Bintang Berkabut

Syamsiah
Chapter #22

Shock Therapy #22


Menikah dengan Dion bagai mendapat shock therapy kehidupan. Semua prinsipku ternyata berseberangan dengan yang Dion lakukan. Sudah menjadi prinsip besar dalam hidupku agar sebisa mungkin untuk menghindari berhutang, sesulit apa pun keadaan yang kita rasakan.

Hutang dapat membuat seseorang menjadi tidak bisa diterima arwahnya ketika meninggal. Arwahnya akan terus menyangkut di alam dunia karena urusannya dunianya belum selesai. Alasan inilah yang membuatku sangat menghindari hutang. Aku juga tidak tahu kapan tiba waktunya nyawaku diambil.

Sedangkan Dion, ia malah orang yang senang berhutang dan bahkan kakaknya sendiri mempermalukan aku karena hutangnya. Nama baikku tercoreng di keluarga besarku karena ulah Edi. 

Dion juga senang menuduhku atas beragam tingkah laku yang tidak kulakukan. Awalnya masih bisa kusanggah karena aku ingat betul kondisi sebenarnya. Namun Dion pun membalasku dengan mengubah-ubah omongannya. Sore itu, Dion kembali berulah.

“Kamu ini, kalau taro pisau yang benar dong. Masa taro pisau di meja,” kata Dion padaku.

“Dion, aku ga pakai pisau hari ini. Yang pakai pisau kan kamu,” jawabku.

“Aku pakai pisaunya kemarin. Kamu tadi pagi aku lihat pakai pisau,” sanggahnya.

Sehari-hari memang Dion yang masak di rumah ini, bukan aku. Di awal kami menikah, sebenarnya aku yang masak. Tapi Dion selalu komplain. Masakanku seperti tidak ada benarnya di lidahnya.

“Kamu ini kalau masak rasanya kok gini,” ucap Dion dengan nada tinggi.

“Ya kalau kamu merasa masakan kamu enak, ya kamu saja yang masak,” jawabku.

Aku tidak menyangka dion bakal tidak suka dengan masakan buatanku. Padahal sehari-hari Ibu lah yang memintaku membantunya membuatkan bumbu-bumbu masakannya. Aku tidak tahu, bahwa ini adalah salah satu cara Dion untuk bisa membuatku ketergantungan dengannya.

Hampir sering Dion menuduhku begini di barang-barang yang berbeda. Hal ini membuatku bingung dan dan makin hari jadi makin merasa bodoh. Semua yang aku lihat dan bukti yang aku berikan selalu salah di mata Dion. Ia selalu mempunyai jawaban versinya.

Dion juga suka meledak-ledak kalau aku bisa memberikan bukti akan kesalahan tuduhannya padaku. Ia ingin semua kesalahan dilemparkan padaku. Dan tiap diajak bicara baik-baik, Dion selalu menanggapinya dengan meledak-ledak.

“Tahan dulu emosi kamu Dion. Aku hanya menanyakan hal yang sepele. Kamu ga udah sampai berteriak begitu,” ucapku berusaha menenangkan aku dan Dion.

“YA KAMU TUH, AKU SELALU SALAH SAMA KAMU. AKU GA ADA BENAR-BENARNYA,” ucap Dion sambil berteriak.

“Duh, bukannya aku yang disalahin terus ya?”, gumamku dalam hati.

Makin hari dan makin sering melihat reaksi Dion yang suka meledak-ledak, ternyata sikap ini menular padaku. Aku jadi sangat emosional dan mudah tersinggung.

 

*************

 

Sepulangnya dari menjaga toko, aku mengajak Dion bicara baik-baik. Aku ingin membahas tentang pendapatan Dion yang tak jelas juntrungannya ke mana. Aku curiga uangnya malah diberikan pada Edi. Apalagi, Dion juga banyak berhutang padaku demi keberlangsungan tokonya. Jadi aku pun berhak mengetahui sebab-musabab mengapa uangku belum dikembalikan.

“KAMU KALAU BENCI SAMA KELUARGA AKU BILANG AJA,” teriak Dion lalu pergi menuju pintu pagar rumah.

Sudah enam tahun kami berumah tangga. Dion masih saja suka kabur dari masalah, seperti anak kecil. Aku pun sudah muak dengan sikapnya yang suka berteriak marah-marah dan kabur dari rumah tanpa peduli dengan anaknya yang masih sangat kecil. Aku tidak mau lagi beraksi apa-apa apalagi sampai menghiba padanya. Aku sudah sangat rela ia pergi. Aku berjanji, kalau ia pulang, akan aku diamkan saja.

Seperti biasa, beberapa hari kemudian, Dion kembali pulang. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan baginya. Dan sepertinya, mungkin ia akan berpikir bahwa aku juga akan makin mentolerir kebiasan buruknya ini. Ya memang aku akan mentolerirnya, dengan menganggap sudah tak perlu lagi ada Dion dalam hidupku.

“Assalaamu alaikum,” ucap Dion di depan pintu rumah.

Kali ini aku tak mau menjawab salamnya. Aku sudah benar-benra kesal dengannya. Enam tahun berumah tangga dengan Dion, tak membuat kami tumbuuh dewasa. Aku malah downgrade ikut suka marah-marah seperti Dion.

Pekerjaanku pun jadi banyak yang tidak terpegang. Aku hanya difokuskan untuk mengurus Danish. Danish pun tidak dikenalkan pada keluarganya. Dion benar-benar telah mengasingkanku dari diriku yang dulu aku kenal. Ya, aku sudah tak mengenali diriku sendiri.

“Ini sudah bukan aku. Aku harus kembali ke diriku,” ucapku dalam perenunganku di shalat-shalat malamku.

Siang itu kulihat Dion ke dapur dan mencari makanan. Tidak ada lauk di sana. Dion berjalan menuju kulkas. Hanya ada sisa tempe yang belum digoreng.

Kulihat Dion mengambil tempe itu dan menggorengnya. Lalu kudengar ia sedang membuat sambal untuk tempe yang ia goreng.

“Ah, buat apa kasihan. Toh selama ini dia juga tak pernah kasihan padaku”, gumamku dalam hati.

Aku sudah merasa muak kalau musti makan bersama dan duduk berhadapan dengannya.

Lihat selengkapnya