Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #6

Hadiah dari Semesta #6


Cukup berat menjalani hidup ini. Dari hari ke hari, aku merasa kian tertatih-tatih. Tekadku untuk membuktikan bahwa aku bisa menjaga diri dari pergaulan di sekolah umum dengan tidak ikut-ikut berpacaran seperti teman-temanku, sama sekali tidak diapresiasi Ayah.

Padahal banyak anak seusiaku yang akhirnya menjual diri demi agar mendapatkan sejumlah uang dan membeli barang-barang bermerk agar ia bisa diterima pergaulan. Itu tidak mempengaruhinya. Tetap saja aku menjadi pesakitan di mata Ayah.

“Anak durhaka,” begitu kata yang ayah ucapkan saat sedang memarahiku.

Ucapan itu dengan mudahnya ia ucapkan.

“Anak yang suka melawan orang tua itu nanti susah loh hidupnya,” ucap Bilqis berusaha menasihatiku agar jangan lagi membantah Ayah.

“Harusnya kamu tahu, ridha Allah itu sangat bergantung dengan ridha orang tua. Ingat, orang tua itu wakil Tuhan di muka bumi ini,” tambahnya lagi.

Aku pun bersungut. Aku tak yakin dengan ucapannya. Ucapan itu hanya terdengar seperti dogma. Dogma banyak digunakan orang-orang agar kita tidak menjadi manusia yang mau berpikir. Padahal banyak ayat dalam Quran yang berbunyi afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak menggunakan akal?) dan afala tatafakkaruun (apakah kamu tidak berpikir?).

Hikmah diberkahi akal dan pikiran ya untuk digunakan dengan baik dan benar. Bukan malah membungkam orang yang berani berpikir, dengan dalih ajaran agama pula.

“Kalau memang aku anak yang durhaka, mengapa banyak guru sekolah yang dekat denganku? Kalau memang aku anak yang berperangai buruk, mengapa kawan-kawanku senang berteman denganku?” aku bertanya-tanya dalam hati.

Kebimbangan demi kebimbangan membawaku pada keyakinan bahwa aku memang tidak selalu salah. Mungkin satu-dua kali aku ada salahnya. Karena aku juga bisa emosi dengan tuduhan-tuduhan Ayah yang sering kali tanpa alasan. Tapi lebih banyak kesalahan yang diada-adakan saja karena ayah terbawa Ibu yang tak suka denganku karena menurutnya aku benci dengan anak kesayangannya, Ukasya.

“Allah itu objektif. Dia tidak akan mengikuti kemauan orang tua kita begitu saja. Doa orang tua memang mujarab. Tapi kalau orang tua yang mendoakan anaknya dengan nafsu amarahnya yang tidak objektif, memangnya Allah mau kabulkan? Lagi pula, kalau Allah mengikuti maunya orang tua, yang jadi Tuhan siapa? Biar bagaimana pun, orang tua kita tetap manusia, yang tidak lepas dari salah dan khilaf” jawabku di lain waktu saat Bilqis kembali berupaya meyakinkanku akan konsep dogma yang salah tentang ridha orang Allah.

“Ah kamu ini memang susah dikasih taunya,” hardik Bilqis.

Bilqis yang dulu menyemangatiku untuk memilih sekolah atas kemauan sendiri, kini berubah jadi penganut dogma dalam beragama. 

*************


Bukan hal yang mudah bertahan dengan janji yang telah kupegang. Bertahan di atas prinsip untuk tidak ikut terpengaruh pergaulan masa muda di sekolah umum dan tetap bisa menjaga diri. Padahal yang kujanjikan juga tidak mengetahuinya. Aku bisa saja mengingkari janji dalam hati ini.

Saat itu aku sedang menuruni tangga setelah berganti baju selepas olah raga dan aku bermaksud menuju kantin untuk membeli minum. Kembali dari kantin, aku diikuti oleh seorang laki-laki kakak kelasku di SMP. Kudiamkan saja sebagaimana aku sering mendiamkan kakak kelas yang sering menguntitku berjalan. Ia tetap mengikutiku. Dan seperti kakak kelas yang sedang mencoba mendekati adik kelasnya namun masih ada rasa malu, ketika kucoba melihat wajahnya, ia pun pergi.

Aku pun merasa ini sebagai hal yang biasa saja. Sebelumnya malah ada kakak kelasku yang merupakan pemain basket andalan sekolahku, tiba-tiba saja ia menggandengku yang sedang berjalan menaiki tangga menuju kelasku. Buru-buru kulepas tangan yang kurasa lancang itu.

Saat kembali dari kantin menuju kelas, kupikir kakak kelas yang tadi mengikutiku sudah masuk ke kelasnya. Ternyata ia kembali mengikutiku. Dan aku pun kembali mendiamkan. Agak kasihan sebenarnya melihatnya mengikutiku terus. Kucoba kembali melihatnya.

“Boleh minta minumnya?” tanyanya berbasa-basi karena kebingungan melihatku mau bicara apa yang menguncang senyum dan ledekanku.

Melihat aku meledeknya, ia pun jadi bersemangat. Lalu kemudian mengajakku berkenalan. Sebelumnya sudah ada beberapa kakak kelas yang mengajak kenalan. Aku lebih banyak menolaknya. Aku malas, tak minat sama sekali. Namun kali ini, keluguan sikapnya malah membuatku meledeknya dan mau mengenalnya.

Kupikir peristiwa perkenalan aku dengannya hanyalah antara aku dengannya. Keesokannya, setiap aku menaiki tangga sekolah menuju kelas, semua kakak kelasku memanggil namanya. Aku benar-benar malu karena hampir semua orang melihat ke arahku.

Beberapa hari setelah itu, aku didatangi Frans, kakak kelas sekaligus teman bermainku di masa kecil.

“Dapat salam dari Hakim,” ucapnya.

“Hakim siapa?” tanyaku pura-pura tidak kenal.

“Ah kamu jangan pura-pura ga kenal,” ucapnya sambil meledekku.

Lihat selengkapnya