Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #2

2

Selasa kedua setelah kejadian itu terasa lebih tenang. Rio kembali duduk di sebelahku, seperti biasa. Namun, ada hal yang berbeda.

Aku bisa merasakannya. Senyum Rio tidak selebar biasanya. Tatapannya sedikit lebih suram, meskipun dia berusaha menutupi dengan lelucon dan tawa kecil. Aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja, tapi aku tidak tahu harus berkata apa.

Kami duduk bersebelahan tanpa banyak bicara, hanya sesekali saling pandang, seolah bertanya tanpa suara. Aku ingin mengajaknya berbicara, tapi aku juga merasa bahwa ada batas yang tidak boleh aku lewati. Setiap orang punya ruang pribadinya, dan mungkin Rio sedang butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Di tengah kebisuan itu, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya lagi.

"Rio... kenapa kamu kelihatan seperti itu tadi? Apa ada yang salah?" tanyaku pelan, mencoba tidak terlalu memaksa.

Dia menoleh ke arahku, matanya sedikit ragu, seakan tengah mempertimbangkan apakah dia akan jujur atau tidak.

"Aku cuma... butuh waktu," jawabnya akhirnya. "Ada banyak hal yang harus dipikirkan, Elina."

Aku mengangguk perlahan, tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, aku ingin mengatakan bahwa dia bisa berbicara denganku, tapi aku tidak ingin membuatnya merasa tertekan. Aku hanya duduk di sana, menunggu, memberi ruang untuk dia berbicara jika dia siap.

Tiba-tiba, Rio mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kertas kecil. Dia membukanya dan menuliskan sesuatu di atas meja dengan pensil yang selalu dibawanya.

Aku menatapnya dengan rasa penasaran. Tulisannya tidak rapi, tapi cukup terbaca.

"Mau dengar lagu?" tulisnya, disertai gambar sebuah nada musik kecil.

Aku terkekeh melihat tulisan itu. "Kamu bisa minta lagu kayak gitu?" balasku dengan cara bercanda.

Rio tersenyum, meski senyumnya masih terlihat sedikit dipaksakan. "Kenapa tidak? Nggak ada yang salah dengan berbagi lagu, kan?"

Aku tersenyum balik. "Oke, apa yang kamu punya?"

Dia memberikan earphone-nya, lalu menyodorkan salah satu kabelnya ke arahku. Aku menerima earphone itu, dan dia memutar lagu pertama.

Lagu yang terdengar tidak asing. Itu adalah lagu favoritku.

Aku menoleh ke Rio, terkejut. "Kamu tahu lagu ini?"

"Yup," jawabnya dengan senyuman yang lebih nyata sekarang. "Aku nggak tahu kalau kamu juga suka lagu ini."

Aku tersenyum. "Ternyata kita punya selera musik yang sama juga."

Hari itu berlanjut dengan kebisuan yang tidak canggung, hanya diselingi tawa kecil saat lagu demi lagu kami tukar. Seolah, meski Rio tidak bercerita lebih banyak, dia memberiku cara baru untuk mengenalnya—melalui lagu.

Aku jadi berpikir, apakah hal-hal kecil seperti ini yang membuat perasaan mulai tumbuh tanpa disadari?

Aku merasa sedikit lebih dekat dengan Rio, meski ada jarak yang tetap terjaga di antara kami. Tapi ada satu hal yang pasti. Aku merasa nyaman.

Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.

Selasa minggu ini sedikit berbeda. Aku sudah terbiasa dengan rutinitas kami—kami bertemu di kelas, berbagi earphone, dan mendengarkan lagu yang sama. Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganjal di dalam diriku. Meskipun kami berbicara lebih sering, ada rasa sepi yang tak terungkapkan di antara kami.

Aku memandang Rio yang duduk di sampingku, matanya terfokus pada layar ponselnya, seolah sedang membaca pesan. Aku tidak bisa menahan rasa ingin tahu, tapi aku memilih untuk tidak bertanya.

Pelajaran hari itu berjalan biasa saja. Tidak ada yang terlalu mencolok. Namun, saat bel tanda istirahat berbunyi, aku melihat Rio dengan cepat berdiri dan berjalan keluar kelas, meninggalkan bangku kosong di sebelahku.

Aku mengernyitkan dahi. Biasanya, dia akan menunggu sebentar, mungkin berbicara dengan teman-teman lain sebelum keluar. Tapi hari ini, dia pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku.

Ada sesuatu yang terasa berbeda.

Aku memutuskan untuk mengikutinya, tidak tahu apa yang mendorongku untuk melakukan itu. Aku hanya merasa, ada sesuatu yang perlu aku ketahui. Sesuatu yang sepertinya sedang mengganggu Rio, yang dia tidak ingin aku tahu.

Aku berjalan perlahan mengikuti langkahnya, memastikan tidak terlihat mencurigakan. Rio berjalan ke arah taman sekolah, tempat yang biasanya sepi saat istirahat. Aku berhenti di belakang pohon besar, mengintipnya dari kejauhan.

Dia duduk di bangku taman, memandang langit dengan ekspresi yang kosong. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Rio, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Aku berdiri di sana, tak tahu apakah harus mendekat atau membiarkannya sendiri. Namun, sebelum aku bisa memutuskan, Rio menoleh ke arahku, seakan merasakan kehadiranku.

"Elina?" suaranya agak kaget, tapi ada sedikit senyum yang menyapanya begitu dia melihatku. "Kamu di sini?"

Lihat selengkapnya