Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #1

1

Di sebuah kota yang penuh dengan cerita dan kenangan, kehidupan tak selalu berjalan lurus seperti yang kita inginkan. Setiap langkah yang diambil membawa kita pada pertemuan dengan orang-orang baru, dengan momen-momen yang mengajarkan kita untuk lebih memahami arti kebahagiaan dan kehilangan.

Aira, seorang perempuan yang pernah merasa terjebak dalam rutinitas, akhirnya memilih untuk berani melangkah keluar dari zona nyaman yang selama ini ia ciptakan. Meninggalkan semuanya yang telah ia kenal untuk mengejar mimpi, meski langkahnya terasa berat, dan tak jarang penuh keraguan. Di sisi lain, Elina, sahabat yang selalu ada, menyaksikan dengan penuh perhatian, menjadi pendengar setia, dan kadang menjadi tempat untuk berbagi kebahagiaan maupun kesedihan.

Dua sahabat yang saling melengkapi, menghadapi dunia dengan cara mereka sendiri. Aira mencari jawaban atas hidupnya, sementara Elina menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup bersama orang-orang yang ia cintai.

Dalam perjalanan panjang yang mereka lalui, cinta bukanlah hal yang datang begitu saja. Cinta muncul di antara tawa dan air mata, di antara rasa sakit dan harapan yang tak pernah padam. Namun, cinta juga mengajarkan mereka untuk melepaskan, untuk memberi ruang bagi kebahagiaan orang lain, meski hati mereka sendiri terasa kosong.

Bukan hanya tentang kisah cinta antara dua insan, tetapi juga tentang cinta persahabatan, tentang bagaimana menerima dan memberi dengan tulus. Tentang bagaimana hidup seringkali membawa kita ke tempat yang tidak kita duga, namun di sanalah kita menemukan siapa diri kita sebenarnya.

Dan kini, setelah berlarut-larut dalam kisah penuh tawa dan tangis, perjalanan itu akhirnya mencapai titik akhirnya—dimana semua yang telah terjadi menjadi sebuah kenangan indah yang akan selalu terpatri dalam hati. Sebuah perjalanan yang mungkin akan terus dikenang, meskipun waktu terus berjalan.

Kehidupan memang penuh dengan perjalanan tak terduga, namun setiap pertemuan adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Dan dalam setiap langkah yang diambil, ada cerita yang akan terus hidup, dalam kenangan dan cinta yang abadi.

Hari Selasa selalu tenang. Tidak terlalu awal seperti Senin, tidak terlalu mendekati libur seperti Kamis atau Jumat. Selasa... berada di tengah-tengah, seperti aku.

Aku duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela. Tempat paling nyaman untuk mengamati langit yang kadang biru pucat, kadang abu terang. Kadang penuh awan, kadang terlalu cerah. Semuanya tergantung suasana hatiku juga, mungkin.

Pagi ini, langit agak mendung. Tapi tidak cukup untuk disebut muram. Sama seperti suasana kelas 11 IPA 2—ramai tapi tidak gaduh. Suara kursi yang digeser, obrolan anak-anak yang baru masuk kelas, dan lagu dari ponsel yang lupa dimatikan. Semuanya biasa.

Aku menaruh dagu di tangan, memandangi pohon angsana yang berdiri di halaman sekolah. Daunnya bergoyang pelan. Tidak ada angin kencang. Tidak ada hal besar yang terjadi. Dan sejujurnya, aku menyukainya seperti itu.

Sampai suara ketua kelas memecah ketenangan.

"Eh, katanya hari ini ada murid baru, ya?"

Aku tidak menoleh. Biasanya murid baru akan jadi pusat perhatian selama seminggu. Setelah itu, kembali jadi bagian dari latar belakang. Begitu-begitu saja. Tapi aku mendengar beberapa teman mulai heboh.

"Katanya sih dari Bandung."

"Ganteng nggak, ya?"

"Jangan berharap terlalu tinggi. Biasanya sih biasa aja."

Aku menahan senyum kecil. Entah kenapa, antusiasme mereka selalu lucu buatku.

Beberapa menit kemudian, Bu Yulia masuk bersama seorang siswa laki-laki yang belum pernah kulihat. Rambutnya agak berantakan tapi tetap terlihat rapi. Dia membawa tas selempang dan mengenakan sneakers putih yang tampak baru.

"Pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan siswa pindahan dari Bandung. Silakan perkenalkan diri."

Anak itu tersenyum—senyum yang tidak terlalu lebar, tapi cukup membuat beberapa temanku berbisik-bisik.

"Pagi. Nama aku Rio Aryasatya. Aku pindahan dari SMA Negeri 5 Bandung. Senang bisa gabung di sini. Semoga bisa berteman baik, ya."

Cepat, to the point, dan entah kenapa... suaranya agak ringan, seperti baru bangun tidur tapi tetap jelas. Aku tidak terlalu peduli, sampai Bu Yulia menunjuk bangku kosong di sebelahku.

"Rio, kamu bisa duduk di sana, ya. Sebelah Elina."

Aku refleks menoleh ke kanan—bangku yang sudah kosong sejak semester kemarin. Dan sekarang, bangku itu tidak lagi kosong.

Rio berjalan pelan, lalu menarik kursinya. Ia menoleh padaku dan tersenyum, "Hai."

Aku mengangguk kecil. "Hai."

Lalu kembali menatap keluar jendela, berharap langit memberiku sedikit alasan untuk tetap fokus ke luar sana, bukan ke anak baru yang sekarang duduk di sebelahku.

Hari ini, aku merasa seperti lukisan yang dilihat terlalu dekat. Terlalu dekat sampai warnanya kabur, garisnya tidak jelas, dan maksudnya hilang.

Rio duduk di sebelahku. Dan itu membuat ruang di sekelilingku jadi sempit. Bukan karena dia berisik. Bukan juga karena dia sok akrab seperti anak baru pada umumnya. Justru karena dia... tenang. Terlalu tenang untuk ukuran orang yang baru pindah sekolah.

"Kalau kamu suka langit, berarti kamu nggak takut hujan?" tanyanya tiba-tiba.

Lihat selengkapnya