Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #9

9

Sejak kemunculan Alya, ada sesuatu yang berubah. Tidak besar, tidak gamblang, tapi cukup terasa jika kau memperhatikannya dalam keheningan. Rio masih mengajakku duduk di taman seperti biasa. Tapi kini, ada jeda-jeda dalam percakapan kami—hampa yang tidak bisa kuisi.

"Alya tadi nelpon," kata Rio tiba-tiba sore itu, sambil menyeruput minuman kalengnya. "Dia ngajakin ngumpul bareng temen-temen SMP minggu depan."

Aku mengangguk pelan. "Kamu bakal ikut?"

"Mungkin," jawabnya singkat.

Aku menunduk, memainkan ujung roti tawar yang belum kumakan. "Kamu masih... ada rasa?"

Pertanyaanku membuat Rio terdiam. Lama. Dan aku tahu, apapun jawabannya akan tetap menyisakan luka. Bahkan jika itu kebohongan.

"Alya adalah bagian dari masa lalu, El," katanya akhirnya. "Aku menghargai masa-masa itu. Tapi bukan berarti aku masih terjebak di sana."

"Jawaban yang bagus," aku mencoba tersenyum. "Tapi bukan itu yang kutanyakan."

Rio menatapku, dalam, seolah mencari keberanian dalam mataku. "Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, aku bisa nggak dateng."

Aku menggeleng. "Aku bukan siapa-siapamu, Rio. Kamu bebas memutuskan sendiri."

Dia mendesah. "Kamu bukan siapa-siapa? El, kamu tahu betapa pentingnya kamu buat aku sekarang?"

Hatiku berdesir, tapi mulutku tetap bisu. Aku takut kalimat itu hanya datang karena rasa bersalah. Bukan karena cinta.

Rio memutar badannya, menatapku langsung. "Aku tahu sejak Alya datang, kamu berubah. Kamu jadi banyak diam, menghindar, dan nggak kayak biasanya. Tapi aku pengen kamu tahu—aku di sini, El. Dan aku milih kamu. Bukan Alya, bukan masa lalu. Tapi kamu."

Kata-katanya menampar sisi hatiku yang penuh prasangka.

"Aku cuma takut," aku mengaku lirih. "Takut kamu berubah pikiran. Takut ternyata aku cuma pelarian."

"Kalau kamu pelarian, aku nggak akan bertahan di taman ini, setiap Selasa, hanya buat dengerin kamu cerita soal langit, awan, dan suara jangkrik," katanya sambil tertawa kecil.

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku merasa hangat lagi.

Malam itu, di rumah, aku membuka catatan harian yang sudah lama tak kugunakan. Dan aku menulis:

Selasa ini, langit masih biru. Tapi hatiku lebih terang. Mungkin, rasa takut itu memang ada. Tapi kalau berani saling bicara, pelan-pelan semuanya bisa reda.

Hari Selasa berikutnya datang dengan langit berawan, tapi aku merasa jauh lebih ringan dari biasanya. Tak ada lagi beban tak kasatmata yang menggantung di antara aku dan Rio. Kami masih duduk di bangku taman itu, masih menikmati semilir angin, tapi hari ini, segalanya terasa lebih... utuh.

"Aku jadi inget," kata Rio sambil membuka kotak kecil dari dalam tasnya. "Dulu waktu kecil, aku pernah janji sama diriku sendiri, kalau suatu hari aku suka sama seseorang, aku pengen ngasih dia sesuatu yang nggak biasa."

Aku menoleh, penasaran. "Apa itu?"

Dia membuka kotaknya. Di dalamnya, ada gantungan kunci sederhana berbentuk bintang kecil berwarna biru tua.

"Ini... bukan apa-apa sih, cuma iseng waktu aku ikut workshop kerajinan tangan di tempat tanteku. Tapi aku langsung inget kamu pas ngebentuk ini," ucapnya sambil menyodorkannya ke arahku. "Karena kamu suka bintang. Dan hari Selasa, katanya, kamu suka karena langitnya paling cerah."

Lihat selengkapnya