Kali ini aku mencoba menelepon kembali Taslim. Aku ingin meminta tolong Taslim sebagai saksi perceraian kami di pengadilan agama nanti. Dari Taslim aku jadi mengenal dion lebih dekat. Aku ingin Taslim tahu dan minimal bertanggung jawab atas perjodohan yang telah ia lakukan dahulu.
“Ya siapa tahu berjodoh kan saya jadi bisa dapat rumah di surga mba,” ucap Taslim saat itu.
Ucapan penuh keegoisan: menjodohkan orang lain tanpa memperkirakan kecocokan dan kesetaraannya dalam berbagai hal. Ia hanya memikirkan imbalan surga seperti yang orang-orang bilang ketika menjodohkan teman-temannya. Memangnya orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri layak mendapat surga?
“Kamu kan dahulu yang membuat aku mau mengenal Dion lebih dekat. Aku minta tolong kamu untuk jadi saksi perceraian kami ya?”, pintaku pada Taslim dari seberang telepon.
“Dulu itu Dion yang minta aku mengajak bertemu, bukan aku yang ajak. Makanya gue izin lo dulu kan, Sal?”
Aku kecewa dengan sanggahan Taslim.
“Lagi juga, lo setelah kita beberapa kali jalan, kenapa kalian malah menghilang sih?”, Taslim mulai bertanya penasaran.
Iya, aku salah. Kenapa aku tidak mengabari Taslim. Tidak lain dan tidak bukan karena aku malu bisa dekat dengan Dion.
Aku tak mau melihat kekecewaan dari raut muka orang-orang yang peduli padaku. Atau raut muka meremehkan dari orang-orang yang dengki padaku.
“Iya, gue emang salah. Gue juga heran kenapa bisa begitu,” ucapku penuh penyesalan.
“Dulu mba, pas kalian mau nikah kan Dion bilang kalau mau undang gue. Sampe hari H ga datang juga tuh undangannya.”
Oh my God. Ternyata begini jawabannya.
“Gue tuh udah berhari-hari ngingetin Dion. Katanya kan dia sudah siapkan undangan buat lo. Dia selalu bilang besok. Taunya malah ga diundang ya.” Jawabku dengan penuh penyesalan.
Kembali aku menemukan jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaanku. Aku sudah menemukan pola-pola dan cara-cara Dion mengisolasiku dari keluarga dan teman-teman kami. Semua itu dilakukannya agar aku tidak tahu apa-apa tentang kebusukan Dion.
**************
Siang itu aku kembali ke rumah Ibu untuk mengambil buku untuk ujianku besok.
“Assalaamu alaikum,” ucapku setelah membuka pagar.
Tidak ada suara yang menjawab. Aku pun masuk ke dalam. Ada Ibu yang sedang menonton televisi di atas kasur lantainya.
“Bu….,” ucapku sambil duduk bersimpuh di hadapannya untuk mencium tangannya.
“Eh, Salma… Salma, Ibu ga tahu Salma akan datang,” ucap Ibu kaget.
“Iya bu. Ini Salma dadakan ada ujian besok. Bukunya adanya di sini. Salma mau ambil buku,” jawabku sambil mencium tangan Ibu.
Aku mengambil wudu untuk shalat Zuhur. Dari tempat wudu, aku melewati dapur. Di sana tak ada makanan. Di kulkas juga kosong.
“Bu, Ibu mau dibelikan makanan apa? Ini Salma juga mau cari makanan ke luar”, tanyaku setelah shalat.
“Ibu mau makanan padang, Sal,” jawab Ibu.