Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #21

Anak Emas #21

Satu bulan setelah kelahiran Danish, aku meminta Dion mengjak anaknya, Asih, menginap di rumah bersama kami. Tujuannya untuk mengakrabkan Danish dengan Asih sejak Danish masih bayi. Di hadapanku, Asih terlihat diam saja. Bersama Ibu, aku dan Dion menikmati santap malam bersama yang tak jauh dari kamar tempat Danish tidur. Sambil makan, kami juga saling mengobrol satu sama lain.

“Ternyata Danish enteng ya. Nih aku bisa gendong,” ucap Asih menghampiri kami dengan menggendong Danish yang sedang tertidur.

“Waduuuhhh….,” Ibu ketakutan melihat tingkah laku Asih.

Sontak aku dan Ibu kaget melihatnya. Segera aku ambil alih Danish dari tangan Asih yang masih berusia 6 tahun itu.

Dion langsung menghabiskan makanannya dan mencuci tangannya. Bukan menasihatinya, ia malah mengajak pergi Asih. Aku dan Ibu keheranan melihat tingkah laku Dion. Tinggal aku dan Ibu di rumah itu.

Bukan sekali saja Dion seperti ini. Ketika kami akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dari Ibu dan Ayah dengan tinggal mengontrak, aku juga meminta Asih untuk menginap. Tujuannya, sekali lagi, agar mereka bisa akrab. Aku udah memaafkan perilaku Asih pada Danish sebelumnya. Harapanku, semoga Asih tidak mengulanginya lagi.

Di dekat Danish, kunyalakan mp3 lantunan-lantunan Quran. Aku meminta Asih duduk di samping Danish. Baru sesaat kutinggalkan dan aku kembali lagi, lantunan mp3 Quran itu sudah tidak berbunyi. Aku pun keheranan mengapa lantunan Quran itu bisa mati.

“Asih, ini kenapa mp3-nya mati?”, tanyaku.

“Habis berisik,” jawab Danish.

Astaghfirullahal adziim… berasa runtuh diriku.

Aku memang sengaja meletakkan mp3 lantunan Quran agar Asih bisa membiasakan diri mendengarnya. Asih sangat fasih melafalkan lagu-lagu berbahasa Inggris. Tapi dia masih kesulitan mengeja Quran. Tapi malah inilah respon yang kudapatkan.

“Asih, kamu tahu ga, itu sengaja ditaro dekat kamu supaya kamu dengarkan Quran. Kamu ini kan baca Iqra saja belum becus. Sukanya nyanyi-nyanyi lagu bahasa Inggris. Gimana mau benar shalat kamu kalau kamu seperti ini,” ucapku gemas pada Asih.

Setelah menikah dengan Dion, aku merasa aku juga mesti tanggung jawab juga pada perkembangan ilmu agama Asih. Sayangnya, latar belakang keluarganya yang sangat duniawi, membuat Asih sangat jauh dari kebiasaan mendengar lantunan ayat suci Quran.

Asih pun menangis mendengar omelanku. Dion pun datang dan langsung menarik Asih keluar.

“Sudah, kamu. Ga usah begitu sama Asih,” Dion memarahiku dengan nada tinggi.

“Kalau kamu mau pisah dari aku, tunggu Danish usia tujuh tahun,” aku mengiba sambil menangis pada Dion.

Dion pun menunjukkan ekspresi keberkuasannya. Ia merasa aku tak akan mau lepas darinya. Jadi ia bisa berlaku semena-mena padaku.

Malam itu aku dadaku terasa sakit sekali. Dion telah menunjukkan sikapnya. Ia lebih mengutamakan Asih ketimbang Danish. Padahal Danish masih bayi, masih butuh kehadiran seorang ayah di hari-harinya. Demi agar aku tidak memarahi Asih, Dion malah mengajak Asih pergi meninggalkan aku dan Danish.

Kini, aku menemukan fakta baru yang selama ini Dion sembunyikan. Ternyata Dion juga mendramatisir kehidupan Asih. Asih benar-benar tidak boleh tersentuh, apalagi sampai ditegur dan dimarahi. Asih memang cucu yang diemaskan di keluarga mereka.

Dari sikap Dion ini, aku juga akhirnya menyadari akan betapa besarnya rasa cinta Dion pada mendiang mamanya Asih. Meski di hadapannya sudah ada wanita lain yang mau hidup bersamanya dan menerima segala kekurangannya.

Setelah beberapa jam, kucoba menelepon Dion. Namun teleponnya tidak diangkat. Aku tidur berdua dengan Danish yang masih bayi dengan hati yang penuh rasa kecewa.

Pagi itu aku bangun dari tidur dengan rasa kesal. Aku berjanji, kalau Dion pulang, aku tak mau bicara padanya. Aku juga tak akan membolehkan Dion memegang Danish. Aku sudah benar-bena kecewa pada Dion.

Aku kehilangan sosok Dion yang kukenal sebelum menikah. Hilang sudah sosok Dion yang ramah dan penyabar yang dulu kukagumi. Ternyata semua itu hanya topeng untuk menjerat hatiku.

 

*************

 

Pernikahanku dengan Dion sudah masuk tahun keempat. Namun aku masih merasa asing dengan keluarganya. Tiap ada keperluan dengan mereka, selalu Dion yang bicara. Aku tak diberikan kesempatan untuk berhubungan langsung dengan mereka.

Pada keluargaku, Dion begitu leluasa bicara dengan siapa pun. Begitu pula dengan Asih. Asih bahkan sudah bersahabat akrab dengan Halwa, anak Fachri yang ternyata seumuran dengan Asih.

Lihat selengkapnya