Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #7

Physics is Beauty

Hampir mirip dengan guru di MI, guru di SMP sebagian juga punya sifat pilih kasih atau like and dislike. Namun aku tidak memungkiri ada guru yang sifatnya membangun seperti Pa Candra. Saat duduk di kelas III SMP, wali kelas kami adalah Ibu Ratmi, adalah guru Bahasa Indonesia. Ibu Ratmi punya sifat seperti kebanyakan ibu-ibu: amat sayang pada salah satu temanku yang terlihat rajin belajar, Laqsha namanya. Karenanya, Laqsha rutin masuk tiga besar di kelasku.

Kalau sedang jam pelajaran Bahasa Indonesia, rasanya kelas seperti sudah menjadi rumah bagi Ibu Ratmi dan Laqsha. Pelajaran menjadi hanya percakapan antara Ibu Ratmi dan Laqsha. Kami, murid-murid yang lain hanya diminta mendengarkan penjelasannya. Lalu kemudian bu Ratmi melanjutkan tanya-jawab dengan Laqsha. Laqsha tidak sedikit pun merasa aneh dengan perilaku Ibu Ratmi yang amat sangat mengistimewakan dirinya.

“Lagian teman-teman yang lain pada susah diaturnya sih,” ucap Laqsha membela diri.

Panas rasanya mendengar ucapan Laqsha. Sejak itu, di tiap pelajaran Bahasa Indonesia, aku menyengajakan diri berbicara dan bersenda-gurau dengan teman yang duduk di bangu depan mejaku. Rupanya upayaku menarik perhatian bu Ratmi. Ia pun menegurku dengan memberikanku pertanyaan-pertanyaan dengan nada yang keras dan tajam. Kebetulan saat itu pelajaran tentang istilah-itsilah umum yang ada di sekitar kita.

“Salma, apa arti dari Dunia Dalam Berita?”, tanyanya mengacu pada acara berita malam di televisi nasional.

“Ya berita-berita tentang semua kejadian di dunia bu,” jawabku.

“Kalau Berita Dalam Dunia?”, tanyanya lagi.

“Berita-berita yang disajikan dunia ini”

Pertanyaan-pertanyaannya membuatku tersenyum telah berhasil memancingnya dengan memberikanku pertanyaan-pertanyaan tak berbobot ini. 

“Kamu jangan bercanda terus Salma, dengarkan ya”

“Iya bu,” ucapku sambil tersenyum simpul.

Di rumah, menjelang lulus SMP, ayah masih berusaha mempengaruhiku membuat keputusan pilihan bersekolah selanjutnya.

“Kamu lebih baik masuk SMEA[1] seperti kakak-kakak kamu Zalina dan Bilqis. Kalo SMEA kan bisa langsung kerja. Ketimbang masuk SMA, paling jadi sales kayak tetangga kita itu,” ayah mencibir.

“Salma mau lanjut kuliah pak. Mau ikut UMPTN. Kalo mau ikut UMPTN kan musti masuk SMA,” jawabku mendengar cibiran Ayah.

“Ayah ga punya biayanya,” jawabnya lagi.

“Salma mau cari keringanan dan beasiswa Yah.”

Ayah diam. Sepertinya ia merasa kalah.

Syukur alhamdulillah, meskipun nilai-nilaiku naik-turun, aku berhasil masuk salah satu SMA unggulan di wilayahku. Bahkan hasil nilai Ebtanas[2]ku adalah yang tertinggi di kelas. Aku memang hanya memfokuskan diri pada enam pelajaran yang diujikan di Ebtanas. Karenanya, aku tidak pernah bisa masuk peringkat 3 besar seperti Laqsha, murid kebanggaan bu Ratmi.

Namun aku berhasil mengalahkan teman-teman di kelasku pada nilai akhir yang amat menentukan kelak akan melanjutkan sekolah di mana. Dan Matematika sebagai pelajaran favoritku di SMP benar-benar sangat bisa kuandalkan.

 

****************

 

Meski ayah rutin marah-marah padaku, namun minat belajarku tak pernah surut. Sejak awal masuk SMA, melihat hanya ada dua kelas IPA, aku pun sadar diri tidak mungkin bia masuk kelas itu.

“Masuk SMA unggulan saja aku sudah sangat bersyukur,” ucapku dalam hati merasa tak mungkin bisa masuk kelas IPA di penjurusan kelas 3 nanti.

Aku melewati masa-masa kelas satu SMA dengan biasa saja. Niat belajarku karena aku tidak mau tinggal kelas seperti yang ditakut-takuti guru-guru SMA.

“Yang masuk sekolah ini banyak yang di SMP-nya juara. Tapi begitu masuk sini, untuk dapat nilai enam saja susah sekali,” kalimat-kalimat ini sering didengungkan para guru SMA saling bergantian satu sama lain tergantung siapa yang sedang jadi pembina upacara hari itu.

Ucapan yang sangat mengada-ngada itu ternyata sangat mampu mempengaruhiku.

“Kalau yang juara kelas saja bisa begitu, bagaimana aku yang tidak pernah belajar di masa SMP?”, pikirku dirundung ketakutan.

Bagiku, jangankan mendapat nilai enam. Bisa naik kelas saja aku sudah sangat bersyukur. Sejak itu aku pun merutinkan belajar 3-4 jam setiap hari sepulang dari sekolah.

Lihat selengkapnya