Selasa pagi datang tanpa hujan, tapi udara terasa dingin. Aku berjalan pelan ke kelas, melewati koridor yang mulai ramai. Beberapa anak menyapa, beberapa hanya lewat. Seperti biasa.
Ruang kelas sudah setengah penuh. Bangku di sebelahku kosong.
Kupandangi kursi itu sejenak. Aku tidak tahu apakah Rio akan datang hari ini. Meski dia sudah minta maaf dan menjelaskan, bagian kecil dari diriku masih diliputi ragu. Mungkin karena kebiasaanku yang selalu menjaga jarak, atau mungkin karena takut berharap terlalu banyak.
Aku duduk. Lima menit. Sepuluh menit.
Lalu langkah cepat terdengar dari pintu. Dan di sanalah dia—Rio, dengan rambut agak berantakan dan napas sedikit terengah.
"Aku datang," katanya, meletakkan tas dan duduk sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk pelan, mencoba menahan senyumku yang hampir muncul spontan. Tapi tidak cukup berhasil.
"Maaf telat. Jalanan macet, dan... ya, aku bangun telat juga sih," ucapnya setengah malu.
Aku menatapnya. "Kamu gak apa-apa?"
Dia mengangguk. "Aku kangen duduk di sini."
Kata-kata itu sederhana, tapi membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku membuang pandangan ke jendela, mencari sesuatu yang bisa kualihkan.
Rio tertawa kecil. "Kamu masih suka langit, ya?"
Aku mengangguk. "Hari ini biru banget."
"Seperti matamu."
Aku menoleh cepat. "Apa?"
Rio tersenyum santai. "Gak apa-apa. Cuma bercanda."
Tapi pipiku terasa hangat. Aku menunduk, pura-pura sibuk membuka buku.
Pelajaran dimulai. Kami kembali ke rutinitas biasa—mencatat, sesekali saling melirik, saling menyenggol pelan saat salah satu dari kami hampir ketiduran. Rasanya... nyaman.
Tapi saat jam istirahat tiba, sesuatu berubah. Dina datang ke kelas, menghampiri bangku kami.
"Rio, kamu bisa ke ruang musik bentar nggak? Aku mau tanya soal tugas kemarin."
Rio menoleh padaku sebentar, lalu ke Dina. "Sekarang?"
"Iya. Gak lama kok."
Aku menatap bukuku, mencoba tak bereaksi. Rio berdiri pelan. "Oke. Nanti aku balik."
Aku tidak menjawab. Dia pergi.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bangku di sebelahku lebih kosong dari biasanya. Bukan karena tidak ada orang di sana. Tapi karena kehadiran Rio yang terasa lebih jauh.
Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit.
Aku tak tahu kenapa aku menghitung.
Ketika akhirnya Rio kembali, wajahnya tampak biasa saja. Tapi aku tidak bisa menyembunyikan kekesalan kecil di mataku.
"Maaf lama. Dia minta bantu nyusun nada gitar."
Aku hanya mengangguk. Tidak menjawab.
"Elina," katanya pelan. "Kamu marah?"
Aku menoleh padanya. "Enggak."
"Jawaban yang sama kayak kemarin."
Aku menutup bukuku perlahan. "Kalau kamu tahu aku bohong, kenapa nanya lagi?"
Rio terdiam.
"Rio..." Aku menarik napas. "Aku nggak ngerti ini apa. Kita ini apa. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak peduli."
Rio menatapku dalam. "Aku juga gak ngerti. Tapi yang aku tahu... aku pengen kamu tetap ada di sampingku tiap Selasa. Dan kalau bisa, bukan cuma Selasa."
Aku terdiam.
"Kalau kamu mau, kita pelan-pelan ngertiinnya bareng."
Kata-kata itu menggantung di antara kami. Tak ada janji besar. Tak ada kalimat manis berlebihan. Hanya keinginan yang tulus.
Dan untuk saat itu, itu cukup.
Hari-hari setelah percakapan itu... aneh.
Aku dan Rio masih duduk bersebelahan. Kami masih bercanda, masih saling mencolek saat bosan, dan masih berbagi bekal kecil saat istirahat. Tapi ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bisa kutunjuk dengan pasti. Seperti jarak tipis yang menempel di antara kata-kata kami. Seperti ada jeda antara tawa dan tatapan.