materi tajwid tentang mad iwadh. Kebetulan kita juga sedang praktik membaca surat Al-Aadiyat. Dalam buku tajwid yang sudah dibagikan pada kami, Ka Mila membacakan pengertian mad iwadh.

“Mad iwadh adalah bacaan tanwin yang diganti dengan bacaan mad pada akhir kalimat. Bacaan ini terjadi hanya pada akhir kalimat yang berbaris tanwin namun juga mendapat tambahan huruf mad seperti tambahan huruf alif pada fahtatain[10]. Kita praktek sama-sama sekarang ya,” ucap Ka Mila pada kami.

Ka Mila lebih dahulu membacakan ayat itu kemudian kami ikuti.

“Wal ‘aadiyaati dhobhaaaan,” ucap Ka Mila.

“Wal ‘aadiyaati dhobhaaaan,” semua teman-temanku mengikuti membaca seperti itu.

Aku merasa cara membacanya berbeda dengan yang pernah kudapat dari ayah. Bacaan Ka Mila tidak biasa kudengar. Seperti ada yang salah dalam bacaan itu. Ia terus meneruskan bacaannya dan kami juga terus mengikuti sampai ayat yang kelima.

“Jadi gitu ya bacanya, kalo mad iwadh, Wal ‘aadiyaati dhobhaaaan, Fal muuriyaati qodhaan, dan seterusnya,” ucap Ka Mila.

“Eh tunggu deh Ka Mila, kayaknya bacanya ga gitu deh ka,” ucapku.

“Gimana, Salma?”

“Iya, jadi bunyinya bukan Wal ‘aadiyaati dhobhaan, tapi Wal ‘aadiyaati dhobhaa. Tadi ada di penjelasnnya,” jawabku mencoba memberikan bukti atas sanggahanku.

“Sebentar ya kak, saya cari di penjelasan itu,” sambil membaca kembali pengertian mad iwadh yang ada di buku tajwid.

Aku sendiri merasa tidak enak hati menyanggahnya. Berulang kali kubaca pengertian tentang mad iwadh, tidak kutemukan juga penjelasan yang kucari. Dan usahaku untuk memberitahu yang benar malah ditanggapi kurang enak oleh teman mengajiku yang lain. Adalah Jamilah, ia yang selalu mendapatkan nilai terbaik di antara kami.

“Tuh, mana, ga ada kan,” ejek Jamilah. Jamilah adalah kawanku yang bacaannya hampir tak ada salah.

“Sebentar ya kak,” aku masih mencari.

“Jadi gimana Salma, ada gak?”

“Eh ini kak, ini di baris keenam disebutkan bahwa bacaan mad iwadh berbunyi seperti bacaan mad sebagai pengganti tanwin. Sehingga, harakat tanwin tidak lagi dibunyikan”.

“Oh iya, ini ada koreksi berarti ya. Jadi kita ulang bacaan kita yaa,” kata Ka Mila

Jamila tak lagi berkomentar. Kami pun mengulang membaca contoh mad iwadh pada surat Al-Adiyat. Dan aku bersyukur Ka Mila mau menerapkan apa yang kuberitahukan.

 

************

 

“Salma”

Dari pinu depan kelas, Ustad Yusuf memanggilku sambil menggerakkan telapak tangannya tanda ia memintaku untuk keluar kelas.

“Hahahaha…. Giliran Salma nih,” ejek beberapa teman yang duduk di belakangku. Aku melihat beberapa teman menertawaiku sambil menutupi mulutnya.

Aku mengikuti langkah Ustad Yusuf yang masuk ke ruang guru. Ustad Yusuf adalah salah satu guru kami yang sering meminta tolong murid-muridnya untuk membelikan nasi di warung nasi sebelah madrasah. Aku pun dalam mode bersiap menerima uang uantuk dibelikan nasi yang ia pesan.

“Duduk di situ,” ucap Ustad Yusuf sambil menunjuk ke sofa dalam ruang guru.

Lihat selengkapnya