Kebanyakan anak seusiaku lebih sering yang menjadi motivasi belajar mereka adalah orang tuanya. Orang tuanya sangat mendukung mereka rutin belajar setiap hari agar dapat meraih cita-cita. Meskipun lebih sering cita-cita orang tuanya.
Banyak orang tua yang mengambil peran anaknya dalam belajar seperti mengerjakan PR dan tugas sekolah lainnya. Ia ingin menunjukkan ke orang-orang bahwa anaknya mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. Alih-alih mendukung cita-cita anaknya, orang tua seperti ini malah menghambat perkembangan kognitif anak.
Anak jadi malas belajar karena sudah dibantu diselesaikan oleh orang tuanya. Ia pun menjadi terbiasa dilayani dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Orang tua seperti ini akan terus bertanggung jawab menyelesaikan masalah anaknya bahkan sampai mencarikan kerja dan menjaga karirnya. Mereka tidak merasa berdosa telah membuat anaknya jadi tidak mandiri. Mereka tidak berpikir, bahwa nanti, ada masanya mereka musti meninggalkan anak-anaknya dari kehidupan dunia ini.
Sedang orang tuaku, sering sekali ia mengancam tidak memberikan lagi aku uang SPP[1] sekolah. Masuk SMA unggulan tidak membuat Ayah bangga padaku. Ayah malah makin menjadi-jadi menjadikan aku sebagai sasaran amuknya. Perjalananku mewujudkan impian bisa berkuliah masih sangat terjal dan panjang.
“Ga dibiayain sekolah, kamu,” ancam ayah, padahal aku sudah di dalam kamar.
Ancaman ini selalu ayah ucapkan tiap ia sedang tidak bisa menahan emosi. Aku terheran-heran, mengapa di setiap bulan, Ayah selalu tidak bia menahan emosi dan lelau melampiaskan amarahnya padaku?
Apa? Tiap bulan? Seperti tidak asing didengarnya.
Belakangan aku akhirnya tahu, uring-uringannya Ayah di tiap bulan karena ia pusing dengan uang pensiunnya yang mau habis. Dan aku lah sebagai pelampiasannya. Padahal Ayah sudah tidak lagi menafkahi Ibu. Ukasya, Bilqis, dan Fachri sudah bisa memberi Ibu uang bulanan. Lalu apa yang membuat Ayah uring-uringan?
Dari uang pensiun, ayah juga sering mendapat upah membaca doa di acara selamatan tetangga-tetangga. Para tetangga masih sangat segan dengan keilmuan yang dimiliki kakek yang diturunkan pada Ayah.
Uang Ayah memang tidak diberikan pada kami, istri dan anak-anaknya. Namun uangnya rutin ia berikan pada keponakannya yang masih bertetangga dengan kami. Juga pada tetangga-tetangga dekat rumah.
Ayah senang dikenal sebagai orang yang murah tangan pada saudaranya dan pada para tetangga. Mereka tidak tahu, bahwa kami, anak-anaknya, sama sekali tidak merasakan uangnya. Pahit sekali merasakan diperlakukan begini oleh Ayahku. Ia memilih menjalankan yang sunnah ketimbang yang wajib. Aku yang ingin bersekolah, malah sepupuku yang dibiayai.
Rasa pahit ini kucurahkan dalam doa-doaku. Mengapa Ayah tidak mau memberikan hak aku merasakan belajar dan bersekolah? Ayah tahu aku sangat suka belajar. Dan inilah yang Ayah halangi.
Dalam kesedihanku menjalani hari-hari bersekolah, tiba-tiba aku dipanggil guru sekolah. Katanya aku salah satu yang mendapat beasiswa dari alumi. Sepulang sekolah buru-buru kukabarkan pada Ayah.
“Ayah tidak usah memikirkan biaya sekolahku lagi. Aku dapat beasiswa sampai akhir tahun,” ucapku pada ayah.
Ayah tak bereaksi. Kulihat mukanya masam.
Sejak itu, aku tak lagi menangih uang SPP bulanan pada Ayah. Aku meras menang dari Ayah. Namun ternyata permainan belum selesai.
********************
Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin masuk IKJ[2] agar bisa mendalami minatku pada seni peran. Namun biaya masuk kampus ini sangatlah mahal untuk aku yang Ayahnya tidak mau membiayai kuliahku. Aku pun menggantinya dengan mengikuti ekstrakulikuler teater di SMA dan di keputrian rohis. Kupilih keputrian rohis untuk menghindari bersentuuhan dengan lawan jenis yang kerap kulihat di teater pada umumnya.
Aku senang memperhatikan dan mendalami karakter-karakter di sekitarku. Bukan sekedar karakter manusia, karakter hewan dan tumbuhan pun turut jadi perhatianku.
Pohon palem di depan rumah salah satu yang jadi perhatianku. Saat tunasnya tumbuh dan akan berkembang jadi daun, kucoba pisahkan antara daun-daun itu dengan tanganku. Satu-dua kali aku sangat menikmati melakukan hal tersebut. Daun-daun pada pohon palem ini kemudian tumbuh dan berpisah satu sama lain seperti yang sudah-sudah.
Setelah beberapa kali kulakukan hal tersebut, ternyata pola perkembangan daun menjadi melambat. Ia enggan berkembang dan terpisah satu sama lain. Aku pun jadi enggan melepas dedaunan itu. Namun terlambat, tiap tumbuh tunasnya, daunnya akan terpisah tidak alami satu sama lain persis seperti saat aku lepas sebelumnya.
Ternyata campur tangan proses perkembangan pada pohon saja dapat menbuat karakter aslinya berubah. Apalagi pada manusia. Banyak orang tua dan lingkungan sekitar yang terlalu berambisi ingin menggegas anaknya menjadi sesuatu di umur yang tidak sesuai.