Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #19

Buah Simalakama #19


Hubunganku dengan Dion makin hari memang makin dekat. Dion terlihat sebagai sosok yang amat sangat mirip denganku. Apalagi zodiak kami sama: Taurus. Zodiak yang sangat senang dengan makanan. Selera makan kami juga sama: harus pedas.

Kebiasaan kami memakan makanan pedas membuat kami sering merasa mual jika memakan makanan yang tidak pedas. Aku tidak kesulitan saat memilih makanan bersama Dion. Bahkan sering kali, Dion lah yang memilihkan. Bersamanya, aku bisa bebas makan makanan pedas tanpa mesti takut dihakimi.

“Kamu ingat ga Sal, waktu kita pertama kali bertemu, dan aku tersenyum?”, tanyanya berusaha memancing obrolan.

“Iya, gara-gara ngeliat cara makan gue yang suka tumpah itu kan?”, jawabku menerka.

“Iya, baru kali ini gue nemu orang yang cara makannya aja sama persis sama gue. Lo tuh bener-bener cermin gue, Sal,” kembali Dion berusaha meyakinkanku.

“Ya cermin sih, bukan pemimpin,” dengusku dalam hati melihat Dion masih saja terus berusaha.

“Ya heran juga kan, kenapa kita sering barengan sakitnya,” tambah Dion lagi.

“Hmmm… tau ah,” jawabku sambil mengangkat kedua tanganku dan kedua pundakku.

Kami memang punya banyak kesamaan. Mulai dari selera makan yang sama, gaya bercanda yang juga serupa, hingga gaya pemikiran yang juga serupa. Tapi untuk yang terakhir, aku curiga Dion hanya berusaha mengimbangkan diri dengan gaya pemikiranku. Hal ini tidaklah sulit baginya, mengingat ia punya teman dekat seorang pengacara, yang mudah menyesuaikan gaya bicaranya dengan kebutuhan.

Tapi sikap Dion yang sangat ramah juga meluluhkanku. Ia lah yang sering berhadapan dengan orang-orang ketika aku membutuhkan sesuatu. Ketimbang aku yang mudah terpancing emosi.

Untuk mengambil hati para pedagang misalnya, biasanya Dion gunakan bahsa Jawa saat bicara dengan mereka. Aku benar-benar terhipnotis dengan gaya bicaranya yang amat sopan dan ramah. Aku memang mencari sosok yang tidak mudah marah seperti Ayahku.

“Kamu itu, Jawa banget ya. Aku tuh cari laki-laki yang Jawa banget. Biar bisa ngimbangin aku yang mudah emosi ini,” ucapku pada Dion.

Namun di balik kesempurnaan yang ia sajikan, aku juga menaruh curiga padanya. Aku sudah tahu bahwa kaum adam ini kalau masa pendekatan memang luar biasa baiknya. Tapi kalau sudah terikat dengannya, ia akan berubah 1800.

Karakter yang ia tampilkan hanyalah di permukaan. Dari mana dasarnya, aku tidak tahu. Kalau pun ia mengacu pada nilai-nilai Jawa, sekali lagi, aku masih melihat itu sebatas di permukaan.

Kalau soal pendidikan, aku sudah mengurangi dan menekan syarat ini. Karena di luar sana, aku sering melihat orang yang bisa mendapatkan rezeki yang banyak namun tidak bergelar sarjana. Kadang juga kutemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi malah kesulitan mencari rezeki.

“Kalu soal rezeki, itu bagaimana keimanan-Nya pada Allah Swat. Selama ia patuh dan taat pada seluruh aturan syariat dalam berkehidupan, insya Allah rezeki pun akan mudah mendatanginya. Jadi rezeki ini tidak ada korelasinya dengan pendidikan,” pikirku berusaha optimis pada Dion.

 

********************

 

Aku selalu menjadikan aturan-aturan agama sebagai pijakan dalam bersikap. Latar belakang Dion dengan orang tua dan keluarga yang tidak akrab dengan nuansa agamis dalam kehidupan sehari-hari, membuatku ragu memutuskan untuk serius dengannya. Mereka memang senang mengenakan jilbab besar disertai gamis. Tapi sayangnya, mereka tidak pernah mengikuti pengajian dengan guru-guru yang ilmunya bersanad.

Mereka hanya mengandalkan internet dan melihat ceramah-ceramah di You Tube. Dan yang mereka gemari adalah ceramah-ceramah yang gemar menyudutkan perilaku beragama pihak-pihak tertentu. Bahkan saat Ustadzah Hafsha mengisi acara di dekat rumahnya, mereka juga tidak hadir dalam pengajian itu. Padahal mereka lah yang diminta untuk menyiapkan konsumsinya.

Janji Dion ingin belajar mengaji juga tak ditepatinya. Ia tetap menyibukkan dirinya dengan kegemarannya bermain game. Padaku, ia juga sama sekali tak meminta meneruskan bacaan-badaan Iqra seperti di awal-awal dia mengenalku.

Padahal, kalau ia mau mengaji, setidaknya ia juga bisa membantu memberikan pemahaman yang baik pada keluarganya akan nilai-nilai agama yang sebenarnya. Nilai-nilai kehidupan beragama yang tidak sempit karena terlalu fanatik pada satu nilai saja.

“Kalau memang dia serius kan mestinya dia yang menagih waktu belajar. Ini malah aku yang ingatkan terus. Ah sudahlah, itu memang triknya untuk bisa lebih dekat denganku,” gumamku kesal.

Ya memang bisa saja kujadikan mereka sebagai ladang dakwahku. Tapi aku tidak mau menghadapi sikap keras kepala mereka karena merasa lebih dahulu hidup. Mereka merasa lebih pengalaman dengan asam-garam kehidupan. Inilah yang membuat mereka tidak mau mendengarkan saran dariku untuk mengikuti pengajian yang ada di lingkungan sekitar mereka, bukan hanya dari internet.

Kalau untuk mendapatkan ilmu agama saja tidak mau melakukan pengorbanan, maka jangan harap hidayah mudah didapat. Maka tak heran, doktrin-doktrin agama yang tersebar melalui internet malah membuat orang-orang makin jauh dari hidayah-Nya. Membuatnya gemar menyudutkan pihak lain yang terlihat berbeda dengannya. Salah-salah, malah aku yang dijadikan ladang dakwahnya.

Keluarganya juga terlalu mendramatisir kehidupan Asih, anak Dion. Mereka menganggap kehidupan Asih sangatlah tidak seberuntung anak-anak yang ada ibunya. Sehingga mereka banyak memberikan hadiah-hadiah pada Asih di setiap harinya. Mereka pikir, hadiah-hadiah itu dapat menggantikan wujud kasih sayang Ibu.

Sesekali aku juga ikut memberikan hadiah pada Asih. Tapi itu kulakukan sebagaimana aku senang memberikan hadiah pada para keponakanku. Tidak seperti mereka yang sampai sering membuat status-status simpati dan sedirh karena Asih ditinggal Ibu sejak kecil.

Padahal, kalau Ibunya masih hidup, belum tentu bisa merawat dan mendidik Asih sesuai harapan. Rasa kehilangan itu memang ada. Tapi tidak perlu berlebihan sampai mendarmatisir seperti itu. Orang-orang ini tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi, bahkan senang mendramatisirnya.

Lihat selengkapnya