Bersama Danish, aku berangkat menuju toko yang sedang ditinggalkan Dion bekerja. Kulihat Karso, penjaga toko kami sedang duduk lemas. Seisi toko juga sudah sangat berkurang jauh.
Terakhir kulihat isi toko ini adalah sekitar enam bulan lalu. Isi tokonya memang sudah tidak sepenuh di awal. Tapi juga tidak separah ini, sampai jarang-jarang begini.
“Eh, Karto. Masih jaga aja. Memang toko sudah sepi isinya begini masih ada yang beli?”, tanyaku mencoba menyelidik.
“Masih ada sih kak. Tapi paling obat. Kalau kosmetik sudah jarang sekali.”
“Trus kalau kata mas Dion, kelanjutan toko mau bagaimana?”, kembali aku bertanya.
“Katanya sih mau dihabiskan dulu sampai akhir tahun, sesuai habisnya kontrak toko.”
“Trus?”
“Trus saya ga tau lagi kak. Saya aja udah tiga bulan ga dibayar kak. Mas Dion malah hutang delapan juta ke saya.”
“Loh kok bisa?”
“Waktu itu saya ada uang ya saya kasih pinjam.”
“Duh, Karto, berarti kita ini sama-sama korbannya Dion. Harta saya juga ludes sama Dion, to.”
“Kamu mending pulang deh to,” ucapku lagi.
“Maunya sih gitu kak. Tapi saya ga punya ongkos kak.”
“Jadi kamu tunggu mas Dion balik dulu?”
“Ya mau bagaimana lagi. Saya ga punya uang kak,” ucapnya mengiba.
“Kita kondisinya lagi sama-sama to. Saya juga heran mengapa Dion sampai separah ini. Jangan-jangan uangnya dikasih buat kakaknya terus nih. Kakaknya kan pengangguran tapi anaknya banyak.”
“Kalau uang sih saya ga tahu ya kak. Tapi mas Edi itu sering datang ke sini buat bolak-balik ambil motor.”
“Maksudnya?”
“Iya, kakak kan Sabtu suka datang ke sini kan kalau habis mengaji di Habib Umar. Nah Jumat-nya mas Edi datang tuh buat balikin motor. Minggunya nanti dia datang lagi buat ambil motor. Supaya ga ketahuan kakak kalau motornya mas Dion dipakai mas Edi.”
“Lah kamu kalau beli makanan gimana?”
“Saya mah lebih sering jalan kaki kak.”
“Oalaaahhh… begitu toh.”
Satu persatu mulai terbuka intrik-intriknya Dion. Dion menjadikan Karto sebagai kambing-hitam kerusakan motornya. Ternyata malah dipakai Edi. Pantas saja motornya rusak. Jarak antara rumah Edi ke toko kami saja sudah beda kota.
Aku jadi teringat dengan motor XMAX milik Dion yang katanya sedang masuk bengkel. Sudah lebih dari enam bulan motor itu tak kunjung kembali. Aku curiga motor itu dijualnya.
“Itu kan motor jarang. Onderdilnya susah. Jadi masih ada di bengkelnya Anwar,” jawab Dion ketika kutanyakan perihal motor XMAX-nya.
“Ya masa selama itu sih. Lagi pula kan bengkelnya Anwar itu kecil. Memangnya muat?”
“Sekarang bengkelnya Anwar sudah besar, sampai ke belakang rumahnya. Jadi Amwar tinggalnya di lantai dua rumahnya.”
“Tapi masa Anwar begitu. Anwar kan ga mungkin ga ketemu sama onderdil motor itu.”
“Memang susah, ya mau bagaimana.”