Kehidupan di sekolah tetap berjalan seperti biasa. Tugas-tugas yang menumpuk, jam pelajaran yang kadang terasa membosankan, dan interaksi dengan teman-teman sekelas yang kadang membuatku tertawa dan kadang membuatku ingin melarikan diri. Tapi satu hal yang tak pernah berubah adalah keberadaan Rio di sebelahku. Setiap hari, setiap Selasa, kami saling berbagi cerita, senyuman, dan kadang keheningan yang nyaman.
Namun, meskipun begitu, aku merasa ada sesuatu yang sedikit mengganggu pikiranku. Mungkin itu Maya, dengan kata-katanya yang seolah menyisipkan sedikit keraguan dalam hatiku. Apa yang sebenarnya dia maksud dengan komentar tentang Rio? Apakah aku terlalu serius untuk seseorang yang tidak terlalu memikirkannya dengan cara yang sama?
Aku berusaha menepis pikiran itu, tapi kenyataannya, setiap kali aku melihat Rio, aku merasa perasaan itu semakin kuat. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa senang ketika bersamanya, tapi ada ketakutan yang mengendap di dalam hatiku—takut jika semua ini berakhir begitu saja.
Hari Selasa ini, Rio datang lebih awal dari biasanya. Aku sudah duduk di bangku dekat jendela, menatap langit yang mulai memudar menjadi biru keemasan saat matahari mulai terbenam.
"Pagi, El!" Rio menyapaku dengan semangat, duduk di bangku sebelahku. Ada senyum lebar di wajahnya, dan untuk sesaat, aku merasa semua keraguan yang muncul beberapa hari terakhir itu menguap begitu saja.
"Pagi, Rio," jawabku sambil memalingkan pandangan ke langit. Aku merasa sedikit canggung. Mungkin karena kata-kata Maya masih terngiang di kepalaku.
Tiba-tiba, Rio menoleh dan mengamatiku dengan penuh perhatian. "Ada apa? Kamu kelihatan agak... serius, El."
Aku terkesiap. Aku tak tahu harus menjawab apa. "Enggak apa-apa. Cuma... lagi mikirin beberapa hal aja."
"Kayak apa?" Rio bertanya lagi, nada suaranya lebih lembut.
Aku ragu sejenak. Tak ingin terlalu terbuka, aku memilih untuk menjawab seadanya. "Ya... soal sekolah, tugas-tugas, gitu deh. Bukan apa-apa kok."
Rio mengangguk, tampak tidak terlalu puas dengan jawabanku, tapi dia tak memaksa. "Kalau gitu, kita jalan-jalan sore ini, yuk. Bisa bantu kamu lupakan semua itu."
Aku menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar ingin mengatakan tidak. Bukan karena aku tidak ingin menghabiskan waktu bersamanya, tetapi karena aku tahu, perasaan itu mulai muncul kembali—perasaan yang mungkin tak bisa aku kendalikan lagi.
Aku tersenyum kecil. "Iya, boleh juga. Tapi, besok ada ujian, Rio. Jadi, mungkin nanti aja setelah semua selesai."
Rio mengangguk, tetapi aku bisa melihat bahwa dia sedikit kecewa. Aku bisa merasakan ada sedikit ketegangan di antara kami, meski itu hanya sesaat. Mungkin aku terlalu terbawa perasaan, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang perlahan-lahan mulai berubah.
Saat bel berbunyi, kami kembali ke kelas, namun sepanjang pelajaran, pikiranku tetap melayang. Seringkali aku mencuri pandang ke arah Rio, yang duduk di bangku depan, tersenyum saat berbicara dengan teman-teman sekelas. Meskipun kami dekat, ada jarak yang tak pernah bisa kujelaskan. Mungkin itu adalah perasaan yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Tapi, apakah Rio merasakannya juga?
Pelajaran berakhir, dan aku segera mengumpulkan barang-barangku untuk pulang. Saat keluar dari kelas, Rio menghampiriku.
"Eh, El, tunggu," katanya dengan suara yang terdengar agak terburu-buru. "Mau jalan-jalan sebentar nggak? Aku tahu tempat yang keren buat nongkrong. Kalau kamu mau."
Aku berhenti sejenak dan menatapnya. Senyumannya tidak berubah, tapi matanya... matanya terlihat sedikit ragu, seolah menunggu jawabanku. Aku merasa ada ketegangan yang terpendam, dan mungkin aku bisa merasakannya lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku... nggak tahu, Rio. Aku lagi capek, kayaknya butuh waktu sendiri dulu," jawabku pelan, berharap tak ada yang tersinggung.
Rio terdiam, dan wajahnya sedikit mengeras. Tapi kemudian, dia tersenyum lagi. Senyuman yang kali ini lebih tipis. "Oke, nggak masalah. Nanti aja, ya?"
Aku mengangguk, dan dia pergi meninggalkan aku di depan gerbang sekolah. Aku tetap berdiri di situ, menatapnya pergi dengan hati yang tidak tenang.
Hari-hari berlalu tanpa ada yang benar-benar menonjol. Sekolah, tugas, dan kehidupan sehari-hari kembali mengisi ruang pikiranku. Namun, ada satu hal yang tetap mengganggu, meskipun aku berusaha untuk mengabaikannya—perasaan yang tumbuh perlahan, meski aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Rio. Setiap kali dia ada di dekatku, hatiku berdegup kencang, dan aku merasa dunia sekitar kami memudar, seperti hanya ada kami berdua. Namun, saat kami berjauhan, aku merasa seperti ada ruang kosong di antara kami yang sulit untuk dijelaskan.
Hari ini, aku dan Rio kembali duduk berdampingan seperti biasa. Walaupun perasaan itu tak pernah benar-benar hilang, aku mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Kami saling berbicara tentang tugas-tugas yang akan datang, tentang kegiatan sekolah yang akan digelar akhir pekan nanti, dan hal-hal kecil lainnya. Tapi, di balik semua itu, aku merasakan ada sedikit ketegangan yang tak biasa.
Maya, teman dekatku, beberapa kali memberi isyarat bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih antara aku dan Rio. Bahkan, dia menyarankan agar aku lebih jujur pada diriku sendiri, jangan sampai terjebak dalam kebingungan yang terus berlanjut. Tapi aku merasa ragu. Apa aku benar-benar siap untuk lebih dari sekadar teman dengan Rio? Atau ini hanya fase sementara yang akan berlalu begitu saja?
"Rio, kemarin kamu bilang mau ngajakin aku jalan-jalan. Ada waktu gak?" tanyaku dengan suara yang sedikit canggung, mencoba mengalihkan pikiranku.
Rio menoleh ke arahku dengan ekspresi terkejut, seolah tidak menyangka aku akan mengajukan pertanyaan itu. "Eh, kamu serius? Beneran? Ya, tentu! Aku punya waktu kok, kapan aja, El."
Aku tersenyum tipis, merasakan sedikit lega. Mungkin ini cara yang baik untuk keluar dari kebingunganku. Menghabiskan waktu dengan Rio tanpa memikirkan terlalu banyak hal yang tak pasti. "Mungkin setelah sekolah, ya. Kita bisa makan atau nongkrong sebentar."
"Deal!" Rio berkata dengan penuh semangat, senyumannya lebar, dan aku merasa sedikit tenang. Mungkin semua ini bisa menjadi cara untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya aku rasakan.
Setelah jam terakhir sekolah berakhir, kami berdua keluar dari gerbang dan menuju ke tempat yang sudah Rio pilih. Ternyata, itu adalah sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan, tempat yang sederhana namun terasa nyaman. Kami duduk di meja dekat jendela, menikmati suasana yang tenang sambil berbicara tentang hal-hal yang mungkin tidak pernah kami bicarakan sebelumnya—tentang masa kecil, tentang keluarga, dan tentang apa yang kami harapkan di masa depan.
"Jadi, gimana kehidupan kamu di sekolah? Ada yang menarik?" tanya Rio, sedikit serius.