Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #13

Mengenal Lebih Dekat

Sudah hampir satu tahun aku bekerja di perusahaan ini. Perusahaan yang bergerak di jasa jaringan telekomunikasi. Bekerja di sini, aku jadi paham banyak hal terkait telekomunikasi. Kadang, kalau kerjaan sedang agak lowong, aku juga bisa ikut belajar tentang survei LOS[1] di lapangan. Biasanya kami ke atap-atap gedung tempat vendor telekomunikasi meletakkan antena dan peralatan-peralatan yang disewa oleh operator jaringannya.

Dari sini, aku jadi paham mengapa di tempat-tempat tertentu atau saat perjalanan kita sering kehilangan sinyal. Salah satunya adalah adanya tembok-tembok beton yang dapat menghalangi sampainya sinyal ke pengguna di dalam bangunan beton tersebut.

“Salma, kamu ke Bali ya,” suara Pa Pandu di ujung telepon malam itu.

”Iya Pa. Saya bawa apa pa?”, saking antusiasnya, aku pun bingung.

”Ya kamu bawa laptop kerja kamu aja,” jawabnya.

”Duh, bodohnya,” aku jadi tertawa sendiri.

”Kamu segera hubungi mba Ela untuk minta disiapkan tiketnya ya,” ucap Pa Pandu.

”Ada lagi yang berangkat besok selain saya pa?,” tanyaku berharap ada yang menemaiku karena Ini akan jadi pengalaman pertamaku naik pesawat. Dan pengalaman pertamaku adalah langsung ke pulau paling indah sedunia, pulau yang dikenal sebagai “Island of Paradise”.

“Oh, ada, Yudis. Dia dari Bandung,” jawabnya.

Perusahaan tempatku bekerja memang sedang menambah proyek pekerjaan. Setelah melakukan presentasi ke beberapa vendor telekomunikasi, diperoleh lah deal proyek new site di Bali oleh Huawei.

Banyak sekali new site yang mesti on-air dalam waktu tiga bulan ke depan. Dan aku menjadi salah satu dari sejumlah orang sekaligus satu-satunya perempuan yang diminta mengerjakan proyek new-site di Bali. Tentunya target yang amat sangat cepat ini membuat kami mesti rutin lembur bekerja. 

“Besok nanti pesawatnya yang jam 4 sore ya,” jelas mba Ela.

Pesawat mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai setelah matahari baru saja terbenam. Keluar dari bandara, kami sudah ditunggu supir kantor.

“Mba Salma dan mas Yudis, saya diminta Pa Pandu untuk menjemput. Ayo ikut saya,” ajaknya saat melihat kami sudah ada di pintu keluar bandara.

”Panggil saya Ketut saja. Di sini, kita lebih banyak dipanggil dengan nama keluarga ketimbang nama asli kita,” ucapnya ketika kami menanyakan namanya.

“Malam-malam begini enaknya makan lalapan pa,” ucap Pa Ketut sambil menawarkan singgah di salah satu lalapan yang banyak kami lewati di sepanjang jalan menuju lokasi kantor kami berada.

“Iya Pa, nanti saja. Kami mau bertemu atasan kami dahulu,” jawab Yudis.

“Orang lagi lapar malah menawarkan makan lalapan,” gumamku dalam hati. Kupikir, Yudis punya pikiran yang sama denganku.

Segera ia antar kami menuju kantor kami yang terletak persis di depan Monumen Bajra Sandhi, Renon, Denpasar. Saat perjalanan menuju kantor, aku merasa seperti disambut oleh patung besar di bundaran jalan besarnya. Aku merasa seperti sudah melihat ini sebelumnya. Tapi entah di mana.

”Kalian makan saja dulu,” ajak Pa Pandu pada aku dan Yudis yang sama-sama baru sampai di Bali.

Ternyata Pa Pandu mengantarkan kami ke tenda bertuliskan “Lalapan”.

“Apakah di sini makan malamnya adalah sayuran? Waduh, ga kenyang dong? Ah sudah lah, ikuti saja,” pikirku dalam hati.

“Kamu mau apa, Salma, Yudis, ayam atau lele?” tanya Pa Pandu menawarkan.

“Ooooh… ternyata yang dimaksud lalapan adalah pecel lele dan pecel ayam yang biasa kami makan di Jakarta,” gumamku dalam hati.

Sebenarnya hidangan ini memiliki nama pecak lele di daerah asalnya, Jawa Timur. Namun karena di Jakarta istilah pecak sudah digunakan pada makanan khas Betawi, yaitu ikan tawar yang digoreng atau dibakar dan disiram kuah santan. 

Maka untuk membedakan, penyebutannya diganti oleh para pedagangnya. Padahal di rumah, aku sudah telanjur mengenal pecel sebagai sayur-sayuran rebus yang diberi kuah bumbu kacang. Sebutan pecel pada ayam dan lele goreng disajikan bersama nasi, sambal, lalapan saja sudah membuatku kagok. Dan sekarang malah disebut sebagai lalapan.

 Setelah makan, kami pun diantar menuju kantor dan diperkenalkan pada pekerjaan. Malam itu sudah menunjukkan pukul 22.00. Tapi masih banyak orang yang bekerja di dalam kantor.

Meski tubuh ini masih lelah dan ingin segera beristirahat, kami pun tak enak hati jika kami meninggalkan mereka langsung ke hotel. Lagi pula, kami hanya bisa pulang bersama dengan manajer kami karena mobil kantor kami hanya ada satu untuk tiap bagian. Jadi kami pun ikut bekerja sampai jelang shubuh.

 

***************


Orang tuaku memiliki latar belakang yang keras dan amat sulit menoleransi perbedaan, apalagi dalam beragama. Hidup bersama mereka membuatku ikut juga terbawa karakter kerasnya: merasa paling benar dan paling baik dan yang lain salah dan buruk. Tak jarang, aku juga senang mendebat orang-orang yang berbeda denganku.

Padahal perbedaan adalah bukti kuasa Tuhan dalam menciptakan. Agar kita mau banyak mengenal dan mempelajari perbedaan-perbedaan itu. Bukan untuk dicari-cari letak salahnya sampai runcing dan tajam. Tentunya dengan tetap berpegangan dengan nilai-nilai yang bersesuaian dengan yang diajarkan-Nya

Sebelum mengunjunginya, Bali dalam pikiranku identik dengan pergaulan bebas dan penyakit akibat pergaulan bebas Sebagaimana yang kuperoleh dari berbagai media. Bali dalam pikiranku adalah wilayah dengan masyarakat yang sangat anti dengan muslim. Apalagi mereka baru saja mengalami trauma adanya Bom Bali yang sampai dua kali itu. Karenanya, ketika tema-temanku dikirim ke Bali, aku sama sekali tidak berharap.

 Kami baru bisa pulang dari kantor pada pukul 04.00 pagi. Di sepanjang perjalanan pulang, aku melihat pemandangan yang tidak kusangka-sangka sebelumnya. Aku melihat banyak berseliweran orang-orang bersarung menuju masjid. Aku benar-benar merasa tak asing dengan pemandangan ini. Pemandangan yang rutin kulihat di wilayah Condet, Jakarta Timur. 

Wilayah ini sering kudatangi untuk mengikuti berbagai kajian ilmu-ilmu Islam dengan guru-guru lulusan Hadramaut. Sejak itu, aku merasa begitu dekat dengan Bali. Rasanya seperti kampung halaman yang sudah lama kutinggalkan. Sejak itu pula aku lebih percaya dengan pengalaman di lapangan ketimbang pada cerita-cerita yang belum kubuktikan langsung.

Bos kami didatangkan langsung dari China, dan kebanyakan dari mereka tidak beragama. Karena mereka tidak menyediakan tempat khusus kami untuk shalat, aku pun mesti mencari-cari sendiri tempat shalat itu. Kulihat beberapa temanku menggunakan ruang kecil di sebelah toilet untuk mereka shalat. Aku pun mengikuti shalat di tempat itu. Meskipun kecil, setidaknya masih ada tempat.

Malangnya, beberapa hari kemudian, ruangan itu dikunci. Aku pun mencoba mencari ruangan kosong lain yang juga bisa kugunakan untuk salat. Namun lagi-lagi, beberapa hari kemudian ruangan itu dikunci. Temanku yang lain malah salat di samping meja kerjanya. Aku tidak tega membiarkan diriku dilihat lawan jenis mengenakan mukena dan shalat di antara mereka.

”Kamu salatnya di mana?”, tanyaku pada orang yang baru kulihat setelah satu minggu aku bekerja di sini, Wheny namanya. Rupanya ia bekerja di sini juga. 

Wheny ini pendiam tapi sering hilang di waktu-waktu setelah azan berkumandang. Kebetulan pekerjaanku terkait dengannya.

“Saya salatnya di masjid di depan kantor ini,” jawabnya.

“Hah, bukannya di depan itu pura?”, tanyaku heran.

”Ada masjid juga,” jawabnya lagi mencoba meyakinkanku.

Aku makin kebingungan.

”Nanti kalau kamu mau shalat, ajak aku ya,” pintaku karena aku merasa petunjuknya tidak jelas.

”Oh, iya”

Dari caranya menaggapi omonganku, aku jadi khawatir kalau-kalau ia tidak ternyata ketika azan berkumandang ia tidak mengajakku ke masjid.

Adzan Zuhur yang kutunggu-tungguu pun berkumandang. Wheny segera bangun dari tempat duduknya ia bekerja. Tepat dugaanku, Wheny pergi tanpa mengajakku.

“Hei, mau ke mana?”, tanyaku setengah berteriak pada Wheny.

”Mau ke masjid lah,” jawabnya masa bodoh.

”Tunggu aku”

Kami pun berjalan menuju masjid terdekat yang ada di dalam salah satu bank nasional di negeri ini. Ternyata posisi masjid itu di samping kiri depan kantor kami.

”Pantas ia bilang di depan,” gumamku.

Di masjid ini ternyata ramai orang yang sedang menunaikan shalat Zuhur. Setelah shalat pun kami disajikan ceramah keagamaan. Ini terasa seperti oase di tengah dahaga kami yang kesulitan mencari tempat ibadah khusus muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat penganut Hindu. Dan setelah beberapa hari shalat di masjid ini, kuperhatikan masjid ini juga rutin diisi berbagai kajian. Sebagaimana masjid di perkantoran- perkantoran yang ada di Jakarta.

Bayangan ketakutanku akan islamophobia pada warga Bali, sirna sudah. Aku bener-benar diketuk dan dibukakan Tuhan untuk bisa lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Tidak ikut-ikut arus yang tersebar melalui media dan sosial media. Karena pada akhirnya aku jadi tahu bahwa media dan sosial media memiliki misinya tersendiri.

 

Lihat selengkapnya