Bertahan untuk tetap tegar dengan nilai-nilai-Nya di tengah derasnya arus modernisasi yang diiringi dengan kuatnya badai kehidupan memang memang butuh kekuatan besar.
Menghadapi perilaku ayah, ibu, dan kakak-kakakku sudah sangat berat bagiku. Apalagi aku bekerja di sektor umum, mereka banyak yang melakukan perselingkuhan tanpa malu-malu diketahui oleh teman-teman sekantor.
Hal inilah yang membuatku belum berani untuk memutuskan kembali bekerja di kantor. Tapi, ayahku mana mau tau alasanku ini.
Terlebih, pasca selesai mengerjakan proyek telekomunikasi di Bali, ternyata banyak terjadi migrasi perangkat jaringan dari vendor-vendor Eropa ke vendor-vendor China.
Jika kubandingkan, tentu aku lebih memilih bekerja pada vendor Eropa seperti yang kukerjakan di Jakarta, sebelum mengerjakan proyek di Bali. Jam kerja para vendor Eropa lebih manusiawi karena minim lembur.
Sedangkan pada vendor China, lembur sampai larut malam dan menjelang dini hari adalah hal yang biasa terjadi. Apalagi di Bali kami sama sekali tidak ada libur, Sabtu-Minggu tetap masuk kerja. Malah pernah rapat di jam 00.30 Senin dini hari.
Aku juga ada niatan untuk banting setir ke bidang lainnya. Dan pilihanku adalah menjadi wartawan di media cetak karena saat kuliah aku sering memperhatikan banyaknya kesalahan eja pada tulisan di koran-koran yang kulewati saat aku berjalan menuju stasiun tempatku menunggu kereta menuju kampus.
Melamar kerja menjadi wartawan musti menerima konsekuensi memperoleh gaji yang jauh lebih kecil dari pekerjaannku sebelumnya. Risiko ini sudah kusiapkan sebelumnya.
Niatku menjadi wartawan bukan sekedar untuk mencari uang. Tapi di sana aku bisa belajar banyak tentang kaidah-kaidah kepenulisan yang musti lolos seleksi redaktur, pimpinan redaksi (pemred), dan bahkan pemilik media kami juga turut andil mengoreksi tulisan-tulisan kami.
”Jadi, aku bisa belajar sambil di bayar. Tidak perlu ikut pelatihan berbayar yang tidak menambah pengalaman bekerja di CV,” pikirku.
Aku yang sejak kecil tak pernah diberi kesempatan berbicara oleh orang tua dan kakak-kakku. Aku yang selalu menjadi tertuduh di keluargaku dan tek pernah diberikan kesempatan untuk membela diri.
Semua ini membuatku tumbuh menjadi orang yang tidak berani mengungkapkan pendapat di depan banyak orang. Aku hanya berani bicara dengan orang satu per satu.
Kalau berbicara di depan lebih dari satu orang, maka tubuhku bergetar hebat. Padahal mereka adalah teman-temanku yang biasa kutemui di keseharian. Kadang, hal inilah yang membuat mereka menyangka aku tidak mau bergaul dengan mereka. Padahal energiku habis kalau mesti membagi cerita pada semua orang.
Para jurnalis pastinya musti sering bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang terkenal. Ini menjadi ajang buatku untuk melatih rasa percaya diri untuk berbicara.
”Kalau tokoh-tokoh terkenal saja bisa aku ajak bicara. Apalagi dengan orang biasa,” pikirku.
***************
”Untuk tema kesehatan kali ini, kita akan membahas tentang pengobatan tradisional seperti kerokan. Sheilla, kamu ke herbalis ya, tanya dari sisi perspektif para herbalis tentang kerokan. Salma, kamu cari dokter buat bahas tentang fenomena masuk angin ya. Dan Tina, kamu cari artis atau public figure yang suka menggunakan kerokan untuk mengatasi masuk angin,” mba Kania, pemred di majalah kami bekerja, memberikan arahan.
Kami pun segera mencari narasumber di buku database narasumber. Mulai dari nomor telepon dokter, public figure, hingga artis, semua tersedia di sana. Sayang, dari sekian banyak data di database, tidak kutemukan dokter khusus spesialis penyakit dalam. Untungnya, rumahku tidak jauh dengan salah satu rumah sakit terbesar di negeri ini. Aku pun hunting dokter-dokter senior di sana.
”Masuk angin itu sebenarnya tidak ada dalam terminologi kedokteran. Kalau yang agak mendekati, ya masuk angin itu tergolong gejala flu,” kata dokter spesialis penyakit dalam yang mau kuwawancara di sela-sela kesibukannya mengobati beragam jenis penyakit dalam.