Esoknya, aku merasa tidak sabar. Hari itu terasa lebih ringan dari biasanya, meskipun aku tahu ada sesuatu yang menunggu. Rio dan aku sudah sepakat untuk bertemu lagi di taman, tempat yang pernah menyaksikan obrolan panjang malam itu. Aku merasa aneh—gembira, cemas, dan sedikit ragu. Kenapa rasanya pertemuan kali ini begitu penting? Bukankah kami hanya akan berbicara seperti biasa?
Namun, aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin berkembang ini. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan teman biasa. Semua itu terjalin dalam setiap kata yang keluar dari mulut kami, dalam setiap senyum yang dipertukarkan.
Setelah sekolah berakhir, aku keluar dari kelas dan berjalan menuju taman yang sudah kami tentukan. Langkahku terasa lebih cepat, dan pikiranku mulai melayang ke berbagai kemungkinan tentang apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak tahu pasti apa yang Rio ingin bicarakan, tapi aku merasa, entah kenapa, aku sudah siap mendengarnya.
Saat aku tiba di taman, Rio sudah menunggu di bangku yang sama. Dia tersenyum begitu aku mendekat, dan rasanya hatiku berdebar. Tidak ada yang perlu dikatakan, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa lebih dekat daripada sebelumnya.
"Lama nggak ketemu, ya?" katanya, dengan nada santai, namun ada semacam ketegangan di suaranya yang tak bisa aku hindari.
"Iya, lama..." jawabku, sambil duduk di sampingnya. Aku merasakan perasaan canggung di antara kami, tapi aku tahu itu hanya sementara.
Kami berdua duduk diam, hanya menikmati suasana sejenak, sampai Rio akhirnya membuka percakapan.
"Elina," Rio memulai, suaranya serius, "aku nggak tahu kalau kamu akan jadi bagian penting dalam hari-hariku."
Aku menoleh padanya, sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Tapi ada sesuatu dalam matanya yang membuatku merasa lebih tenang. Senyum tipis terulas di bibirku. "Apa maksudnya, Rio?"
"Aku merasa, aku nggak bisa lagi mengabaikan perasaan ini," katanya lagi, lebih pelan, "Kamu tahu, kita udah lama ngobrol, jadi... aku rasa aku mulai suka sama kamu, El."
Aku terdiam. Rasanya ada waktu yang berhenti sejenak. Jantungku berdebar keras, dan aku bahkan hampir tidak bisa mendengar suara apapun selain detak jantungku sendiri. Apakah Rio baru saja mengatakannya? Apakah dia benar-benar merasa seperti itu?
Aku menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. Dia hanya menunggu jawabanku, dengan mata yang sedikit cemas, tetapi juga penuh harapan.
Aku merasa seperti terperangkap dalam momen itu—momen yang penuh dengan perasaan yang belum terucapkan. Aku tahu ada ketertarikan antara kami, namun aku belum siap untuk mengungkapkan semuanya. Aku merasa takut—takut akan perasaan yang akan muncul setelah ini, takut jika kami akan merusak hubungan yang sudah terjalin.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku... juga mulai merasakannya, Rio," jawabku akhirnya, suaraku hampir tidak terdengar. "Tapi aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan dengan perasaan ini."
Rio mengangguk pelan, dan kami berdua kembali terdiam, menikmati suasana di sekitar kami. Taman ini, yang sebelumnya hanya tempat untuk sekadar duduk dan berbincang ringan, kini terasa lebih hidup—lebih penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.
Kami duduk bersama tanpa kata-kata untuk beberapa saat. Tidak ada keharusan untuk menjelaskan apapun, karena sepertinya kami sudah saling memahami. Tapi di dalam hati, aku tahu, ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak akan bisa dihindari, meskipun aku masih belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah beberapa menit, Rio akhirnya memecah keheningan lagi. "Aku nggak mau terburu-buru, El. Aku hanya ingin kita terus jalanin ini, dengan santai. Tanpa tekanan."
Aku tersenyum, merasa lega. "Iya, aku juga nggak ingin terburu-buru. Tapi... mungkin kita bisa coba lebih sering bertemu?"
Rio tersenyum lebar, dan rasanya semua ketegangan yang ada langsung hilang. "Itu terdengar bagus. Kita lihat saja nanti, ya?"
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Mungkin memang begini cara terbaik untuk memulai—dengan langkah perlahan, tanpa terburu-buru.
Hari itu, kami menghabiskan waktu lebih lama di taman, berbicara tentang banyak hal, namun tak ada yang lebih penting dari pembicaraan kecil kami ini. Aku tahu, meskipun kami belum mengatakannya secara jelas, hubungan kami sudah berada di titik yang tak bisa dihindari. Semua terasa baru, namun juga penuh kenyamanan.
Hari Selasa berikutnya tiba tanpa peringatan. Semua terasa begitu biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Rio dan aku tak lagi hanya teman biasa yang duduk bersama tanpa beban. Kami sudah mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, dan itu membawa kami ke dalam ruang yang tak lagi bisa dihindari.
Namun, entah kenapa, setelah pembicaraan di taman kemarin, aku merasa ada ketegangan di antara kami. Bukan karena Rio berubah, tapi karena aku sendiri yang masih belum tahu apa yang harus aku rasakan. Aku takut jika perasaan ini terlalu cepat berkembang—terlalu banyak yang belum siap untuk kami hadapi.
Selama pelajaran berlangsung, pikiranku melayang jauh. Aku seringkali mengalihkan pandangan ke Rio yang duduk di sebelahku, mencoba menangkap ekspresi wajahnya, namun dia tampak seolah menyibukkan diri dengan buku-buku yang tergeletak di mejanya. Tidak ada percakapan ringan seperti biasanya, tidak ada tawa yang mengisi ruangan. Semuanya terasa sedikit canggung, meskipun kami berdua tahu bahwa kami sudah mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas keluar dari kelas, berharap bisa menghindari kebisuan yang memaksaku merasa tertekan. Namun, seperti yang sudah bisa diprediksi, Rio mengejarku. Dia muncul di sampingku dengan senyum khasnya yang membuat jantungku berdebar. Meski begitu, aku bisa melihat raut wajahnya yang agak berbeda, seperti ada sesuatu yang mengganjal.
"Ada apa, El?" Rio bertanya sambil berjalan bersamaku, matanya mencari-cari perhatianku.