Hari Selasa kembali hadir, dan aku sudah bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Meski Rio belum sepenuhnya membuka diri, ada semacam perubahan kecil yang kurasakan. Mungkin bukan hanya dari dirinya, tetapi juga dari diriku sendiri. Ada sebuah ketenangan yang mulai tumbuh di hatiku, meskipun aku masih bingung dengan banyak hal yang belum terungkap.
Pagi ini, aku tiba lebih awal di sekolah. Udara pagi terasa segar, dan aku duduk di bangku yang biasanya aku tempati, menatap langit biru yang cerah. Aku tidak bisa menahan diri untuk merenung sejenak, menikmati ketenangan sebelum hari dimulai.
Tak lama setelah itu, Rio datang dan duduk di sebelahku. Aku tersenyum padanya, dan dia membalas dengan senyum yang kali ini tampak lebih lebar. Dia kelihatan lebih ringan, seperti bebannya sedikit terangkat.
"Pagi, Elina," sapanya, suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya.
"Pagi, Rio," jawabku, masih dengan senyum yang mengembang di wajahku.
Kami duduk bersama beberapa menit, menikmati suasana pagi yang tenang. Tak ada percakapan yang terlalu berat, hanya obrolan ringan tentang tugas-tugas sekolah dan hal-hal kecil lainnya. Namun, meskipun tidak ada topik yang mendalam, aku merasa ada sesuatu yang mulai terhubung di antara kami. Sebuah kenyamanan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
"Aku pikir-pikir, Selasa adalah hari yang cukup menyenangkan ya," kata Rio tiba-tiba, sambil menatap langit yang cerah. "Mungkin karena kita selalu punya waktu bareng."
Aku mengangguk, sedikit tersenyum. "Iya, aku juga suka hari Selasa. Tapi, mungkin juga karena kamu sering ada di sini," ujarku sambil menggoda.
Rio tertawa ringan. "Ah, jadi aku yang jadi alasan hari Selasa kamu jadi menyenangkan?"
Aku menatapnya, merasa ada getaran halus di dalam hatiku. "Bisa jadi," jawabku pelan, tanpa berniat untuk mengungkapkan perasaan lebih dalam.
Saat bel masuk, kami berdua beranjak ke kelas, tetapi perasaan yang muncul selama percakapan tadi tetap bertahan. Seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang mulai tumbuh dengan perlahan.
Pelajaran pagi itu berjalan biasa, dengan Rio yang tampaknya lebih sering mengajakku berbicara. Meski tidak ada percakapan serius, aku bisa merasakan bahwa dia berusaha mencairkan suasana yang sedikit canggung di antara kami. Dia melontarkan beberapa lelucon ringan yang membuatku tertawa, dan aku merasa senang bisa kembali tertawa bersama.
Namun, di balik itu semua, aku tetap merasa ada sesuatu yang belum selesai antara kami. Sesuatu yang belum tuntas. Dan mungkin itu adalah pertanyaan besar yang terus menghantuiku—apa yang sebenarnya dia rasakan? Apa yang terjadi di dalam pikirannya? Aku tahu Rio bukan orang yang mudah membuka diri, tapi semakin hari, semakin banyak pertanyaan yang tidak terjawab.
Saat istirahat tiba, kami berdua berjalan ke kantin bersama. Tidak ada yang terlalu istimewa dari percakapan kami, hanya sekadar obrolan ringan tentang makanan favorit dan sedikit cerita tentang kegiatan ekstrakurikuler. Tapi, saat Rio menatapku dengan matanya yang serius, aku tahu ada yang ingin dia katakan.
"Elina," katanya pelan, seolah ragu-ragu. "Aku... aku tahu aku mungkin nggak secepat itu untuk cerita soal perasaan, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai setiap momen kita bersama."
Aku terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kalimat itu sederhana, tapi ada sesuatu yang dalam di baliknya. Sesuatu yang membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Rio, aku juga... aku merasa sama," jawabku, suaraku sedikit bergetar, meskipun aku berusaha untuk tetap tenang.
Dia tersenyum kecil, lalu melanjutkan, "Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku nggak mau buru-buru, tapi aku berharap kita bisa terus menikmati setiap hari yang kita lewati."
Aku mengangguk, merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. Mungkin memang belum waktunya untuk segala sesuatu terungkap, tetapi setidaknya kami mulai bisa saling memahami. Kami tidak perlu terburu-buru untuk mengungkapkan perasaan, karena setiap langkah kecil yang kami ambil sudah cukup berarti.
Kami menghabiskan waktu bersama di kantin, menikmati makan siang yang sederhana. Sambil berbicara tentang hal-hal ringan, aku merasa ada kedekatan yang semakin tumbuh di antara kami. Kami tidak perlu mengatakan semuanya, karena kadang, sebuah senyum atau tatapan sederhana bisa mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata.
Setelah makan siang, kami kembali ke kelas, tetapi kali ini, aku merasa lebih tenang. Meskipun masih ada banyak hal yang belum terungkap, aku mulai merasa nyaman dengan keadaan ini. Tidak perlu terburu-buru, tidak perlu memaksakan semuanya. Kami berdua masih punya waktu, dan itu sudah cukup.
Saat jam pelajaran selesai dan kami berpisah di pintu kelas, aku menatap Rio dengan senyuman yang tulus. "Sampai jumpa, Rio," kataku pelan.
Dia membalas dengan senyum lebar. "Sampai jumpa, Elina."
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa hari Selasa benar-benar istimewa—bukan hanya karena langit yang cerah, tetapi karena ada seseorang yang membuat setiap hari terasa lebih berarti.
Hari Selasa kali ini terasa lebih hangat, meskipun angin sore sedikit membawa kesejukan. Sejak pagi, aku sudah bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Entah itu karena perasaan yang mulai berkembang atau karena Rio yang semakin membuat hari-hariku lebih berwarna. Rasanya, hidupku yang sebelumnya biasa saja, kini tiba-tiba terasa lebih hidup.
Aku duduk di bangku yang sama, menikmati angin sore yang masuk melalui jendela kelas. Senja mulai menguning, memberikan kilau keemasan di langit yang tak terlalu cerah. Ini adalah pemandangan yang aku suka, pemandangan yang membuatku merasa tenang.
Rio datang tepat pada waktunya. Seperti biasa, dia duduk di sebelahku, tanpa berkata apa-apa terlebih dahulu. Kami hanya duduk bersama, menikmati senja yang semakin meredup. Meskipun tidak ada percakapan yang berarti, aku bisa merasakan ada kedekatan yang tumbuh di antara kami. Sesuatu yang membuatku merasa nyaman, tapi juga sedikit cemas.
"Aku pernah dengar orang bilang, kalau langit senja itu bisa menyembuhkan hati," kata Rio, membuka pembicaraan setelah beberapa menit terdiam.
Aku menatap langit yang semakin gelap. "Menyembuhkan hati? Bisa saja, ya. Rasanya memang ada sesuatu yang menenangkan, setiap kali melihatnya."
Rio tersenyum. "Aku juga merasa begitu. Kadang, hanya dengan melihat langit, aku merasa semua masalah bisa sedikit terlupakan."
Aku mengangguk setuju, tapi di dalam hati, aku tahu ada satu masalah yang belum bisa aku lupakan—perasaan yang semakin kuat terhadap Rio. Perasaan yang membuatku bingung, karena aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Kami menghabiskan beberapa menit dalam keheningan, hanya saling berbagi pandangan tentang senja yang perlahan lenyap. Tapi ada satu hal yang membuat hatiku semakin berat—aku mulai merasakan bahwa perasaan ini mungkin lebih dari sekadar kebetulan. Mungkin, aku benar-benar mulai menyukai Rio.
Namun, ada sesuatu yang membuatku ragu. Meski Rio seringkali bersikap ramah dan perhatian, aku tahu dia bukan tipe yang mudah membuka diri. Dia memiliki tembok besar yang menghalangi siapa pun untuk benar-benar mengenal dirinya lebih dalam. Tembok itu sulit untuk ditembus, dan aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk mencoba.
"Kadang aku merasa, aku gak ngerti kenapa kita bisa ngobrol dan punya waktu bareng terus," Rio tiba-tiba berkata, seperti membaca pikiranku. "Tapi di sisi lain, aku juga gak mau buru-buru. Aku lebih suka kalau semuanya berjalan dengan alami."
Aku terdiam mendengarnya. Seolah-olah dia tahu apa yang sedang aku pikirkan. Mungkin dia merasa hal yang sama—ragu, tapi juga ingin melanjutkan.
"Aku juga suka kalau semuanya berjalan alami," jawabku, mencoba untuk tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya lebih dalam dari yang aku katakan.
Dia menatapku, dan untuk sesaat, matanya seperti mencari-cari sesuatu dalam diriku. Tapi, dia akhirnya mengangguk pelan, seolah memahami. "Oke, kalau begitu. Kita nikmatin aja dulu," katanya dengan senyum tipis yang membuat hatiku berdebar.
Kami berdua kembali terdiam, dan meskipun tidak ada banyak kata-kata, aku merasa ada sebuah pemahaman yang baru tumbuh di antara kami. Pemahaman bahwa tidak perlu terburu-buru. Tidak perlu mengungkapkan semuanya dengan cepat. Kami bisa menikmati waktu yang ada, dan mungkin suatu hari, semuanya akan lebih jelas.
Saat bel tanda istirahat berbunyi, kami beranjak dan pergi ke kantin, berjalan berdampingan. Meski aku masih ragu dan bingung dengan perasaan ini, aku tahu satu hal—hari Selasa ini, bersama Rio, sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia.
Namun, ketika aku melirik ke arah kantin, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku sedikit tercekat. Dari kejauhan, aku melihat Rio berbicara dengan Dina, salah satu teman sekelas yang cukup dekat dengannya. Mereka terlihat akrab, tertawa bersama. Satu sisi dari diriku merasa senang melihat mereka bisa berbicara begitu nyaman, tetapi sisi lainnya merasa cemburu tanpa bisa mengontrolnya.
Aku mencoba untuk menenangkan diri. Tidak ada alasan untuk merasa cemburu, kan? Kami hanya teman, bukan apa-apa. Tapi perasaan itu tetap saja ada, seperti benih yang tumbuh perlahan, meskipun aku berusaha menutupi rasa itu dengan tersenyum.
"Eh, Rio," aku menyapa dia ketika akhirnya kami tiba di meja makan. "Gimana obrolannya sama Dina?"
Rio menoleh ke arahku dan tersenyum. "Oh, cuma ngobrol biasa kok. Dia lagi nanyain soal tugas sejarah."