"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Surat An-Nisa ayat 34 terus terngiang-ngiang di telingaku. Selama ini, dalam doa-doaku di siang dan malam, yang kupinta menjadi suamiku adalah orang yang bisa jadi pemimpinku. Pemimpin dalam berbagai urusan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Sebanyak apapun pemahaman agamaku, aku tetap butuh orang yang dapat membimbingku dalam mengarungi kehidupan ini untuk menggapai ridha-Nya. Kusadari, aku masih banyak kekurangan dalam bertingkah laku. Bukan orang bermasalah macam Dion karena sama sekali tidak paham syariat Islam. Malah aku yang mesti membimbingnya.
Belum lagi urusan rumah tangga dengan Dion yang sudah punya satu anak. Tentunya aku mesti pintar menjaga perasaan anak itu agar tak mengundang amarah Dion dan keluarganya. Aku sudah tahu betapa beratnya kasih sayang mereka pada Asih, anaknya itu.
Anak yang ditinggal Ibunya sejak satu bulan kelahirannya, membuat mereka terus-menerus mengasihaninya. Membuat mereka terus-menerus menjadikan Asih sebagai anak yang paling harus disayang dan dikasihani dari siapa pun. Membuat mereka jadi gelap mata bahwa di keluarga itu juga ada anak-anak kecil lain yang sama-sama juga butuh perhatian.
Rasa kasihan tentu boleh-boleh saja. Namun jangan terus-menerus mendramatisir kepergian ibunya di setiap waktu kita bertemu. Itu sama saja mereka telah menyalahkan Allah Swt atas takdir kehidupan Asih.
Tugasku berat. Aku mesti memberikan pemahaman pada Dion dan keluarganya. Tugas yang terasa amat sangat mustahil. Mengingat senioritas di keluarga mereka begitu kuat. Dan tugas ini kuberikan pada Dion untuk memberikan mereka pemahamannya. Aku yang mestinya dipimpin, malah jadi mesti memimpin.
Hari-hari jelang pernikahanku dengan Dion sudah semakin dekat. Semakin hari aku semakin bimbang dan semakin meminta tanda untuk digagalkannya pernikahanku jika Dion memang bukan jodohku.
Dalam gundah-gulananya perasaan hatiku, aku benar-benar meminta petunjuk pada Allah. Aku menangis di setiap malam. Namun sayang, petunjuk-petunjuk itu begitu halus untuk bisa kubaca. Sedangkan dorongan lingkungan agar aku mau menikah dengan Dion begitu kuat.
“Dion, sebelum menikah, aku mau kita buat perjanjian hitam di atas putih atas pernikahan ini”
”Ga mau”
”Kenapa ga mau?”
”Buat apa? Itu sama saja kamu ga percaya sama aku”
Astaghfirullah. Dion memang pintar memutarbalikkan fakta. Alih-alih untuk menghindari perilakunya yang semrawut pada kehidupan pernikahan ini, ia malah menyebutku tidak percaya dengannya.
”Ya kamu saja sehari-harinya seperti ini, Dion. Bagaimana aku mau percaya?”
”Kamu itu selalu merasa diri kamu selalu benar sendiri dan aku selalu salah terus. Aku ga ada benar-benarnya sama kamu,” hardik Dion padaku.
Astaghfirullah, ternyata ia tak juga mau bercermin pada dirinya sendiri.
”Kalau begitu kamu bilang lag pada ayahku, kalau kamu ga sanggup menikahiku,” pintaku padanya.
”Ga mau. Kamu aja sana,” jawabnya kembali.
Jelang pernikahan ini aku malah makin ditunjukkan sikap asli Dion yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan malah melempar kesalahannya padaku.
******************
Aku tidak yakin Allah Swt menjadikan Dion sebagai pemimpinku. Sedang aturan-aturan syariat Islam saja dia banyak yang tidak paham. Janjinya untuk belajar agama juga tak kunjung dilakukan. Ia malah banyak menolak nasihat-nasihatku.
Aku memang tidak memberikan dalil berupa ayat Quran dan Hadits. Itu semua sudah masa lalu bagiku. Lagi pula, aku ingin dia juga berpikir tentang fenomena kehidupan yang ia alami.
Begitu kubilang agar jangan dilakukan namun tetap ia lakukan, pasti ia merasakan kesulitan setelahnya. Namun ia tidak pernah kapok akan perilakunya ini. Bukankah ayat-ayat Allah itu bertebaran di muka bumi bagi orang-orang yang berpikir?