Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #11

Sang Gurul #11

”Sal, kalau mau melamar kamu, aku harus hafal berapa juz?,” tanya Aula, seorang teman satu fakultas yang juga aktivis di kampus.

”Aku ga butuh penghafalan. Aku butuhnya pengamalan,” jawabku.

Makin hari makin banyak saja orang-orang yang terpana pada hafalan-hafalan lalu berhenti di situ saja. Benyak orang tua begitu bangga menggegas anaknya dengan hafalan-hafalan Quran. Hanya hafalan, tanpa diiringi pengamalan. Mereka tidak tahu, bahwa seburuk-buruknya ilmu adalah ilmu yang tidak diamalkan dan tidak menambah hidayah banginya.

Maka tak heran banyak hafiz Quran tapi masih minim adabnya. Mereka hanya digegas hafalah-hafalan ayat namun tidak memberikan asupan akhlak di dalamnya. Bahkan beberapa hafiz juga berani bertindak kriminal.

Agama adalah pedoman hidup, panduan kita dalam menempuh perjalanan hidup ini. Yang harus digunakan adalah makna dari ayat-ayat itu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar dihafalkan. Maka menjadi Hafiz Quran adalah tugas yang sangat berat. Bukan sekedar buat bangga-banggaan. Lalu kemudian kembali kuncup karena tidak mampu mengamalkannya.  

Di kampus, selain di BEM, aku juga ikut aktif bersosialisasi di rohis kampus. Pola kajian di kampusku berupa kelompok ala liqo[1] dengan jumlah orang yang terbatas sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sayangnya, yang mengajar hanyalah para senior kami. Mereka tidak punya ilmu dasar agama Islam sebagaimana para ustad yang aku kenal baik di MI maupun di beberapa pengajian yang aku ikuti.

Beberapa kali bahkan aku sering menyanggah pernyataan-pernyatannya karena menurutku bertentangan dengan ilmu yang telah kudapat sebelumnya. Dalam bacaan Quran, mentor kami juga tidak lebih lancar dan tidak lebih tartil dariku. Namun berani menafsirkan ayat Quran hanya berdasar terjemahan.

Selain itu, dalam bersikap, banyak sekali menentang hal-hal yang sudah biasa kami lakukan, seperti perayaan maulid dan sunnah-sunnah lainnya yang mereka sebut sebagai bid’ah. Jadi kalau ada yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan, mereka klaim sebagai bid’ah yang katanya tempatnya di neraka. Waduh, kejam sekali klaimnya. Bukannya mencari tahu asal-usul adanya perayaan maulid, malah gemar sekali memberi cap kebiasaan beragama yang belum mereka ketahui sebagai hal yang salah.

Mereka beragama dengan bengis dan kejam, sama sekali tanpa toleransi terhadap yang berbeda dengannya. Padahal, Rasulullah pun bersabda bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Bukan untuk diruncingkan untuk menusuk yang berbeda dengan mereka. Bahkan dalam ayat Quran disebutkan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk dapat saling mengenal.

Mengapa mereka senang sekali mengklaim sifat Jalal ketimbang sifat Jamal? Padahal, sifat Jamal Allah mendahului sifat Jalal-Nya. Di mana sifat utama Allah, yaitu Maha Pengasih dan Penyayang? Padahal kami tak pernah mengkritik cara mereka mengajari dengan model liqo. Kami juga tidak pernah mengkritik penggunaan celana cingkrang yang katanya untuk menghindari isybal[2], padahal dalam pemahaman kami, bukan di situ maksud isybal yang Rasulullah katakan.

Rasulullah menyebut isybal itu haram jika digunakan dengan perasaan sombong. Dan yang tahu adanya rasa sombong atau tidak hanyalah diri kita sendiri dan Allah. Bukan hanya dari sekedar melihat kain di bawah mata kaki lantas langsung dicap sombong.

Lagi pula, yang mereka gunakan adalah celana cingkrang di atas mata kaki. Sedang Rasulullah Saw menggunakan kain, tidak menggunakan celana cingkrang. Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama yang mahsyur pun juga menggunakan kain di atas mata kaki, bukan celana panjang di atas mata kaki.

Mereka sering meminta Hadits namun mereka menafsirkan hadits tidak sesuai konteks. Yang mereka jadikan tumpuan adalah terjemahan Quran dan Hadits, sama sekali tidak mengkaji Al-Quran melalui pemahaman nahwu sharaf disertai dengan asbabun nuzulnya. Mereka hanya mengikuti pemahaman-pemahaman kaku sekelebat yang muncul dari pikiran mereka setelah membaca terjemahan. 

Ada ayat-ayat yang sifatnya kontekstual, hanya berlaku saat itu. Contohnya ayat tentang pernikahan. Salah satunya adalah kesalahpahaman tentang dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan ahlul kitab. Ahlul kitab pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai orang yang menganut agama samawi lainnya seperti nasrani dan yahudi. Tapi ahlul kitab di saat itu, bukan di saat ini.

Ahlul kitab di saat ini kitabnya sudah berbeda dengan saat Rasulullah baru mulai berdakwah. Saat itu, penganut Islam masih sangat sedikit, sehingga diperbolehkan menikah dengan mereka. Banyak orang yang menganut agama para pendahulu, dan ada juga di antara mereka yang masih menjadi Ahlul Kitab karena belum bertemu dengan Rasulullah Saw.

Lihat selengkapnya