”Sal, kalau mau melamar kamu, aku harus hafal berapa juz?,”
Tiba-tiba saja Aula bertanya begitu. Aula adalah salah seorang teman satu fakultas yang juga aktivis di kampus. Ia memang senang menggoda wanita-wanita berhijab lebar.
”Aku ga butuh penghafalan. Aku butuhnya pengamalan,” jawabku.
Makin hari makin banyak saja orang-orang yang terpana pada hafalan-hafalan lalu berhenti di situ saja. Banyak orang tua begitu bangga menggegas anaknya dengan hafalan-hafalan Quran. Hanya hafalan, tanpa diiringi pengamalan. Mereka tidak tahu, bahwa seburuk-buruknya ilmu adalah ilmu yang tidak diamalkan dan tidak menambah hidayah baginya.
Maka tak heran banyak hafidz Quran tapi masih minim adabnya. Mereka hanya digegas hafalah-hafalan ayat namun tidak diberikan teladan akhlak. Maka jangan salahkan kalau belakangan marak para hafidz yang juga berani bertindak asusila dengan mengatasnamakan agama.
Karena tidak diberikan keteladan akhlak oleh para guru dan orang tuanya, banyak siswi dan santriwati yang tidak berani menolak tindakan asusila yang dilakukan para senior atau guru-gurunya baik di sekolah maupun di pondok pesantren. Inilah buah dari menjadikan agama hanya sebatas hafalan dan ritual semata.
Agama adalah pedoman hidup, panduan kita dalam menempuh perjalanan hidup ini. Yang harus digunakan adalah makna dari ayat-ayat itu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar dihafalkan. Maka menjadi Hafidz Quran adalah tugas yang sangat berat. Bukan sekedar buat bangga-banggaan. Lalu kemudian kembali kuncup karena tidak mampu mengamalkannya.
Di kampus, selain di BEM, aku juga ikut aktif bersosialisasi di rohis kampus. Pola kajian di kampusku berupa kelompok ala liqo[1] dengan jumlah orang yang terbatas sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sayangnya, yang mengajar hanyalah para senior kami. Mereka tidak punya ilmu dasar agama Islam sebagaimana para ustad yang aku kenal baik di MI maupun di beberapa pengajian yang aku ikuti.
Aku sering menyanggah pernyataan-pernyataan para mentor yang menurutku bertentangan dengan ilmu yang telah kudapat. Dalam bacaan Quran, mentor kami juga tidak lebih lancar dan tidak lebih tartil dariku. Apalagi pengetahuan bahasa Arab dengan segala perubahan kata yang ada di dalamnya. Sama sekali mereka tidak paham. Herannya, mereka berani menafsirkan ayat Quran hanya berdasar terjemahan. Mereka sama sekali tidak mengetahui asbabun nuzul dari ayat-ayat tersebut. Asbabun nuzul inilah yang jadi pedoman bagi kita, diperuntukkan untuk siapa saja ayat-ayat tersebut.
Ayat Quran juga terbagi menjadi dua jenis. Ada ayat yang jelas maknanya dan ada yang ayat tersamar maknanya. Semua tidak bisa hanya bermodal terjemahan bahasa Indonesia yang sering kali tidak sepadan dengan bahasa Quran.
Dalam bersikap, para mentor kami banyak sekali menentang hal-hal yang sudah biasa kami lakukan, seperti perayaan maulid dan kegiatan lainnya yang mereka sebut sebagai bid’ah. Jadi kalau ada yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan, mereka klaim sebagai bid’ah yang katanya tempatnya di neraka. Waduh, kejam sekali klaimnya. Bukannya mencari tahu asal-usul adanya perayaan maulid, malah gemar sekali memberi cap kebiasaan beragama yang belum mereka ketahui sebagai hal yang salah.
Mereka tidak tahu bahwa kitab maulid berisi tentang sejarah Nabi Muhammad Saw. Dengan sering membacanya, dapat meningkatkan gairah hidup untuk menjadi insan kamil sesuai yang diamanatkan dalam Al-Quran. Kalau bukan dari mempelajari kehidupan Rasulullah Saw, dari mana kita dapat teladan dalam bersikap sesuai yang Allah ridhai?
Mereka beragama dengan bengis dan kejam, sama sekali tanpa toleransi terhadap yang berbeda dengannya. Padahal, Rasulullah pun bersabda bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Bukan untuk diruncingkan untuk menusuk yang berbeda dengan mereka. Bahkan dalam ayat Quran disebutkan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk dapat saling mengenal.
Mengapa mereka senang sekali mengklaim sifat Jalal ketimbang sifat Jamal? Padahal, sifat Jamal Allah mendahului sifat Jalal-Nya. Di mana sifat utama Allah, yaitu Maha Pengasih dan Penyayang? Padahal kami tak pernah mengkritik cara mereka mengajari dengan model liqo. Kami juga tidak pernah mengkritik penggunaan celana cingkrang yang katanya untuk menghindari isybal[2]. Padahal dalam pemahaman kami, bukan di situ maksud isybal yang Rasulullah katakan.
Rasulullah menyebut isybal itu haram jika digunakan dengan perasaan sombong. Dan yang tahu adanya rasa sombong atau tidak hanyalah diri kita sendiri dan Allah. Bukan hanya dari sekedar melihat kain di bawah mata kaki lantas langsung dicap sombong.
Lagi pula, yang mereka gunakan adalah celana cingkrang di atas mata kaki. Sedang Rasulullah Saw menggunakan kain, tidak menggunakan celana cingkrang. Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama yang mahsyur pun juga menggunakan kain di atas mata kaki, bukan celana panjang di atas mata kaki.
Ada ayat-ayat yang sifatnya kontekstual yang hanya berlaku saat itu. Contohnya ayat tentang pernikahan. Salah satunya adalah kesalahpahaman tentang dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan ahlul kitab. Ahlul kitab pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai orang yang menganut agama samawi lainnya seperti nasrani dan yahudi. Tapi ahlul kitab di saat itu, bukan di saat ini.
Ahlul kitab di saat ini kitabnya sudah berbeda dengan saat Rasulullah baru mulai berdakwah. Saat itu, penganut Islam masih sangat sedikit, sehingga diperbolehkan menikah dengan mereka. Banyak orang yang menganut agama para pendahulu, dan ada juga di antara mereka yang masih menjadi ahlul kitab karena belum bertemu dengan Rasulullah Saw.
Seorang Ahlul kitab yang hanif sudah pasti akan beriman pada Rasulullah Saw karena di kitab mereka disebutkan tentang ciri-ciri nabi akhir zaman. Dalam salah satu ayat Quran disebutkan, ”mereka lebih mengenal Nabi Saw daripada seorang ibu mengenal anaknya”. Kalau mereka tidak mau beriman pada Nabi Saw, maka tidak layak disebut sebagai ahlul kitab.
Para ahlul kitab yang hanif ini sangat besar keimanannya, seperti Sayyidina Abu Bakar Ra dan sangat besar semangat berjihadnya seperti Salman Al-Farisi. Lama-kelamaan aku pun jadi malas mengikuti kajian liqo ini. Apalagi keaktifanku di kampus turut membuat nilai-nilaiku sulit terdongkrak.
Kadang aku berpikir, jangan-jangan keberadaan mereka yang begitu masif pasca reformasi dengan dibukanya keran-keran kebebasan berpendapat adalah operasi intelejen untuk memecah belah umat Islam dari dalam. Kebebasan berpendapat tanpa diiringi dasar ilmu yang bersesuaian malah dapat menghancurkan dari dalam. Pemahaman-pemahaman berubah sesuai selera masing-masing saja. Padahal para ulama kita sudah meramunya sejak dahulu. Agama yang artinya adalah “ketidakkekacauan” malah berubah menjadi sumber kekacauan[3].
Menghancurkan umat dari luar melalui media yang menyosialisasikan pergaulan bebas dan narkoba melalui film-film mereka, ternyata tidak cukup bagi mereka. Mereka melihat, umat Islam Indonesia yang sangat kuat agamanya sangat sulit dijebol pertahannya, kecuali melalui pemahaman agama itu sendiri. Di tiap negara selalu ada operasi yang menyerang penganut agama mayoritasnya.
Merasa benar sendiri adalah cara paling mudah untuk memecah-belah umat. Karena merasa benar sendiri adalah buah dari sifat sombong. Sedang sifat sombong ini adalah selendang Allah, tidak boleh dimiliki oleh mahkluk. Iblis pun tergelincir dari surga karena sifar sombong. Meski sebelumnya dikenal sebagai ahli ibadah.
***************