Ayah itu sebenarnya hidupnya mudah. Selain menjadi imam dan humas di masjid di kampung kami, banyak juga tetangga yang sering memintanya membacakan doa di acara-acara syukuran mereka. Kadang malah mereka sendiri yang datang ke kumah untuk minta dibacakan doa. Meskipun Ayah tak pernah meminta, mereka pun loyal memberikan uang upah ayah mendoakan. Beberapa tetangga bahkan berani mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk didoakan Ayah, hampir setengah uang pensiun Ayah. Sayang, tetanggaku tidak tahu akan polah tingkah ayah di rumah.
Kupikir, setelah aku berhasil membuat mereka bangga dengan kelulusanku di jurusan favorit dan juga kampus favorit di negeri ini, aku akan bisa meredakan amarah Ayah dan Ibu. Nyatanya tidak. Ayah tetaplah Ayah yang suka uring-uringan dam melampiaskannya padaku. Saat aku sedang belajar untuk UTS[1], ayah mengomel tak berhenti.
“Jadi orang sombong banget, benci aja sama saudara, busuk hatinya,” ucap Ayah padaku.
Dahulu tiap Ayah berucap seperti itu, aku mencoba menelaah dan memperbaiki diri. Kucoba untuk menata sikapku pada saudaraku. Namun ternyata label itu masih saja diberikan padaku tiap Ayah sedang uring-uringan. Perubahanku ternyata tak merubah label yang sudah ayah berikan. Aku pun jadi yakin bahwa itu hanya sekedar label, bukan aku yang sebenarnya.
“Apa sih, orang lagi belajar, tiba-tiba muncul kata-kata seperti ini. Ini pasti habis dikompori Ibu”, pikirku dalam hati.
Meski rutin mengaji dan shalah Tahajjud, Ayah tetap saja mudah dikompori Ibu. Lagi-lagi Ibu sedang menutupi ulah Ukasya yang malas shalat berjamaah, tapi malah menyodorkan aku sebagai ganti sasaran amuk ayah.
Sejak Ukasya menikah dan istrinya ikut tinggal bersama kami, Ayah makin menjadi-jadi saja mengamuk padaku. Pernah suatu ketika setelah aku selesai UTS dan beristirahat sebentar di kamar, aku pun keluar dari kamar. Aku yang sedang kelelahan karena UTS di kampusku tidak berjeda dari hari ke hari malah dihujani tendangan bertubi-tubi dari Ayah. Hatiku benar-benar merasa teriris dibuatnya.
Usut punya usut, ternyata Ayah sebenarnya sedang gusar pada istri Ukasya yang malas mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi Ayah tidak mau menentang Ibu yang sangat melindungi Ukasya. Jadinya aku lah yang dijadikan sasaran tembak Ayah.
Padahal istri Ukasya, Ana, telah mendapat tempat yang lebih menyenangkan di hati Ayah ketimbang Aku. Pada Ana, Ayah mau mendengarkan cerita-cerita dan ucapan-ucapannya. Sama seperti Ukasya, bagaimana pun perilaku Ana, ayah tak pernah memarahinya.
“Iya Yah, jadi dia ini pendakwah yang bagus, Ana suka sama dia, soalnya dia selalu pakai referensi ayat Quran, “ cerita Ana pada Ayah saat menjelaskan perihal pendakwah favoritnya yang sedang tampil di televisi.
Ayah menimpalinya dengan nada senang. Sama sekali Ayah tidak menghardiknya. Dari balik kamar, aku iri mendengarnya. Ayah bisa begitu akrab pada seseorang yang baru dikenalnya dan bukan anak kandungnya. Sedangkan padaku, anak kandungnya, ayah tidak mau mendengarkan ucapan-ucapanku. Ayah bahkan lebih banyak menghardikku sebagai anak yang sombong dan berhati busuk karena katanya aku benci pada Ukasya dan istrinya. Bukan main fitnahan yang kudengar dari mulut Ayahku sendiri.
”Kucing,” ucap Ana tertawa sambil menunjuk ke arahku yang sedang makan sendirian di dapur. Sedangkan Ayah, Ibu, Ukasya dan Ana semua makan di meja makan.
”Mana?”, tanya ibu
”Tuh, kucing tuh, pus puuuss...,” kembali Ana mengulangi kata-kata buruknya itu seraya menunjuk kembali padaku.
”Oh, itu,” ternyata ibu juga tertawa.
Bahkan demi menjaga nama baik Ukasya, Ana menyamakan aku dengan binatang pun malah ditertawainya. Ibu sama sekali tidak menganggapku sebagai anaknya. Aku bahkan musti banyak berhati-hati saat bicara pada ibu dan ayah, juga pada Ukasya, dan kakak-kakakku yang lain. Aku benar-benar merasa terjajah oleh keluargaku sendiri. Hak aku untuk bisa menjadi diri sendiri benar-benar tidak kudapatkan.
Tak pelak, kuliahku yang semakin susah namun malah dihujani makian, umpatan, dan tendangan Ayah, membuat aku sulit untuk berkonsentrasi belajar. Aku musti menelan pil pahit beberapa kali mendapat IPK[2] di bawah dua.
Suatu ketika, ketika aku sedang mengerjakan laporan praktikum dengan ketik manual, tiba-tiba saja nenek datang dan ingin menginap di rumah kami. Ibu langsung menunjuk kamarku sebagai tempat tidur nenek menginap.
“Salma, nenek mau tidur, sudahi dulu lah mengetiknya”
“Bu, laporan ini harus dikumpukan besok pagi”, ucapku memelas berharap dimaklumi.
Namun Ibu malah menatapku tajam diiringi dengan ekspresi cemberut pada bibirnya. Ibu tidak mau tahu dengan kondisi aku yang sedang sibuk dengan ketikan laporan praktikum yang belum selesai. Padahal ada kamar-kamar lain yang masih bisa ditumpangi nenek untuk istirahat malam itu.
Bukan main bingungnya aku karena laporan praktikum ini musti diserahkan jam 08.00 esok pagi dan musti on time. Telat sedikit saja, laporan ini bisa tertolak dan aku musti mengulang praktikun di tahun depan. Aku pun memilih tetap meneruskan mengerjalan laporan di sebelah nenek yang sudah tertidur dengan diiringi makian dari Ibu.
“Salma….. sudaahh,” kali ini Ibu dengan nada tinggi.
Aku diam beberapa saat, tidak melanjutkan ketikan-ketikan laporan praktikum itu. Saat suasana sudah hening, pelan-pelan kulanjutkan ketikan-ketikan itu. Kali ini benar-benar pelan, agar Ibu tidak mendengarnya.
***********
Halangan-halangan yang kian hari kian bertambah membuatku juga kian tak termotivasi belajar. Pandangan-pandangan sinis sering dialamatkan teman-teman kampusku padaku. Aku tak bisa menggubrisnya. Bagiku, jika kujawab, sama saja dengan membuka aib keluargaku. Aku lebih memilih menelan pil pahit ini sendirian ketimbang harus menceritakan betapa ganasnya Ayah padaku.
Mereka tidak tahu beratnya beban hidup yang musti kutelan sendiri, hingga berakibat pada kuliahku. Aku memang tidak pernah bercerita pada mereka. Aku malu, mereka punya orang tua yang perhatian pada perkembangan mereka. Aku merasa asing dan berbeda di tengah-tengah orang-orang berprestasi dengan latar belakang orang tua yang juga amat peduli pada pendidikan mereka.
Lagipula keharmonisan hidup keluarga teman-temanku belum tentu dapat membuat mereka percaya dengan cerita-ceritaku. Aku juga tidak mau disebut membual atau dianggap terlalu berlebihan dalam menyikapi hidupku ini.
“Kamu itu memang malas, sudah,” bentak seorang teman sambil berjalan cepat meninggalkanku.
Mungkin ia muak dengan sikapku pada perkuliahanku ini. Tapi di balik itu, aku melihat terbesit perhatian dari temen-teman, yang justru tidak kudapatkan pada kedua orang tuaku.
************
Aku juga sering berperilaku yang tidak masuk akal mereka. Suatu ketika saat menginap belajar bersama, pukul 06.10 pagi aku baru menyadari bahwa ternyata kartu mahasiswaku tidak terbawa alias tertinggal di rumah. Ujian mulai jam 10 pagi. Dan mesti menunjukkan kartu mahasiswa dahulu untuk dapat masuk ruangan ujian.
Aku pun segera berjalan menuju hal bus di depan kampus kemuadian lanjut naik kereta menuju rumah untuk mengambil kartu mahasiswa yang tertinggal di rumah. Jarak antara rumahku yang di perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dengan kampusku di Depok bisa ditempuh kereta kurang lebih setengah jam lamanya.
Sampai di rumah pukul 07.12 , buru-buru kubuka laci tempat aku meletakkan kartu mahasiswa.
”Alhamdulillah, kartu ini ada, tidak hilang,” ucapku dalam hati dengan penuh syukur.
Perjalanan pulang dari kampus ke rumah ditambah dengan begadang belajar semalam suntuk membuat badan ini terasa sangat lelah . Kantuk yang sedang menyerang membuatku benar-benar tak berdaya. Di kamar, aku pun mencoba mengistirahatkan tubuh ini.
“Maksimal setengah jam lah,” aku benar-benar optimis.
Kelelahan ini benar-benar membuat badanku malah menuntaskan istirahatnya. Aku baru sadar bahwa aku benar-benar tertidur ketika aku terbangun di jam 9.20 pagi. Dengan terkaget-kaget dan ketakutan, aku segera bersiap-siap berangkat kembali ke kampus. Untung saja pagi itu aku sudah menggunakan setelan baju rapih untuk ujian.
Aku pun berjalan setengah berlari menuju stasiun kereta. Jarak antara rumah dan stasiun kereta terdekat memang biasa kutempuh dalam waktu sepuluh menit. Perhitunganku, kalau sesuai jadwal, biasanya ada kereta di jam 09.30. Dalam perjalanan dari rumah ke stasiun ini kurapalkan doa-doa agar aku berjodoh dengan kereta di jam 09.30. Telat beberapa detik saja, maka aku bisa ketinggalan kereta dan tidak mengikuti ujian pagi itu.
Benar dugaanku, sesampainya di stasiun, kereta sudah sampai. Malangnya, di depannya ada kereta lain yang sedang lewat. Hatiku benar-benar kacau dibuatnya. Beruntung, begitu selesai kereta depannya lewat, kereta itu masih ada. Aku pun segera lari terseok-seok menujunya sambil terus berharap agar kereta ini tidak mogok di pertengahan jalan.
Syukur alhamdulillah, kereta berjalan lancar sehingga waktu tempuh hanya 20 menit menuju stasiun UI Depok. Aku masih punya waktu sepuluh menit menuju ruang ujian.
”Kamu dari mana saja? Kita ini khawatir kamu belum muncul juga sampai mau jam ujian,” teman-teman memberondongku setelah ujian selesai.
”Aku tadi kelelahan dan aku mencoba mengistirahatkan badan ini. Tapi malah jadi ketiduran,” jawabku apa adanya.
”Apaaa???” semua mata teman-temanku memandangku dengan terbelalak.