Satu bulan setelah kelahiran Danish, aku meminta Dion mengjak anaknya, Asih, menginap di rumah bersama kami. Tujuannya untuk mengakrabkan Danish dengan Asih sejak Danish masih bayi. Di hadapanku, Asih terlihat diam saja. Bersama Ibu, aku dan Dion menikmati santap malam bersama yang tak jauh dari kamar tempat Danish tidur. Sambil makan, kami juga saling mengobrol satu sama lain.
“Ternyata Danish enteng ya. Nih aku bisa gendong,” ucap Asih menghampiri kami dengan menggendong Danish yang sedang tertidur.
“Waduuuhhh….,” Ibu ketakutan melihat tingkah laku Asih.
Sontak aku dan Ibu kaget melihatnya. Segera aku ambil alih Danish dari tangan Asih yang masih berusia 6 tahun itu.
Dion langsung menghabiskan makanannya dan mencuci tangannya. Bukan menasihatinya, ia malah mengajak pergi Asih. Aku dan Ibu keheranan melihat tingkah laku Dion. Tinggal aku dan Ibu di rumah itu.
Bukan sekali saja Dion seperti ini. Ketika kami akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dari Ibu dan Ayah dengan tinggal mengontrak, aku juga meminta Asih untuk menginap. Tujuannya, sekali lagi, agar mereka bisa akrab. Aku udah memaafkan perilaku Asih pada Danish sebelumnya. Harapanku, semoga Asih tidak mengulanginya lagi.
Di dekat Danish, kunyalakan mp3 lantunan-lantunan Quran. Aku meminta Asih duduk di samping Danish. Baru sesaat kutinggalkan dan aku kembali lagi, lantunan mp3 Quran itu sudah tidak berbunyi. Aku pun keheranan mengapa lantunan Quran itu bisa mati.
“Asih, ini kenapa mp3-nya mati?”, tanyaku.
“Habis berisik,” jawab Danish.
Astaghfirullahal adziim… berasa runtuh diriku.
Aku memang sengaja meletakkan mp3 lantunan Quran agar Asih bisa membiasakan diri mendengarnya. Asih sangat fasih melafalkan lagu-lagu berbahasa Inggris. Tapi dia masih kesulitan mengeja Quran. Tapi malah inilah respon yang kudapatkan.
“Asih, kamu tahu ga, itu sengaja ditaro dekat kamu supaya kamu dengarkan Quran. Kamu ini kan baca Iqra saja belum becus. Sukanya nyanyi-nyanyi lagu bahasa Inggris. Gimana mau benar shalat kamu kalau kamu seperti ini,” ucapku gemas pada Asih.
Setelah menikah dengan Dion, aku merasa aku juga mesti tanggung jawab juga pada perkembangan ilmu agama Asih. Sayangnya, latar belakang keluarganya yang sangat duniawi, membuat Asih sangat jauh dari kebiasaan mendengar lantunan ayat suci Quran.
Asih pun menangis mendengar omelanku. Dion pun datang dan langsung menarik Asih keluar.
“Sudah, kamu. Ga usah begitu sama Asih,” Dion memarahiku dengan nada tinggi.
Dion yang sedang memegang raket nyamuk langsung mengarahkan raket nyamuk itu dengan keras ke arah tubuhku. Beruntung masih bisa kutangkis. Aku pun berusaha meredam amarah Dion dengan mengiba padanya.
”Kamu mau kita pisah? Ya sudah”
Dion mudah sekali mengucapkan kata pisah. Apakah ia tidak paham, kalau aku iyakan, ini sudah jatuh talak?