Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #9

Inna Ma'al Usriy Yusroo


Keputusan mengikuti program khusus persiapan UMPTN ternyata didengar ibu. Kebetulan ayah belum memberiku uang untuk iurannya. Ibu pun menggunakan kesempatan ini untuk meminta ayah mengalihkan uangnya untuk mengikuktkan Fachri kursus agar bisa diterima bekerja. Ya, sejak dua tahun lalu kelulusan Fachri, ia memang belum mendapat kerja.

“Mending uangnya buat Fachri kursus aja. Daripada buat Salma, ga jelas bakal lulus UMPTN apa ngga,” Ibu mecoba mempengaruhi ayah saat ayah sedang menikmati makan malam.

Aku mendengar pembicaraan mereka dari balik kamar. Ayah memang tidak menjawab. Tapi ayah juga tidak berani menolak kemauan ibu.

“Baru saja aku mau bangkit, langsung Ibu halangi,” batinku terasa bagai teriris-iris.

Obrolan dengan ayah semalam ternyata langsung ditindaklanjuti ibu. Ibu seperti tidak mau aku dapat sela untuk mengembalikan hal yang sudah ayah janjikan padaku. Ibu langsung mendatangi Fachri yang sedang duduk sendirian di kamarnya.

“Fachri, kamu ikut kursus ya,” kata Ibu dengan penuh semangat dan dengan wajah berbinar-binar.

“Hah, kursus apa?”, tanya Fachri karena melihat ibu tiba-tiba saja menawarinya kursus.

“Ya kursus Bahasa Inggis kan bisa, atau apa lah, biar kamu bisa diterima kerja,” kata ibu.

“Oh yaudah,” jawab Fachri.

“Kamu buru-buru deh cari tempat kurususnya. Biar bisa langsung dikasihtau ke ayah,” ibu bener-benar tak mau kusalip.

Dari dalam kamar, aku merasa lunglai mendengar pembicaraan ini. Baru saja aku mau bangkit, ibu langsung mengalihkannya untuk Fachri. Fachri memang sudah lama menganggur, tapi kenapa pas ketika aku sedang butuh bantuan ayah untuk membiayaiku? Kenapa bukan di waktu-waktu sebelumnya, saat aku belum meminta biaya ini?

Ya, penghalang utama untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam hidupku adalah Ibuku. Pendidikannya yang hanya lulusan SDI membuatnya tak bisa membuka pikiran bahwa anak perempuan juga punya hak atas orang tuanya, bukan hanya anak laki-laki. Bahwa anak perempuan juga punya hak atas pendidikan.

Dalam kebingungan, aku mencoba meminta tolong pada Zalina. Meski kami sering bertengkar, tapi Zalina juga melihat keanehan dengan ide Ibu yang muncul saat aku sudah meminta pada Ayah. Sejak Zalina memutuskan mengikuti kursus Agama Islam di pondok pesantren dekat rumah, Zalina kini menjadi anak kesayangan ayah dan ucapannya selalu didengar Ayah karena belajar dengan para ulama yang ayah segani.

“Tolong kasih pengertian pada ayah, ya masa pas aku butuh. Kalau memang Fachri juga butuh, kemarin-kemairn ke mana aja? Jangan pas aku butuh, malah juga ikut-ikutan butuh dan malah mengalihkan uang yang disiapkan ayah untuk membiayaiku malah diberikan untuk Fachri,” pintaku memelas pada Zalina.

“Ayah kan suka nganterin aku ke ponpes. Nanti di jalan aku ajak bicara. Mudah-mudahan ayah bisa paham,” jawab Zalina.

Aku bersyukur ternyata Zalina bisa memahamiku.

Sepulangnya dari ponpes, aku bertanya pada Zalina.

“Zalina, gimana tadi di jalan?”

“Bisa, bisa,” jawabnya sambil mengacungkan kedua jempolnya.

“Eh, bisa, maksudnya gimana, ceritakan lah,” aku berbinar.

“Tadi di jalan, Ayah aku stop, ga aku kasih pulang. Kita lumayan lama ngobrol. Sampai akhirnya Ayah bisa ngerti kalau kamu juga urgen. Bahkan kalo tahun ini kamu ga ikut, kamu bisa nganggur juga,” jawab Zalina.

“Kalo soal Fachri gimana?”

“Tadi ayah juga sempat menyanggah karena kasihan lihat Fachri belum bekerja. Aku bilang, Fachri masih bisa besok-besok. Tapi jangan keinginan untuk mengikutkan Fachri kursus, malah menghalangi permintaan Salma. Lagi pula Salma kan ga pernah minta uang sekolah. Nanti pas kuliah, Salma juga bisa cari beasiswa dan meminta keringanan uang kuliah,” begitu kujelaskan pada Zalina.

Aku merasa beruntung masih punnya kakak seperti Zalina. Meski kalau kami bertengkar ibu malah sering memperpanas pertengkaran kami dan membela Zalina tanpa peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Setidaknya Zalina lah yang kini membantuku menggapai cita-citaku.

 

 **************

 

 Sebenarnya keputusan ini membuatku musti banyak mempersiapkan diri menerima akan keadaaan dan lingkungan yang akan kuhadapi. Sementara temen-teman SMA-ku sudah masuk perkuliahan, aku malah harus membiasakan diri mengulang pelajaran-pelajaran sekolah.

Beruntung, dalam masa belajar, kami diberikan sesi khusus konseling agar kami benar-benar bisa mempersiapkan diri menghadapi kehidupan kami ke depannya. Guru-guru kami pun tidak bisa memastikan apakah kami benar-benar ditakdirkan diterima di jurusan impian kami dan juga di kampus impian kami.

Lihat selengkapnya