Dalam mengajar, aku sangat senang melihat Ustadzah Hafsha mengenakan jilbab disertai selendang pashmina warna hitam. Dengan pashmina itu, Ustadzah Hafsha terlihat sangat pas dan elegan. Dari jauh, selalu kupandangi dan hampir tiap beliau memakainya, aku selalu terpana dibuatnya. Dalam hati, ingin rasanya punya pashmina seperti itu. Tapi aku tak tahu di mana membelinya.
Karena Zalina diminta menjadi pengurus di salah satu majelis yang diisi oleh Ustadzah Hafsha, ia pun sering diminta mengantar Ustadzah pulang. Jadi aku pun beruntung bisa rutin ikut pulang bersama dengan Ustadzah Hafsha.
Suatu ketika, Uli, murid Ustadzah Hafsha yang kerap menemaninya berdakwah, meminta Zalina untuk menemaninya di rumah Ustadzah Hafsa. Saat itu Ustadzah Hafsha sedang tidak memintanya menemaninya berdakwah.
Sebelumnya, meski kami rutin mengantar, kami hanya bisa singgah di teras rumahnya. Bagi kami, teras rumahnya itu sudah sangat cukup, bahkan lebih. Pada teras halamam depan terdapat hambal yang sangat tebal untuk melakukan diskusi nilai-nilai kegamaan. Hambal ini juga bisa kami gunakan untuk shalat berjamaah karena di samping pojok ada beberapa keran untuk berwudu.
Di depan keran-keran ada kamar mandi yang posisinya membelakangi dan tertutupi daun-daun pohon di rumah itu. Rumah yang memang dirancang untuk menerima banyak tamu tapi tidak perlu sampai masuk ke area privasi yang ada di dalam.
*************
Ajakan Uli membuat kami merasa melambung di atas awan. Kami pun menyambutnya dengan penuh antusias. Dua minggu lamanya kami menempati rumah yang sedang ditinggali ustadzah berdakwah ke luar kota. Dua minggu itu dapat mempelajari banyak hal.
Ternyata beliau juga memiliki perpustaakaan di lantai dua rumahnya. Di antara koleksi-koleksi bacaannya, aku tertarik dengan bacaan yang sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak remaja. Beliau membelinya untuk sekedar mengetahui gaya bahasa yang biasa digunakan para remaja di Indonesia agar dakwah yang beliau sampaikan bisa diterima.
Beliau juga memiliki sejumlah koleksi kaset wayang dengan nada bicara yang amat lambat. Beliau membelinya untuk mengurangi kecepatan tempo bicaranya. Mengingat ketika beliau baru balik dari Tarim dan berdakwah di Indonesia, cara bicara orang Tarim terbawa padanya. Cara bicara yang cepat, lurus, dan tak bernada. Bagi sebagaian orang Indonesia, hal ini tentunya amat sulit untuk dipahami.