Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #6

6

Hari berikutnya, kursi sebelahku akhirnya terisi lagi. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Rio duduk dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Ia tak tertawa, tak banyak bicara, dan yang paling aneh—ia tidak menawarkan earphone atau memutar playlist baru.

Aku menatapnya sebentar, mencoba membaca ekspresinya, yang tampak lebih lelah dari biasanya.

"Eh, Rio... Kamu baik-baik aja?" tanyaku pelan.

Dia menoleh, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya tulus.

"Iya, cuma... capek aja," jawabnya, mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Aku mengangguk, merasa ada sesuatu yang tertahan dalam kata-katanya. Biasanya, Rio tidak akan segan bercerita. Tapi kali ini, ada jarak yang entah kenapa terbentuk di antara kami.

Selama pelajaran, kami tak banyak bicara. Hanya obrolan singkat tentang tugas, tentang ulangan yang akan datang, dan hal-hal sepele lainnya. Tapi setiap kali matanya bertemu dengan mataku, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak diungkapkan.

Setelah bel pulang, kami berjalan bersama menuju halte. Dia masih diam, dan aku hanya bisa meliriknya sesekali. Tiba-tiba, Rio menghentikan langkahnya di tengah jalan.

"Eli," suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya, "Aku nggak ingin ada yang salah paham, atau jadi aneh. Aku... cuma butuh waktu."

Aku terdiam, mencoba menangkap apa yang dia maksud. Wajah Rio terlihat serius, dan aku bisa merasakan betapa berat kata-katanya. Seolah ada beban yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang ceria.

"Waktu untuk apa?" tanyaku dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Aku... nggak mau kamu mikir aku cuma main-main. Aku cuma nggak tahu harus gimana," jawabnya, matanya menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat.

Aku menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang mulai tidak karuan. "Rio, kita udah lama kenal, kan? Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Kalau ada apa-apa, kamu tinggal bilang aja."

Dia menatapku dengan mata yang lebih lembut dari sebelumnya. "Aku cuma... takut kamu akan mulai merasa tersisih kalau aku nggak bisa terus ada di sini seperti biasanya."

Aku terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara, seolah memberi ruang bagi segala macam keraguan. Ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan, tapi aku hanya bisa mengangguk pelan.

"Gak apa-apa, Rio," ujarku akhirnya. "Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Aku cuma mau kamu tetap jadi diri kamu, nggak perlu merasa tertekan."

Dia tersenyum tipis, meski aku tahu senyumnya kali ini lebih penuh arti.

"Terima kasih, Eli," katanya pelan.

Kami melanjutkan langkah menuju halte, kali ini lebih tenang. Tidak ada kata-kata yang terlalu berlebihan. Kami berjalan berdampingan, seperti biasa, tapi ada sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar kebiasaan. Mungkin kami belum siap untuk mengatakan banyak hal, tapi setidaknya, kami berdua tahu bahwa tidak ada yang benar-benar ingin pergi.

Hari Selasa berikutnya terasa berbeda. Langit cerah, dan udara segar seolah menandakan awal yang baru. Aku duduk di tempatku seperti biasa, menunggu Rio yang sudah jadi kebiasaannya datang tepat waktu, meskipun terkadang agak terlambat.

Hari ini, aku merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal, entah itu perasaan yang belum terselesaikan kemarin atau hanya perasaan biasa yang datang tiba-tiba. Aku menyadari bahwa meskipun Rio terlihat lebih terbuka beberapa hari terakhir, ada semacam jarak yang tak bisa kujelaskan.

Aku sedang menatap buku catatan, mencoba untuk fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung, ketika tiba-tiba Rio masuk ke kelas. Dia terlihat lebih ceria dari sebelumnya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis.

Dia melangkah ke mejanya, dan seketika itu juga, dia menoleh ke arahku. "Eli, ada yang mau aku kasih buat kamu," katanya dengan suara rendah, seakan hanya aku yang mendengarnya.

Aku mengangkat alis, penasaran. "Apa itu?" tanyaku.

Rio berjalan mendekat, membawa sesuatu di tangannya. Sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan yang terlihat agak terburu-buru. Dia menyodorkannya kepadaku, lalu duduk kembali di tempatnya.

Aku menerima kertas itu dengan bingung, membuka lipatannya perlahan. Ternyata itu bukan kertas biasa, melainkan sebuah undangan kecil. Tulisan di atasnya berbunyi:

Lihat selengkapnya