Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #15

Mata Satu


Pasca mengerjakan proyek telekomunikasi di Bali, aku memilih beristirahat dahulu. Kebetulan saat di Bali, aku mendapat uang harian dan uang lembur yang jika ditotal jumlahnya dalam sebulan sama dengan lima kali gajikku di Jakarta. Karenanya, pilihan untuk beristirahat ini tidak terlalu mengkhawatirkanku.

Dalam kondisi sedang tidak bekerja, aku tetap bisa menyisihkan uang bulanan untuk Ibu dari sisa-sisa uang bekerja di Bali. Mungkin inilah yang menyebabkan kedua orang tuaku tidak pernah bertanya mengapa aku tidak melanjutkan bekerja kembali.

Hampir sepuluh bulan sudah aku berikan uang bulanan pada Ibu, dan aku juga masih belum memulai bekerja. Di bulan kesepuluh ini, sambil memberikan uang pada Ibu dan Ayah, aku merasa sudah waktunya aku bicara.

“Karena Salma sedang tidak bekerja, Salma udah ga bia kasih uang bulanan lagi ke Ayah dan Ibu,” ucapku dengan rasa khawatir akan reaksi mereka.

“Oh, iya,” jawab Ibu, merasa berat.

“Loh, mereka ini bagaimana. Aku inikan sudah lama tidak bekerja. Darimana aku dapat penghasilan untuk mereka? Lagi pula, Ayah kan masih rutin menerima uang pensiun. Dan ibu juga masih rutin menerima uang bulanan dari Ukasya dan Fachri yang memang masih bekerja. Selain itu, aku ini kan anak perempuan. Aku tak punya kewajiban untuk menafkahi orang tua,” gumamku gemas melihat reaksi mereka yang ternyata tak memikirkan kondisi aku.

Setelah ini, Ayah kembali uring-uringan dan memarahiku dengan kata-kata yang sudah kuhafal lagunya.

“Anak durhaka, sombong, sama saudara benci aja”

Untuk meredam amarah mereka, kadang kubelikan mereka bahan-bahan kebutuhan pokok untuk Ayah dan ibu gunakan di bulan itu. Namun karena mereka sudah kadung tidak suka, mereka pun diam saja saat melihaku meletakkan bahan-bahan kebutuhan pokok rumah tangga di dapur.

“Salma tuh, beli kebutuhan dapur diam-diam saja,” Ibu menyinyiriku di hadapan Zalina.

“Bu, Salma kan lagi ga kerja. Itu dia mau belikan Ibu kebutuhan pokok rumah saja sudah sangat bagus. Ini udah Ibu diamkan saja, eh malah Ibu nyinyiri juga, gimana sih,” Zalina gemas dengan ibuku.

Zalina makin hari makin tumbuh dewasa dan makin mampu membedakan mana benar dan mana salah. Aku bersyukur, doaku selama sepuluh tahun agar keluarga ini bisa harmonis dan tidak bermusuhan ternyata dikabulkan-Nya. Setidaknya Zalina lah yang akan membelaku kalau ibu dan Ayah sedang ingin marah-marah padaku padahal aku tidak sedang melakukan kesalahan apa pun.

Lagu-lagu lama Ayah kembali didendangkan. Lagu yang muncul karena dia sedang uring-uringan karena sedang tidak memegang uang.

“Kamu ini sudah lama ga kerja, apa kata orang”, Ayah memarahiku.

Dengan perasaaan yang muak, di dalam kamar aku mencoba menjawabnya.

Ngapain dengerin kata-kata orang. Emang orang yang kasih makan kita?”, saking gemasnya dengan cara pandang Ayah yang keliru. 

”Kamu sudah dibiayai dari kecil malah masih saja suka melawan Ayah,” ucap Ayah dengan nada berteriak.

”Salma sejak SMA sudah dapat beasiswa. Kuliah juga,” jawabku lagi.

”Ya dari sampai SMP kamu masih dibiayai oleh Ayah. Dasar anak durhaka, sombong, semua orang dibenci”, lanjut Ayah mencari-cari alasan agar bisa menang menghadapiku.

“Bapak yang durhaka sama anak. Bapak malah kuliahin anak adiknya. Tapi anak sendiri malah musti pontang-panting cari uang sendiri. Giliran uadah kerja malah dimintain uang terus,” aku geregetan dibuatnya.

”Dengarkan dia. Dia itu bicara tentang kebenaran,” ucap Zalina sambil menunjuk ke arah pintu kamarku.

Lihat selengkapnya