Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #5

5

Hari Selasa tiba, dan aku menemukan diriku duduk di bangku yang sama, dengan perasaan yang tidak sama. Rio belum juga ada. Aku tidak tahu harus merasa apa—kecewa, marah, atau hanya bingung dengan semuanya. Semua perasaan itu mengaduk di dalam hatiku, seperti ombak yang tak bisa diprediksi.

Aku menatap langit dari jendela kelas. Kali ini, aku tidak melihatnya dengan cara yang sama seperti dulu. Langit yang biasanya terlihat cerah dan penuh harapan kini terasa lebih gelap, lebih berat. Seperti hari-hari yang terasa kosong tanpa kata-kata yang terucap.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan suara langkah yang kukenal memasuki ruangan. Rio.

Aku menoleh, dan matanya langsung mencari-cari aku. Wajahnya tampak cemas, dan dia terlihat lebih ragu dari biasanya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Kamu kenapa?"

Dia berdiri di pintu kelas, masih terdiam beberapa detik, lalu akhirnya masuk dengan langkah hati-hati. "Elin, aku..."

Aku mengangkat tangan, memberi tanda agar dia berhenti. "Rio, kalau kamu datang buat bilang kamu ingin terus dekat sama Dina, atau masih ragu soal aku, mending jangan sekarang."

Rio terdiam, dan aku bisa melihat betapa bingungnya dia. "Aku datang buat bilang, aku nggak tahu lagi gimana caranya ngungkapin apa yang aku rasain. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Elin. Kamu itu... berbeda. Aku ngerasa lebih nyaman sama kamu. Lebih hidup."

Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya, tapi entah kenapa aku merasa kosong. Apa yang dia katakan memang penting, tapi... apakah ini cukup? Apakah cukup hanya dengan kata-kata?

Aku menatapnya lama, mencari keberanian untuk berbicara. "Tapi kamu nggak bisa kasih aku janji, kan?"

Rio menunduk. "Aku nggak bisa. Aku nggak bisa janji akan selalu ada, Elin. Tapi aku janji akan coba lebih baik. Aku ingin ada di hidup kamu, kalau kamu izinin."

Aku merasa dada ini sesak. Aku ingin percaya, tapi juga takut. Takut jatuh lagi ke dalam hubungan yang tidak pasti. Takut mengulang kesalahan yang sama.

"Aku nggak tahu, Rio," kataku, suara sedikit pecah. "Aku takut aku cuma jadi pengganti, cuma jadi orang yang ada buat nyambungin kamu sama orang lain."

Rio terdiam lama. Akhirnya dia melangkah mendekat, duduk di bangku sebelahku, memandangku dengan penuh perhatian. "Aku nggak mau kamu jadi pengganti, Elin. Kamu penting. Aku... aku mulai sadar bahwa cuma kamu yang ada di pikiranku."

Aku tidak bisa menahan air mata yang menetes begitu saja. "Tapi aku nggak tahu apa yang aku harus lakukan. Aku butuh waktu, Rio."

Dia mengangguk pelan. "Aku ngerti, Elin. Aku cuma minta kesempatan buat buktikan kalau aku bisa jadi yang terbaik buat kamu."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kamu janji?"

Dia menatapku dengan mata yang serius. "Janji."

Aku tersenyum lemah. "Oke. Aku beri kesempatan. Tapi, Rio... jangan kecewain aku, ya?"

"Gak akan. Aku nggak akan pernah kecewain kamu."

Aku merasa sedikit lega, meskipun rasa ragu masih mengisi dadaku. Tapi aku ingin percaya, ingin memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk bahagia tanpa takut.

Kami berdua duduk dalam diam, hanya ditemani suara detak jam di dinding dan angin yang berhembus pelan. Hari ini, langit mungkin masih mendung, tapi aku merasa sedikit lebih terang.

Sejak hari itu, sesuatu terasa berubah—tapi tidak dengan cara yang langsung terlihat. Aku dan Rio memang masih saling menyapa, masih duduk bersebelahan, masih berbagi tawa dan gumaman tentang tugas-tugas sekolah. Tapi ada ruang kecil di antara kami yang belum sepenuhnya terisi. Ruang yang dulunya penuh ketidakpastian, kini justru diisi oleh kehati-hatian.

Aku tahu Rio sedang berusaha. Dia lebih perhatian dari sebelumnya, lebih sering menatapku dengan ekspresi seolah ingin memastikan aku baik-baik saja. Tapi aku juga tahu, dia masih menyimpan sesuatu. Entah rasa bersalah, atau mungkin masih ada jejak perasaannya yang belum selesai untuk Dina.

Dan aku?

Aku juga tidak sepenuhnya bisa membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Aku jadi lebih mudah curiga, lebih mudah merasa waspada setiap kali Rio berbicara dengan Dina—walaupun hanya tentang tugas atau hal remeh. Rasanya seperti berdiri di tepi kolam, takut tercebur, tapi juga tak bisa menjauh karena airnya terlalu memikat.

Lihat selengkapnya