"Jadi Abang ngajak kita ke sini buat bantu di kegiatan sosial ini? Aku pikir beneran pergi ke tempat yang seru waktu Abang bilang begitu."
Rey tertawa menanggapi cibiran Bianca.
"Nggak apa-apa kan sesekali kamu bantu Abang jadi sukarelawan." Rey mengelus sayang rambut Bianca lalu Rey tersenyum menoleh pada Raina, "Raina juga nggak keberatan kan?"
"Nggak kok, aku senang kalau bisa membantu di sini." Raina ikut tersenyum dengan Rey.
Pagi itu Rey mengajak Bianca dan Raina untuk ikut ke kegiatan sosial yang ia adakan bersama rekan-rekan medisnya di kelurahan Liliba kecamatan Oebobo.
Sebelum Memberikan pengobatan gratis, dr. Rey dan tim memberikan sosialisasi mengenai pola hidup sehat. Masyarakat yang hadir antusias menyambut mereka, sebab selama ini masyarakat yang mempunyai keluhan sakit, tidak pernah datang ke puskesmas. Sehingga pada kesempatan ini mereka datang untuk berkonsultasi dan mendapatkan pengobatan gratis.
Rey memberi tugas pada Bianca untuk membantu dokter Fadli, adik angkatan Rey di sekolah kedokteran. Sedangkan Rey meminta Raina untuk membantu dirinya. Rey dan timnya tanpa henti melayani masyarakat yang datang untuk berobat. Dan setelah menangani dua puluh lima pasien, Rey meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Ia mengajak Raina duduk di kursi di bawah rindangnya sebuah pohon.
"Capek ya?" kata Rey sambil memberikan sebotol minuman dingin pada Raina.
Raina menggeleng pelan, "Nggak capek kok. Kalau Kamu?"
"Capek sih tapi senang lihat banyak masyarakat yang antusias datang ke sini." Rey tersenyum, "Kayanya adik sepupuku tersayang juga cukup enjoy membantu dokter Fadli." Rey menunjuk ke arah Bianca yang sedang berbincang seru dengan dokter Fadli dan seorang perawat.
"Hehehe iya kayanya mereka cepat akrab ya."
"Aku sih senang kalau Bianca dekat sama Fadli, anaknya pintar dan baik. Justru aku kasihan sama juniorku itu, kamu tahu kan Bianca galaknya kaya singa kalau pacaran."
"Hahaha iya benar juga ya." Raina menyunggingkan sebuah senyum.
"Kalau Kamu bagaimana, Raina Bulandari Asmara?" Rey berbalik badan, menghadap Raina. Sorot mata Rey terlihat serius meski wajah tampannya tampak sedang menggoda Raina.
"Eh? Maksud Kamu?" tanya Raina mencoba memperjelas maksud pria di hadapannya ini.
"Iya perempuan seperti apa Kamu?" Mata Rey terus menatap Raina tanpa berkedip.
Raina diam, bingung menjawab pertanyaan Rey.
"Perempuan cantik itu biasanya sombong, sok cantik dan jual mahal. Tapi kok Kamu nggak kaya begitu ya. Kamu itu baik dan menyenangkan. Pasti beruntung sekali pacar Kamu ya!"
Raina menggeleng, "Aku nggak punya pacar kok." jawab Raina cepat.
"Oh begitu ..." Rey terkekeh, matanya menyipit karena tertawa, "Bagus dong! Jadi nggak akan ada yang marah kan kalau aku dekat sama Kamu?" Lanjut Rey setelah selesai tertawa.
Raina mengangguk pasti.
"Good. Glad to hear that!" Rey mendekatkan dirinya pada Raina, tangannya mengelus pelan kepala Raina.
Meski sentuhan Rey terkesan kasual, tetapi jantung Raina berdetak kencang. Ada rasa yang berbeda di hatinya. Perasaan yang dimulai dari rasa kagum ketika melihat dokter muda itu menyelamatkan penumpang di pesawat dan perlahan segera bergeser menjadi rasa tertarik pada Rey yang tampan dan perhatian.
Raina berfirasat Rey pun tertarik padanya. Saat Rey menawarkan kursi di pesawat, sikapnya seperti seorang laki-laki yang sedang tertarik dengan seorang wanita.
"Dokter Rey, ini ada pasien yang mau konsul!" suara perawat Rey membuat Raina dan Rey berjarak.