Lebaran tiba, kami pun bersilaturahmi ke keluarga besar kami. Keluarga besarku biasa mengadakan silaturahmi di hari kedua. Sedang hari pertama kami menerima kedatangan para tetangga. Sedang keluarga besar Dion sudah berkumpul di hari pertama.
Kami juga ikut berkumpul bersama dengan keluarga Dion. Aku bertemu Nia di sana. Dia duduk di sampingku. Berjam-jam lamanya ia duduk di sampingku, sama sekali ia tak ada tegur-sapa di antara kami. Rasa gengsiku sebagai orang yang jauh lebih tua darinya, membuatku enggan untuk menyapanya lebih dahulu. Namun pada yang lain, ia jadi terlihat sangat ramah.
Di keluarga Dion, Nia dikenal sebagai orang yang senang bermain dengan anak-anak. Sayangnya, ia tak begitu dengan Danish.
Nia juga memperlakukan Danish dengan diskriminatif. Dengan anak-anak lain, ia bisa mengajak mereka bermain. Tapi Danish malah diabaikan. Danish mau ikut bergabung pun malah ditutupi dan dihalangi dengan badannya.
Lain dengan Gilang, adik Dion sekaligus suami Nia. Gilang mengajak siapa pun bermain tanpa membenda-bedakan, termasuk dengan Danish. Di rumah itu, Gilang mengajak Danish bermain pistol air.
Danish berlari-larian mengejar Gilang sambil menyemprotkan pistol air ke wajah Gilang. Gilang pun berusaha menghindar dari kejaran Danish.
Melihat hal itu, di hadapanku, Nia memarahi Danish. Anak berusia satu tahun dimarahi hanya karena menembakkan pistol yang berisi air tersebut pada suaminya. Nia yang dikenal ramah pada anak-anak, malah terlihat begitu emosional pada Danish.
Sudah hampir dua tahun aku bergabung dalam keluarga Dion. Sudah hampir dua tahun pula aku menyaksikan perilaku diksriminatif Nia pada aku dan Danish. Dari cerita-cerita keluarga Dion, Nia begitu baik pada Asih.
Asih rutin diajak menginap dan jalan-jalan dengan keluarganya. Cerita senda-gurau antara mereka pun sering kudengar. Tapi dengan Danish, sekali pun tidak pernah mau Nia menengoknya.
Aku menahan diri untuk tidak menceritakan ini pada Dion. Dion sangat sensitif soal apa pun tentang keluarganya. Baginya, keutuhan keluarga besarnya jauh lebih penting ketimbang keluarga kecil yang sudah dia miliki.
Dan kalau aku komplain tentang perilaku keluarga besarnya, aku dianggap sebagai perusak keutuhan keluarganya. Badannya memang bersama aku dan Danish. Tapi jiwanya bersama keluarga besarnya.
”Aku selalu ingat pesan Papa. Harus saling bantu saudara, tidak boleh saling bermusuhan” jawabnya ketika kutanya mengapa ia begitu sering memberikan Edi dan malah tidak menafkahi aku dan Danish dan tentunya juga tentang sikap Nia pada Danish.
”Aku ga masalah kalau Nia tidak mau bertegur-sapa denganku. Tapi masa iya dia begitu juga ke Danish yang ga tau apa-apa?”
”Gilang itu memang adikku. Tapi kalau tentang Nia, aku juga mesti hati-hati bicaranya.”
”Loh, Kok gitu? Kamu itu ga melindungi aku di keluarga kamu. Tapi Nia yang sudah dilindungi Gilang, malah kamu lindungi juga. Buat apa ada suami kalau untuk urusan keluarga saja kamu tak berani menegur adik kamu,” ucapku kesal.
Dion tidak menyadari tanggung jawabnya sebagai pemimpin dalam keluarga. Sebelum mendapatkan haknya untuk dituruti, tugas pemimpin antara lain menjadi teladan, melindungi, mengayomi dan menjaga agar isti dan anak-anaknya tidak disepelekan apalagi dihinakan oleh orang lain, terutama keluarganya sendiri.
”Ya nanti aku akan beritahu Gilang,” jawabnya.
*************
Setelah beberapa bulan berlalu, aku tak kunjung melihat itikad baik Nia untuk meminta maaf padaku.