Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #5

Pil Pahit

Sejak Ayah baru pensiun dan aku memilih masuk SMP, hari-hari kami pun jadi sangat menegangkan. Ada saja yang ia jadikan alasan kemarahan-kemarahnnya. Bahkan tanaman sirihnya yang kian menjalar pun juga masuk dalam sasaran amarahnya.

"Pemborosan," ucapnya ketus saat ia sedang memangkas tanaman sirihnya. Hawa penuh amarah sangat kuat.

Hari-hari pertama masuk SMP diawali dengan masa orientasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) satu minggu lamanya. Tidak seperti anak-anak lain yang di kelas ini sudah ada teman satu SD dengannya, di kelas itu, aku hanya sendiri dari sekolahku. Saat kelas sudah dibuka, mereka berlarian berhamburan menuju bangku pilihan masing-masing. Sedang aku yang sendiri dari sekolahku, aku kebingungan.

“Tidak ada bangku kosong lagi,” ucapku dalam hati.

Aku merasa kalah melihat mereka yang sudah dari awal berebut bangku dan menempati bangku pilihannya masing-masing. Hanya ada satu bangku kosong yang bisa kulihat. Posisinya di ujung depan persis di hadapan meja guru. Aku pun menuju bangku itu.

Kupikir siswa di kelas ini jumlahnya genap. Jadi aku menunggu satu orang yang mau duduk di sebelahku. Beberapa menit kutunggu, ternyata aku harus menerima duduk sendiri di bangku paling depan.

 Duduk sendiri di bangku paling depan tanpa ada teman bicara membuatku mencari kesibukan berbeda dengan yang punya teman duduk di sebelahnya. Mereka asyik saling berbicara satu sama lain. Kelas pun sangat berisik dan gaduh. Untuk mengalihkan kebosanan, aku pun membaca-baca buku P4.

 Satu minggu masa orientasi sekolah hanya kuisi dengan membaca-dan membaca buku P4. Tanpa kusadari, aku telah menanam pelan-pelan usahaku yang hasilnya kutuai ketika masa orientasi sekolah usai. 

"Salma Nurus Syifa."

Namaku disebut oleh MC di upacara sekolahku sebagai pemenang kedua ujian P4. Aku pun segera berjalan menuju lapangan tengah tempat piagam P4 dibagikan.

Baru hari awal masuk sekolah, aku sudah dihadiahi anugerah seperti ini. Rasanya ingin buru-buru kusampaikan pada Ayah. Ingin rasanya Ayah membaca pesan tersiratku, bahwa pilihanku masuk SMP memang tidak salah.

 

*************

 

“Assalaamu alaikuum,” ucapku ceria sambil membuka pagar rumah dan menggesernya.

Aku sudah siap-siap ingin menyampaikan kabar gembira pada kedua orang tuaku.

“Wa alaikum salam,” jawab Ibuku ketus

Ayah juga memasang wajah masam.

Mereka memang sering memasang wajah masam begitu. Aku yang sudah terbiasa, jadi kebal dan masa bodoh saja melihatnya.

“Aku juara P4 di sekolah,” ucapku sambil menyodorkan map berisi piagam penghargaan.

“Ah, cuma gitu doang,” kata Ayah sambil mengembalikan map itu.

Aku pun terbelalak. Jawaban Ayah yang tidak kusangka-sangka membuatku spontan membalikkan ucapannya.

“Bilang saja iri,” kembali aku menimpali.

Ayah mengamuk. Dipukulinya wajahku berkali-kali. Ia tidak terima dengan ucapanku barusan. Ayah tidak peduli dengan posisi kami yang masih di teras rumah dan bisa dilihat tetangga. Apalagi tetangga depan kami gemar sekali bergosip. Aku pun menangis dan berlari menuju kamar.

Sakitku ini dobel: sakit hati karena prestasiku ternyata tidak membuat orang tuaku bangga. Ditambah lagi dengan sakitnya pukulan bertubi-tubi yang Ayah layangkan padaku. Makin menambah sakit dalam hatiku. 

Ternyata pengetahuan agama tidak membuat Ayah mampu mengamalkannya. Ia justru menjelma menjadi orang yang keras dan merasa benar sendiri. Sikapnya yang buas terlihat hanya mengikuti ego dan nafsunya saja. Shalat tahajjudnya di tiap sepertiga malam yang terakhir juga tak bisa mengubah perangai kerasnya.

 

*************

 

Sejak Ayah pensiun dan aku menolak masuk “pesantren” pilihannya, Ayah jadi mudah sekali marah padaku. Tidak ada alasan yang bisa kuterima dalam kemarahannya. Marahnya Ayah hanyalah pelampiasan emosi karena sudah tidak ada lagi kesIbukan. Atau, bisa jadi, sebelum Ayah sampai, sudah dikompor-kompiri oleh Ibu.

Ibu tidak senang dengan reaksiku melihat sikap Ibu yang berubah setelah Ayah pensiun dan Ukasya mulai bekerja. Ibu tak lagi menyiapkan Ayah makan. Sebelumnya kalau Ayah sedang duduk di meja makan, Ibu pasti segera menyiapkan makanan untuk Ayah. Namun kali ini sudah tidak lagi. Ayah dibiarkan saja duduk sendiri. Setelah lama dibiarkan, Ayah pun beranjak ke dapur untuk mengambil lauk.

Namun ketika Ukasya yang duduk, buru-buru Ibu menyiapkan seluruh hjidangan di meja makan. Sering ada lauk-lauk tambahan khusus untuk Ukasya yang sama sekali tidak kami lihat di dapur, termasuk Ayah.

Mungkin bagi Ibu, Ukasya menggantikan posisi Ayah dalam mencari nafkah. Tapi aku tidak merasakan itu. Nafkah yang Ayah berikan masih jauh lebih banyak ketimbang yang Ukasya berikan pada Ibu. Lagi pula, kedudukan Ayah sebagai suami Ibu tidak bisa digantikan dengan anak laki-lakinya hanya karena nafkah.

Ukasya pun tidak merasa risih dengan perlakuan Ibu. Ia malah menikmatinya. Ukasya malah benci dengan aku dan Bilqis yang kerap menyindirnya. Disangka Ukasya, kami iri dan membencinya.

Padahal Ukasya sudah melewati batas karena membiarkan Ibu tidak menghargai keberadaan Ayah. Dan seperti Ayah, Ukasya juga kerap menggunakan serangan-serangan fisik ke kami, adik-adiknya yang perempuan.

Bukannya membelaku karena sering mendapat serangan fisik Ukasya, Ibu malah sering membahas ini pada Ayah, tentunya menurut versinya. Dalam versinya, aku dibilang iri pada Ukasya.

“Kamu sama saudara, semuanya dimusuhi,” ucap Ibu menuduhku. 

Tuduhan itu sangat membuat telingaku sakit mendengarnya. Sedangkan Ukasya, serangan fisiknya sama sekali tidak dianggap salah oleh Ibu. Ayah pun tak berani memarahi Ukasya. Ayah menganggap keputusan Ibu sudah objektif dan benar. Karena itu, Ibu sering mencari-cari cara agar ayah memarahiku.

Sore itu seperti biasa aku duduk di sofa di teras depan.

“Assalaamu’alaikum,” ucap suara dari depan pagar.

“Wa alaikum salam, cari siapa?”, tanyaku.

“Ini ada makanan dari bu Yanti,” ucap orang itu.

“Oh, iya,” aku mengambil makanan itu.

Masa kecilku yang kerap diperlakukan kasar oleh orang tua dan saudaraku sendiri membuatku takut menghadapi orang sehingga tak mampu berekspresi dalam berinteraksi dengan sesama. Termasuk mengucapkan terima kasih pada orang yang aku rasa tidak kenal.

“Bu, ini ada makanan dari Bu Yanti,” kataku pada Ibu.

“Kamu ucapkan terima kasih ga?”, tanya Ibu.

“Hmmm….,” aku diam dengan wajah ragu.

“Ga ngucapin terimakasih ya? Gimana sih, kalo dikasih tuh bilang terima kasih dong”, ucap Ibu.

Aku diam saja. Aku masuk dalam kamar. Semua sikapku selalu salah. Padahal aku sudah mau menggantikan Ibu menerima makanan itu. Tapi ibu selalu saja menemukan sela kesalahanku.

“Anak apaan tuh, dikasih makanan sama orang diam saja. Ga bilang terima kasih,” ucap Ibu saat aku mengambil makanan di dapur.

Aku diam saja. Ada ayah di situ. Aku tahu Ibu sedang berupaya agar ayah memarahiku.

“Anak apaan tuh begitu. Tetangga kasih makanan malah diam saja,” Ibu kembali mengulangi perkataannya.

“Bu, kenapa sih? Kan aku sudah mau mengambilkannya? Kenapa masih aja salah?”, aku mulai memberanikan diri menjawab ucapan Ibu.

Lihat selengkapnya