Hari-hari setelah percakapan di taman terasa berbeda. Tidak ada lagi canda ringan atau lelucon receh dari Rio di pagi hari. Ia tetap menyapaku, tapi tidak lagi duduk lama. Ia lebih sering bersama teman-temannya—terutama Livia.
Aku memperhatikan dari bangku belakang saat mereka tertawa bersama di kantin. Livia menyuapi Rio sepotong nugget sambil tertawa lebar. Rio tampak kaget, tapi tidak menolak.
"Aku kira dia udah tahu arah hatinya," gumamku, pelan.
"Arah hati siapa?" tanya Nia yang tiba-tiba duduk di sampingku.
"Enggak, cuma ngomong sendiri," kataku buru-buru.
Nia memandangku lekat-lekat. "Kalau kamu gak ngomong, kamu bisa kehilangan segalanya, Lin. Rio itu... kelihatan bingung. Tapi kamu juga nggak jelas. Kalian tuh mirip."
Aku menghela napas. "Dia bilang belum siap bicara sekarang. Tapi ternyata malah sibuk bareng Livia tiap hari."
Nia mengangkat bahu. "Livia cewek baik. Tapi dia tahu kamu dan Rio dekat. Mungkin... dia juga ngetes."
"Ngetes?"
"Rio. Livia itu pinter main feeling. Kalau dia tahu Rio masih ngejaga jarak dengan kamu, dia nggak akan ganggu. Tapi sekarang? Kamu tahu sendiri."
Hari itu aku tidak ke taman. Aku ke perpustakaan. Duduk sendiri di pojok yang jarang dikunjungi siapa pun. Menulis nama Rio di pojok kertas, lalu mencoretnya.
Mungkin aku terlalu banyak berharap.
Atau mungkin... aku terlalu takut mengatakan yang seharusnya.
Aku tidak tahu bagaimana harus menyikapi Livia. Dia memang ramah dan selalu bisa membuat suasana lebih ringan. Tapi, ada perasaan aneh yang tumbuh di dadaku setiap kali melihatnya berinteraksi dengan Rio. Ada kecemburuan yang tak bisa aku jelaskan.
Hari itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan Rio setelah pelajaran terakhir. Dia tidak duduk di sebelahku lagi seperti biasa, tapi masih di dekatku. Mungkin itu yang membuatku lebih merasa ada jarak.
Aku menunggu di luar kelas, agak gelisah. Tanganku terasa kaku, tapi akhirnya Rio keluar dari kelasnya.
"Lin," panggilnya dengan senyum tipis.
Aku mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Rio, bisa bicara sebentar?"
Dia menatapku, sedikit bingung. "Tentu, ada apa?"
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan detak jantungku yang tiba-tiba semakin cepat. "Tentang kamu dan Livia..."
Dia terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. "Livia? Maksud kamu?"
"Kamu tahu kan, aku merasa... sedikit cemburu akhir-akhir ini. Livia sering dekat denganmu, dan aku bingung apakah kamu... udah memutuskan sesuatu?"
Rio terdiam lagi, kali ini lebih lama. Dia menatapku dengan mata yang dalam, seolah mencari jawaban dalam pikirannya sendiri.