Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #16

Alih Profesi #16

Bertahan untuk tetap tegar dengan nilai-nilai-Nya di tengah derasnya arus modernisasi yang diiringi dengan kuatnya badai kehidupan memang memang butuh kekuatan besar. Menghadapi perilaku ayah, ibu, dan kakak-kakakku sudah sangat berat bagiku.

Apalagi aku bekerja di sektor umum, mereka banyak yang melakukan perselingkuhan tanpa malu-malu diketahui oleh teman-teman sekantor. Hal inilah yang membuatku belum berani untuk memutuskan kembali bekerja di kantor. Tapi, ayahku mana mau tau alasanku ini.

Terlebih, pasca selesai mengerjakan proyek telekomunikasi di Bali, ternyata banyak terjadi migrasi perangkat jaringan dari vendor-vendor Eropa ke vendor-vendor China. Jika kubandingkan, tentu aku lebih memilih bekerja pada vendor Eropa seperti yang kukerjakan di Jakarta, sebelum mengerjakan proyek di Bali.

Jam kerja para vendor Eropa lebih manusiawi karena minim lembur. Sedangkan pada vendor China, lembur sampai larut malam dan menjelang dini hari adalah hal yang biasa terjadi. Apalagi di Bali kami sama sekali tidak ada libur, Sabtu-Minggu tetap masuk kerja. Malah pernah rapat di jam 00.30 Senin dini hari.

Aku juga ada niatan untuk banting setir ke bidang lainnya. Dan pilihanku adalah menjadi wartawan di media cetak karena saat kuliah aku sering memperhatikan banyaknya kesalahan eja pada tulisan di koran-koran yang kulewati saat aku berjalan menuju stasiun tempatku menunggu kereta menuju kampus.

Melamar kerja menjadi wartawan musti menerima konsekuensi memperoleh gaji yang jauh lebih kecil dari pekerjaannku sebelumnya. Risiko ini sudah kusiapkan sebelumnya. Niatku menjadi wartawan bukan sekedar untuk mencari uang.

Di sana aku bisa belajar banyak tentang kaidah-kaidah kepenulisan yang musti lolos seleksi redaktur, pimpinan redaksi (pemred), dan bahkan pemilik media kami juga turut andil mengoreksi tulisan-tulisan kami.

”Jadi, aku bisa belajar sambil di bayar. Tidak perlu ikut pelatihan berbayar yang tidak menambah pengalaman bekerja di CV,” pikirku.

Aku yang sejak kecil tak pernah diberi kesempatan berbicara oleh orang tua dan kakak-kakku. Aku yang selalu menjadi tertuduh di keluargaku dan tek pernah diberikan kesempatan untuk membela diri. Semua ini membuatku tumbuh menjadi orang yang tidak berani mengungkapkan pendapat di depan banyak orang. Aku hanya berani bicara dengan orang satu per satu.

Kalau berbicara di depan lebih dari satu orang, maka tubuhku bergetar hebat. Padahal mereka adalah teman-temanku yang biasa kutemui di keseharian. Kadang, hal inilah yang membuat mereka menyangka aku tidak mau bergaul dengan mereka. Padahal energiku habis kalau mesti membagi cerita pada semua orang.

Para jurnalis pastinya musti sering bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang terkenal. Ini menjadi ajang buatku untuk melatih rasa percaya diri untuk berbicara.

”Kalau tokoh-tokoh terkenal saja bisa aku ajak bicara. Apalagi dengan orang biasa,” pikirku.

***************


”Untuk tema kesehatan kali ini, kita akan membahas tentang pengobatan tradisional seperti kerokan. Sheilla, kamu ke herbalis ya, tanya dari sisi perspektif para herbalis tentang kerokan. Salma, kamu cari dokter buat bahas tentang fenomena masuk angin ya. Dan Tina, kamu cari artis atau public figure yang suka menggunakan kerokan untuk mengatasi masuk angin,” mba Kania, pemred di majalah kami bekerja, memberikan arahan.

Kami pun segera mencari narasumber di buku database narasumber. Mulai dari nomor telepon dokter, public figure, hingga artis, semua tersedia di sana. Sayang, dari sekian banyak data di database, tidak kutemukan dokter khusus spesialis penyakit dalam. Untungnya, rumahku tidak jauh dengan salah satu rumah sakit terbesar di negeri ini. Aku pun hunting dokter-dokter senior di sana.

”Masuk angin itu sebenarnya tidak ada dalam terminologi kedokteran. Kalau yang agak mendekati, ya masuk angin itu tergolong gejala flu,” kata dokter spesialis penyakit dalam yang mau kuwawancara di sela-sela kesibukannya mengobati beragam jenis penyakit dalam.

”Hindari telalu banyak gula mba, dan perbanyak daging merah dan kacang-kacangan,” kata dokter spesialis gizi klinik untuk tema di rubrik diet.

Ternyata, selain mendapat ilmu kepenulisan, aku juga mendapat beragam ilmu tentang kesehatan yang dapat menjadi bekalku menjaga kesehatan. Jam kerja wartawan juga bebas. Kita bisa tentukan sendiri kapan mau mencari nara sumber. Atau mau janjian jam berapa dengan narasumbernya. Yang penting, kami ada di kantor redaksi saat waktu deadline tiba. Kami musti menginap karena musti menunggu tulisan kami dikoreksi oleh pemilik media.

Kalau sudah layak cetak, tulisan diberikan pada bagian desain layout. Dengan catatan, ini adalah majalah 2 mingguan. Kalau wartawan koran harian dan televisi sudah tentu berbeda pola kerjanya. Yang paling pusing itu adalah saat pemilik media meminta kami harus mencari narasumber tertentu yang sangat sulit dicari. Kalaupun ketemu, ia sangat pelit bicara.

”Kita mau buru-buru jalan lagi,” kata seorang public figure yang terkenal keramahannya di depan kamera, sambil mengangkat tangan kanannya yang asap rokoknya mengepul di antara jari tengah dan jari telunjuknya.

”Ternyata citra aslinya tidak sebagus citra yang ia tampilkan di media,” gumamku saat melihat responnya menolak pawa wartawan yang meminta wawancara dengannya.

Sejak menjadi wartawan, aku jadi tahu banyak tentang pencitraan palsu para public figure. Sebelum isu perselingkuhan dan perceraian para artis mencuat di media, biasanya para wartawan sudah mengetahuinya lebih dahulu. Namun kami tidak akan menuliskannya sampai memang terbukti kebenarannya.

Bahkan seorang istri dari public figure yang sedang naik daun bercerita denganku perihal hancurnya rumah tangga mereka. Kembali lagi, karena itu bukan dari bagian pekerjaanku, jadi aku tak menuliskannya. Termasuk bercerita pada orang-orang yang kukenal, sama sekali tidak kulakukan.

”Aduh mba, aku jijik sama mobil itu. Itu kan pernah dipakai dia dan selingkuhannya,” keluhnya.

”Ya dijual aja mba mobilnya,” saranku.

Hingga satu tahun kemudian, berita perceraian mereka terungkap.

 

**************

 

”Ya memang target pembacanya seperti itu. Jadi tulisannya ya seperti itu,” jelas salah satu kawan yang pernah bekerja di media yang sering memberikan judul begitu vulgar pada berita-beritanya.

”Gaya penulisan wartawan itu kan menyesuaikan dengan gaya penulisan di medianya. Saya juga pernah diminta menulis buku tentang profil salah satu caleg. Ya gaya penulisannya beda lagi,” jelasnya membuka pikiranku tentang gaya penulisan para wartawan di media-media tertentu yang sebelumnya kukira itu adalah gaya penulisan wartawannya.

Satu hal yang kukagum dengan para wartawan adalah tingginya solidaritas di antara kami. Mereka tidak akan segan memberikan informasi tentang keberadaan narasumber yang sedang kami cari.

”Oh, artis yang itu sedang ada di gedung A, lantai 16,” jawab Sapta via SMS.

Sapta adalah wartawan dari media online yang kukenal saat kami sama-sama sedang meliput berita pernikahan artis dengan anak pengusaha besar di negeri ini. Banyak informasi keberadaan narasumber yang kudapat darinya.

Lama-kelamaan, ternyata aku tak ingin terus-menerus hanya bertemu dengan banyak pesohor negeri. Aku tertarik ingin menuliskan berita yang lebih berbobot ketimbang hanya seputar gosip artis atau hanya seputar kesehatan.

”Ini gimana cara ngelamarnya ya?” gumamku dalam hati saat membaca berita internal di website milik Bank Indonesia.

Sambil menulis di sela-sela waktu menjadi wartawan, aku juga menyampaikan beragam pengalaman dan opiniku di laman microblog Kompasiana. Di platform Kompasiana ini aku merasakan tullisanku direspon dan diberikan komentar. Kadang, platform ini juga mengadakan kegiatan yang memfasilitasi pertemuan di antara para penulisnya.

Aku jadi mengenal lagi teman-teman penulis. Salah satunya malah tulisannya pernah dijadikan narasi iklan Indomie. Aku jadi belajar lagi tentang ragam jenis model kepenulisan. Aku merasa keberadaanku di dunia ini ternyata memang dianggap. Dan rasa percaya diriku semakin meningkat.

DIBUTUHKAN: JUNIOR MEDIA CONSULTANT

Syarat:

Lulus S1 semua jurusan

Dapat berkomunikasi dengan baik

Memilki pengalaman organisasi

Mempu bekerja dengan tim

Mampu mengoperasikan perangkat lunak office dan desain

Pengalaman di dunia jurnalistik minimal 3 tahun

Lihat selengkapnya