“Kamu ini ga bisa berangkat umroh. Kamu positif hamil,” kata salah satu petugas imigrasi.
Sebelum rencana menikah dengan Dion, aku sudah lebih dahulu ada rencana umroh di akhir tahun. Aku juga tak menyangka kalau kehamilanku dan rencana umroh ini bisa terjadi di tahun yang sama. Dengan terpaksa, rencana umroh harus kubatalkan. Pantas saja belakangan ini kepalaku suka pusing dan badanku terasa lemas dan tak bertenaga. Ternyata ada janin yang sedang kukandung.
Pulang ke rumah, kami pun mengabarkan perihal aku yang sudah positif hamil. Ada kebingungan di wajah Ibu. Aku tahu, Ibu tak menyangka aku bisa hamil secepat itu. Ibu berharap bukan aku yang hamil, tapi Zalina.
Zalina sudah lima tahun menikah tapi sama sekali belum ada tanda-tanda kehamilan. Ibu ingin menimang cucu dari Zalina, bukan dari aku. Dan aku melihat reaksi Ibu sebagai hal yang sudah biasa. Jadi aku tak kecewa sama sekali.
“Kasihan anak ini. Siapa yang mau urus dia. Dia punya nenek yang membenci Ibunya. Tak mungkin mau mengurusnya. Kalau pun mau, aku pun khawatir ucapan-ucapannya karena benci denganku juga dituangkan padanya.
Jangan sampai anak ini juga merasakan aura kebencian yang kurasakan dari Ibuku yang juga neneknya. Aku juga tidak bisa mengandalkan keluarga Dion. Mereka sudah tidak punya orang tua. Aku tak mungkin menitipkan pada kakaknya yang begajulan itu,” gumamku sedih membayangkan kehidupan bayi yang sedang kukandung.
“Nanti Nia bisa bantu,” jawab Dion ketika aku menutarakan hal ini padanya.
Jawaban itu memberi secercah harapan padaku. Selama ini Asih pun juga sering dirawat Nia. Nia adalah istri dari adiknya Dion, Gilang.
“Ya, mudah-mudahan saja,” dalam hati aku berharap.
Setelah kami menikah, Gilang dan Nia memang sempat bersilaturahmi ke rumah. Dion tiba-tiba saja mengajak masuk Gilang ke dalam rumah. Padahal di situ ada aku yang sedang tidak menggunakan jilbab. Aku pun menegur Dion dengan suara yang cukup lantang karena sebelum mengajak masuk Gilang, tidak melihat ke dalam dahulu.
“Maaf Sal, aku ga tahu kalo kamu ada di situ,” jawabnya membela diri.
*****************
“Loh, gelang aku mana yah?”, tanyaku pada Dion sambil mencari-carinya di laci khusus perhiasan.
“Dion, kok gelangku ga ada ya?”, tanyaku lagi pada Dion yang sedang rebahan di atas kasur.
“Coba kamu cari-cari lagi lah,” jawabnya.
“Makanya bantu cari. Aku ga nemu-nemu dari tadi,” aku benar-benar khawatir.
Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Dion. Kami tinggal di rumah orang tuaku. Saat lamaran, Dion juga memberikan cincin emas 4 gr berhiaskan permata di tengahnya.
Satu bulan sebelum menikah, Ayah juga sempat menikahkan siri kami sebelumnya. Mungkin tujuan ayah untuk menghindari fitnah. Tapi ayah begini hanya padaku, tidak apa anak-anaknya yang lain yang sudah menikah lebih dulu dariku.
“Dion sore ini kita akad ya,” kata ayah saat Dion datang untuk membahas tanggal pernikahan kami.
“Iya, akad. Kamu siapkan mahar secukupnya,” kata Ayah.
“Oh iya,” jawab Dion.
“Ga usah kayak cincin lamaran. Sekedar syarat ada maharnya saja,” kata Ayah melihat Dion kebingungan
Pernikahan siri ini dilangsungkan sekedarnya di internal keluarga kecil kami. Karenanya tidak seramai saat lamaran karena tidak ada keluarga Dion yang turut hadir. Di pernikahan siri kami ini Dion memberikan cincin yang lebih kecil beratnya ketimbang yang pertama. Kedua cincin itu selalu kupakai di mana pun aku berada.
Beda halnya dengan gelang. Aku memang bukan tipikal wanita yang senang memakai perhiasan. Tapi aku juga tipikal orang yang rapih dalam ingat di mana saja kuletakkan barang-barangku. Apalagi ini adalah gelang mahar pernikahan kami. Tentunya kuletakkan di tempat yang lebih rapih namun lebih mudah kuingat.
“Bu, masa gelang mahar ga ada,” aku mengadu pada Ibu.
“Loh kok bisa?”, tanya Ibu.
“Iya, udah dicari-cari dari tadi ga ketemu-ketemu juga,” jawabku.
“Yaudah sekarang ibu temani cari,” kata Ibu.
Ibu pun ikut mencari gelang itu di kamarku. Dion juga terlihat sibuk mencari-cari gelang itu. Dan tetap saja hasilnya nihil.
“Ya masa maling bisa masuk lewat jendela. Kan ada teralis,” kata Ibu.
“Tau lah,” jawabku.
Tubuhku terasa lemas. Baru saja tiga bulan menikah, gelang maharku sudah diambil maling. Padahal rumah ini bukan rumah yang rawan maling.
Dulu pernah ada maling jemuran dan sepatu di rumah ini. Tapi itu juga sudah keburu ditangkap Ukasya. Lalu maling itu dikalungkannya celurit agar tidak kabur.
Maling itu dibawa ke rumah dan seluruh warga menonton maling itu dipukuli sampai ia tersungkur. Karenanya aku tak percaya kalau ada maling bisa lolos bisa mengambil barang di rumah ini. Itu pun hanya gelangku, tidak dengan barang-barang lainnya. Kecuali maling itu adalah penghuni rumah ini.
Seumur hidupku tinggal di rumah ini, sama sekali kami tidak merasakan kehilangan barang. Meskipun orang tua kami suka mengadu domba aku dengan saudara-saudaraku, tapi mereka juga tidak pernah membolehkan pencurian.
Walau bagaimana pun, pencurian sangat terkait dengan tindak kriminal. Kecurigaanku hanya pada Dion. Aku mengira Dion memberikan gelangku pada Asih. Atau malah Asih disuruh Dion mengambil gelangku karena aku selain aku dan Dion, hanya Asih lah yang pernah masuk kamar kami.
Perasaanku mulai tidak nyaman berada di samping Dion. Padahal aku sering membelikan Asih berbagai hal, mulai dari baju, sepatu, tas dan alat-alat sekolah lainnya. Aku juga pernah memberikan cincin yang kumiliki di masa remaja pada Asih. Masih kurang cukup kah, sampai ia berani mencuri?
“Ya masa anak kecil begitu mencuri sih. Kamu tuh, jangan kejauhan ah mikirnya,” jawab Dion.
Ya, Dion telah membuatku menjadi over thinking. Untung saja kedua cincin ini selalu kupakai.
**************
“Sal, saudara kamu, Gamal, katanya lagi cari mobil tuh,” ucap Dion padaku.
Sejak menikah dan tinggal bersama orang-tuaku, Dion memang kuperkenalkan pada seluluh saudara dan sepupuku. Bahkan kalau ada urusan apa pun terkait aku dan Dion, aku meminta Dion lah yang bicara pada mereka.
Aku menganggap Dion sebagai pemimpinku dan juga wakilku dalam rumah tangga ini. Bagaimana pun Dion, aku musti menaruh kepercayaan penuh padanya.
Dan berinteraksi dengan sepupu adalah berinteraksi dengan yang bukan mahram. Karenanya aku meminta Dion saja yang berinteraksi dengan sepupuku.
“Ya sudah, Edi saja yang bantukan cari,” jawabku.
Sebelumnya Dion pernah cerita bahwa kakaknya, Edi sedang butuuh dicarikan pekerjaan. Saat kami abru saja menikah, aku juga sempat memberikannya uang untuk membeli handphone untuk digunakan menjadi ojek online.
Katanya, handphone yang sebelumnya rusak. Namun, setelah berbulan-bulan uang itu kuberikan, Edi masih belum juga membeli handphone. Uangnya malah diberikan pada istrinya.
“Kalau begini sama saja aku yang menafkahi keluarganya,” sungutku dalam hati.
“Kasihan Edi, dia menganggur. Anaknya ada lima pula,” kembali Dion curhat padaku.
Aku sebenarnya mengkhawatirkan karakter Edi yang suka mangkir dari perjanjian. Hal itu kusimpulkan dari cerita-cerita Dion tentang Edi yang selalu ada saja masalah di mana-mana.
Dari cerita-ceritanya, selalu kutemukan keganjilan-keganjilan yang membuatku menyimpulkan itu terjadi karena Edi suka seenaknya saja dalam berperilaku tanpa mengindahkan kaidah norma yang berlaku.
“Ya Edi kan pinjam uang kantor untuk pernikahannya. Ya dia ambil tuh uang yang ada. Eh malah dipecat,” cerita Dion suatu waktu perihal Edi yang pernah mengalami pemecatan.