Pernikahanku dengan Dion sudah masuk tahun keempat. Namun aku masih merasa asing dengan keluarganya. Tiap ada keperluan dengan mereka, selalu Dion yang bicara. Aku tak diberikan kesempatan untuk berhubungan langsung dengan mereka.
Pada keluargaku, Dion begitu leluasa bicara dengan siapa pun. Begitu pula dengan Asih. Asih bahkan sudah bersahabat akrab dengan Halwa, anak Fachri yang ternyata seumuran dengan Asih.
Tapi tidak dengan Danish. Danish tidak akrab dengan keluarga Dion, terutama pada Nia. Dalam beberapa kesempatan kumpul keluarga, Nia selalu menghindari keberadaanku. Nia hanya mau datang kalau aku tidak datang. Padahal Nia rutin mengajak Asih mengikuti acara keluarganya berjalan-jalan dan menginap di vila. Dalam hati, timbul rasa cemburu pada Asih.
“Asih memang anak emas di keluarga kamu ya. Kukira pas dia masih kecil aja. Ternyata pas udah ada Danish pun, tetap Asih tuh yang suka diajak-ajak,” ucapku nyinyir.
“Nia bukan keluargaku, aku ga bisa bilangin dia.”
Jawaban Dion membuatku kecewa.
”Apa susahnya kamu tinggal nasihati Gilang, kalau mau ajak-ajak Asih ya izin dulu sama kamu. Asih itu bukan anak keluarga kamu, tapi anak kamu. Dan sekarang aku ini istri kamu. Bukannya dulu kamu yang ingin aku mengasuh dan mendidik Asih? Kenapa sekarang malah aku yang serba tidak dilibatkan? Bahkan terhadap anak kandung kamu sendiri?”
”Mereka itu sering mengajak Asih pergi begitu saja, aku juga malah baru tahu dari kamu kalau Asih sedang diajak pergi sama mereka,” jawabnya.
”Ya kalau begitu kamu yang tidak dianggap sebagai Bapaknya. Pantas saja aku juga tidak dianggap. Mulai sekarang, kamu harus bilang bilang ke mereka, kalau mereka mesti izin kamu dulu kalau mau mengajak-ajak Asih pergi.”
”Ya, mulai saat ini aku akan bilang begitu ke mereka.”
Posisiku yang menikahi duda ternyata musti menelan pil pahit diabaikan keluarganya. Mereka bahkan masih sering mengunggah foto-foto mendiang mamanya Asih dan mengenangnya pada status whatsapp. Itu kuketahui saat aku membuka hape Dion. Ternyata begini pahitnya menikah dengan seorang duda yang ditinggal meninggal.
Dari hape Dion juga aku jadi tahu bahwa ternyata Edi sering meminta uang pada Dion. Bukannya aku tak mau memberi, ia terlalu sering meminta pada kami. Sehingga seakan menganggap ini adalah kewajiban Dion padanya. Padahal hutang Edi padaku sudah lama tak dibayarnya. Edi juga tak pernah meminta maaf padaku dan pada Ibu akan ulahnya pada Gamal.
*************
Dion juga tak memberiku nafkah. Semua kebutuhan sehari-hari berasal dari uangku. Bahkan akulah yang membayar uang sewa tahunan kontrak toko sembako yang sedang jadi usaha Dion setelah ia memaksa memutuskan kerja keluar dari tempat kerjanya. Padahal di sana ia sudah berstatus sebagai pegawai tetap. Selain aku juga yang membayar uang kontrakan rumah yang kami tempati.
“Badanku sudah sakit. Aku sudah tak kuat,” katanya memberikan alasan.
Berkali-kali aku tak bisa menerima alasan itu. Namun makin hari Dion makin merajuk meminta agar aku merestui keinginannya keluar dari perusahaan tempat ia bekerja. Dan aku juga semakin lelah untuk menolaknya.
Bukannya aku menerima keinginannya. Tapi aku malas menghadapi sifatnya yang masih seperti anak-anak yang suka memaksa-maksa keinginannya.
”Ya sudah, kalau memang kamu sudah bertekad bulat mau berhenti kerja, kamu mau apa?”, tanyaku.
”Aku mau jualan tahu isi kayak yang dulu dijual Asril.”
”Asril, Asril jualan tahu?”
”Iya.”
”Tunggu deh. Ga mungkin kan Asril jadikan itu sebagai pandapatan utamanya. Dia hanya buka untuk sampingan aja kan?”, tanyaku kembali.
”Memangnya pendapatan bulanannya berapa dari berjualan tahu?”
Kembali aku berusaha menyelidik.
Aku bertanya kebingungan akan pilihannya yang sangat cetek dan benar-benar mencerminkan jiwanya masih kekanak-kanakkan.
“Pendapatan bersih ya kurang lebih dua juta lah sebulan,” jawabnya lempeng.
“Dion, pendapatan delapan juta saja kamu tidak bisa menafkahi aku dan Danish. Ini malah ingin mengerjakan yang hanya dapat segitu. Kamu ini gimana sih?”
”Kamu itu kan nanti dapat uang pensiun. Pakai saja untuk modal toko. Kamu punya kenalan orang yang pernah jaga toko dan tau barang kan? Ajak saja dia untuk kerja sama.”