Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #10

10

Hari Selasa datang dengan awan menggantung berat. Bukan hujan, tapi juga bukan cerah. Seperti hatiku pagi itu—tidak sepenuhnya muram, tapi juga jauh dari hangat.

Rio sudah duduk lebih dulu di bangku kami saat aku masuk kelas. Ia langsung menoleh dan tersenyum, seperti biasa.

"Langitnya nggak cerah, tapi kamu tetap datang," katanya.

Aku hanya meletakkan tas dan duduk pelan. "Karena langit bukan satu-satunya alasan aku datang ke sekolah."

Dia tertawa kecil. "Jadi, aku alasannya?"

Aku tidak menjawab. Tapi tatapan kami bertemu. Lama. Hening. Namun hening yang tidak dingin. Hening yang penuh tanya.

Jam pelajaran berlalu seperti biasa. Tapi hari ini, sesuatu terasa berbeda. Saat istirahat, Rio pergi keluar kelas. Biasanya dia mengajak aku dulu. Tapi kali ini, dia hanya bilang, "Aku ke kantin, ya." Tanpa tawaran.

Aku menunggu lima, sepuluh, dua puluh menit. Dia tak kembali.

Akhirnya, karena penasaran, aku menyusul ke kantin. Dan di sanalah aku melihatnya.

Rio duduk di meja pojok. Bersama Livia.

Mereka terlihat dekat. Tertawa. Livia bahkan menepuk bahu Rio sambil mencondongkan badan saat berbicara.

Sakitnya aneh. Bukan karena aku punya hak atas Rio. Tapi karena aku merasa seperti ditinggalkan dari sesuatu yang dulu hanya milik kami berdua.

Rio menoleh. Mata kami bertemu.

Wajahnya berubah seketika, seolah tertangkap basah. Ia berdiri buru-buru dan meninggalkan Livia, menghampiriku.

"Elina—"

"Enggak apa-apa," potongku cepat. "Aku cuma mau beli air mineral."

"Elina, aku bisa jelasin..."

"Aku enggak tanya apa-apa, Rio."

Aku melangkah pergi, dan untuk pertama kalinya, aku berharap hari Selasa cepat berakhir.

Hari Selasa itu tetap berjalan, meski rasanya berat. Sepulang sekolah, aku tidak menunggu Rio seperti biasanya. Aku langsung pulang, memasang earphone, dan menatap langit dari jendela kamarku.

Awan masih menggantung.

Aku memutar ulang lagu yang biasa kami dengar bersama di taman belakang sekolah. Tapi kali ini, suaranya hanya milik satu telinga. Tidak lagi dibagi. Tidak ada Rio.

Ponselku bergetar. Satu pesan masuk.

RioBoleh ketemu bentar? Di taman belakang. Aku nungguin.

Aku menatap pesan itu lama. Jari-jariku mengetik balasan, lalu menghapusnya lagi. Pada akhirnya, aku hanya mengambil jaket dan berjalan ke taman belakang.

Dia sudah di sana. Duduk di bangku panjang, seperti biasa. Tapi tidak seperti biasanya, ia tampak canggung.

"Elina," panggilnya begitu melihatku.

Aku tidak menjawab. Hanya duduk di ujung bangku. Menatap tanah.

Lihat selengkapnya