02 Juni 2012
Dan_z : Sal, di grup banyak yang tanya-tanya kamu tuh
Sal_66 : grup apa dan?
Dan_z : grup SMP kita
Sal_66 : oooh… salam ya buat teman2
Danu adalah salah seorang teman dekatku di SMP. Sejak bertemu kembali di facebook, kami jadi intens berkomunikasi via Yahoo Messenger. Sejak lulus SMP, aku memang amat jarang bertemu kembali dengan mereka. Sikap Ayah yang semakin menjadi-jadi di setiap harinya membuatku makin menarik diri dari pergaulan.
Ayah yang sering tiba-tiba memarahiku tanpa alasan yang jelas membuatku tumbuh sebagai remaja wanita yang ketus dan sangat keras dalam berpendapat. Ayah yang tak pernah mau mendengarkan pendapatku membuatku tidak bisa bertoleransi pada siapapun dan selalu merasa benar.
Ayah dan Ibu yang sering berkata-kata kasar, keras disertai dengan nada-nada tinggi, membuatku merasa wajar juga berkata-kata kasar, keras disertai nada tinggi saat aku sedang tidak terima pendapatku disanggah orang.
Ayah dan Ibu yang suka memberikan cap negatif padaku seumur hidupku membuatku seolah-olah itu adalah hal yang wajar-wajar saja untuk dilakukan pada siapa pun. Aku pun tumbuh menjadi orang yang mudah berprasangka negatif pada siapa pun.
Hal inilah yang membuat banyak lelaki yang mendekatiku jadi mundur teratur ketika mereka sudah berinteraksi denganku. Sayangnya, aku tak merasa ada yang salah dengan karakterku. Aku hanya merasa bahwa ini adalah mekanisme pertahanan dari dalam diriku dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang sekitar, terutama para lelaki yang suka genit dan menganggap kami mudah untuk disentuh-sentuh.
Aku sering melihat wanita-wanita cantik namun ketus yang kutemui sedang berjalan dengan pacarnya. Aku tetap merasa yakin, bahwa suatu saat nanti akan ada laki-laki yang memang menjadi jodohku yang bisa menerimaku dengan apa adanya. Atau malah memperbaiki kepribadianku. Begitu harapanku.
Lagi pula, orang tuaku juga terlalu besar menaruh rasa curiga padaku. Setiap ada teman laki-laki yang datang, Ayah lantas mengajaknya bicara empat mata. Padahal sering kali hanya teman belajarku. Perilaku Ayah membuat temanku tidak betah menemaniku belajar.
”Gue disangka mau ada apa-apa sama lo. Serem banget deh bokap lo. Makanya gue langsung buru-buru pamit aja deh,” ujar Piki, teman belajarku di masa kuliah.
Aku pun jadi tidak berani mengajak teman laki-laki ke rumah. Kadang, untuk menghindari pertanyaan Ayah saat ia melewati kami yang sedang berdiskusi di teras rumah, aku langsung memperkenalkan teman-temanku.
”Ini teman di kampus, yah. Dia ke sini karena mau diskusi pelajaran,” ucapku menjelaskan. Aku tak peduli kalau Ayahku sama sekali tidak melihat buku-buku kuliah di hadapan kami. Yang penting jangan sampai membuat temanku ketakutan lalu buru-buru pergi pamit lagi.
Perilaku Ayah dan Ibu sangat berkebalikan pada teman-teman Zalina. Ia bisa berubah jadi sangat kekeluargaan pada teman-teman Zalina, baik perempuan atau pun laki-laki. Zalina sering dibiarkan pulang sampai larut malam karena berpacaran dengan Zein.
Bahkan pada beberapa kesempatan, mereka bisa pulang dini hari. Ayah tahu Zalina belum pulang. Tapi Ayah juga tidak mengawasinya. Ketika Zalina baru pulang pukul 01.30 pagi, Ayah malah membiarkan pintu depan rumah tidak terkunci. Dan kini mereka telah menikah dan memilih tinggal terpisah dari orang tua kami.
06 Juni 2012
Dan_z : Sal,salamnnya udah saya sampaikan ke teman2
Sal_66 : Alhamdulillah
Dan_z : masuk grup aja, seru loh
Sal_66: hmmm…
12 Juli 2012,
“Sal, minta pin BB-nya ya”
”Ini siapa?” tanyaku.
”Farida, masih ingat kan?”
”Oh iya, ini, 2973XX8”
”Kumasukkan ke grup SMP ya”
Farida adalah teman duduk sebelah bangku di kelas 3 SMP. Ia mengirim pesan ke akun microblog di Kompasiana.
Baru saja masuk grup dan memperkenalkan diri, masuk invitation di blackberry messenger (BBM) milikku.
“Dion”. Itulah nama yang kubaca saat menerima invitation BBM. Aku sangat ingat siapa Dion. Aku mengenal Dion karena kami sama-sama di kelas yang sama saat kelas satu SMP. Dion juga kukenal sebagai laki-laki yang energik karena sering membual dan membuat lelucon di kelas. Aku dan temen-teman sering tertawa dibuatnya.
Aku juga termasuk yang sering bercanda dengan Dion. Kalau sudah bercanda, kita bisa saling kejar-kejaran di atas meja. Kadang kami juga saling sambut bernyanyi dan saling berlomba mengeluarkan suara yang paling tidak enak didengar. Atau kadang kami juga saling melempar sepatu sama lain. Seisi kelas hanya bisa menggelengkan kepala malihat tingkah laku kami. Ingatan-ingatanku ini membuatku antusias menyapa Dion.
Karena sudah lama tak berjumpa dan saling berinteraksi, aku jadi merasa agak canggung dengan grup BBM SMP. Aku berusaha menyamankan diri dengan banyak bercengkrama dalam grup. Sosok Dion yang masih sering melempar guyon berhasil membuatku merasa nyaman dalam grup. Dion yang dulu pecicilan, kini sudah punya wibawa. Aku pun berusaha memancing beragam canda tawa dengan Dion.
Sal_66 : Hai-haiiii
Dionce : eh, haiiii
Sal_66 : lo masih inget gue?
Dionce : inget lah
Sal_66 : Lo kan pernah dimarahin Bu Hajar, Guru Geografi yang galak itu gara-gara gue :D
Dionce : Ahahahaha… masih inget aja lu
Sal_66 : Tau lah, itu guru kenapa gitu sama lo. wkwkwkwk
Karena kami merasa saling konek satu sama lain, Dion pun mengajakku bertemu dengannya. Aku benar-benar murni ingin bertemu teman lamaku. Tentunya sambil nostalgia kelakuan-kelakuan konyol kita di masa SMP. Tidak ada maksud lain. Meskipun Dion dan aku juga sama-sama sedang berstatus single.
Dionce : Gue jadi penasaran sama lo. Kita ketemuan yuk
Sal_66 : Oh, Ok. Tapi gue ga bisa lama-lama. Soalnya ada janji sama temen gue
Kami pun berjanjian di depan gedung depan jalan raya depan daerah tempat aku tinggal. Aku hanya pamit sebentar pada kedua orang-tuaku. Melihat profil Dion, sebenarnya ada rasa kurang sreg dalam hatiku. Rasa takut kalau-kalau ia berniat jahat padaku.
”Haaaaiii....,” ucapku menyapa Dion yang sudah amat jauh berubah penampilannya.
”Lo bisa kenalin gue Sal?”
”Ya bisa laaahhh, kan ada profilnya di BBM,” jawabku.
Di BBM, Dion bercerita bahwa ia sebelumnya pernah menikah dan sudah punya satu anak perempuan yang masih kecil. Anak itu ditinggal Ibunya satu bulan setelah ia dilahirkan.
”Sakit, tapi ga ketahuan sebab sakitnya apa. Ya dia memang punya darah tinggi sih,” ucapnya menerawang.
Aku merasa tak enak hati mendengarnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya musti merawat bayi seorang diri.
“Untung saja neneknya mau ikut merawatnya,” Dion kembali menerawang. Dion ternyata pintar mengambil hati.
Dari sorot matanya, aku menangkap bahwa Dion tertarik padaku. Ia tersenyum saat melihatku yang sering menanggapi omomgannya dengan berbagai ledekan. Padahal ini upayaku agar ia tak tertarik denganku.
Aku pun mengalihkan pandanganku ke samping agar ia mengerti reaksiku. Karena dari berbagai cerita dan latar belakangnya, aku tahu dia bukan sosok yang bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga yang kelak kubina nanti. Aku bukan mencari sosok dengan latar belakang kaya raya.
Aku hanya mencari sosok yang bisa menjadi pemimpinku dalam berumah tangga. Sosok yang pemahaman agamanya jauh lebih baik dariku. Aku tidak mau menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Karena memang tugas pemimpin bukan di tangan wanita, tapi di tangan pria.
Aku sudah kelelahan menghadapi buruknya emosi Ayahku. Aku tidak mau hal ini terjadi lagi dalam rumah tanggaku nantinya hanya karena aku salah memilih pemimpih dalam rumah tanggaku. Sosok Ayah benar-benar membuatku trauma dan sangat berhati-hati dalam mencari pasangan hidup.
”Dion, lihat tuh, sepertinya orang itu ingin balapan dengan kita,” ucapku saat Dion memboncengku ketika kami akan pulang dan bertemu orang yang sedang bersiap-siap berlari tapi menunggu kami sampai di posisinya dahulu.
Kami pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku orang itu. Ternyata cara kami bercanda masih sama seperti dahulu.
Satu minggu setelah pertemuan itu, aku sudah tak mau lagi bertemu dengannya. Aku benar-benar menghindari kalau-kalau juga muncul rasa dalam hatiku. Apalagi sulit sekali mencari orang yang bisa konek satu sama lain. Kami hanya intens mengobrol dan bercanda satu sama lain di BBM. Tapi sama sekali aku tak pernah memulai obrolan.
Aku memang suka mengganti foto profil BBM-ku pada dini hari. Kadang, Dion juga mencari perhatian dengan memuji foto pemandangan yang baru kuunggah di BBM dengan statusnya dia. Dion bisa langsung bereaksi cepat padahal foto itu baru kuunggah di pukul 02.00 dini hari. Aku membalas komennya dengan menghubungi Dion via BBM.
Salma : Hei, komen kok pakai status. Malu ah. Hapus aja
Dion : ga apa-apa. Mereka ga ada yang lihat.
”Dion, kamu ini gimana sih, masa jam dua malam begini menelepon aku,” ucapku kesal karena ditelepon Dion saat jelang dini hari.
”Maaf Sal, tadi gue mimpi dikejar-kejar singa. Di mimpi itu katanya gue musti nelepon elu,” jawabnya.
”Ah masa?”, tanyaku tidak percaya dengan mimpinya.
”Iya, bener deh,” Dion berusaha meyakinkanku.
”Yaudah kamu baca Al-Falaq dan An-Naas saja. Jangan lupa bantalnya juga dibalik kalau mau tidur lagi. Dan satu lagi, mimpi ini ga usah kamu ceritakan ke orang-orang ya,” jawabku.
”Loh kenapa, Sal?”
”Ya memang aturannya begitu. Kalau kita dapat mimpi buruk, tidak boleh diceritakan pada orang-orang. Udah ah, aku mau tidur lagi,” jawabku kembali.
”Sori ya Sal, gue cuma mau belajar dari elu. Selama ini gue jauh dari agama. Makanya gue mau belajar dari elu,” ucap Dion.
Ucapan inilah yang membuatku mau membuka diri pada Dion di hari-hari selanjutnya.
”Ya kalo orang mau belajar masa dihalangi,” pikirku polos.
**************
Dalam grup BBM SMP ternyata ada beberapa orang yang menjadi panitia reuni. Pada grup ini, aku menemukan bannyak orang yang seperti ingin menunjukkan kalau dirinya sudah jadi orang, salah satunya Taslim.
Apalagi ia lah yang dimintakan tolong untuk mencari database alumni bahkan sampai berkunjung ke SMP pada reuni sebelumnya. Ia merasa sudah banyak membantu panitia pada reuni sebelumnya. Grup BBM ini juga dIbuat untuk silaturahmi jelang reuni. Tahun ini Taslim menjadi sang penggagas reuni SMP.
12 Agustus 2012, pukul 12.20