Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #12

12

Pagi setelah percakapan berat itu, aku merasa aneh. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, seakan bagian dari diriku yang biasa berada di tempatnya, kini tak lagi ada. Namun, aku tahu bahwa ini adalah hal yang perlu aku hadapi.

Selasa berikutnya datang tanpa banyak perubahan. Rio masih ada di sana, duduk di tempat yang sama, tapi ada jarak yang lebih terasa antara kami. Kami saling berbicara, tapi dengan keheningan yang kadang sulit dipahami. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa lebih berhati-hati, seolah aku tak ingin mengatakan sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Aku tahu, ini bukan akhir dari pertemanan kami. Tapi entah kenapa, aku merasa terjebak dalam perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Aku tidak bisa terlalu dekat, tapi juga tidak bisa menjauh sepenuhnya.

Hari itu, Livia datang mendekat saat aku sedang duduk sendirian di kantin. Dia duduk di sebelahku tanpa basa-basi, dan aku merasa sedikit cemas. Aku tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan, tapi aku tahu pasti itu bukan sesuatu yang ringan.

"Elina," katanya dengan nada lebih serius dari biasanya. "Aku tahu kamu sedang bingung, dan aku cuma ingin bilang kalau aku nggak pernah berniat menghalangi apapun yang terjadi antara kamu dan Rio."

Aku menatapnya dengan ragu. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Liv. Semuanya terasa... membingungkan."

Livia tersenyum, tapi ada kesedihan di matanya. "Aku paham. Tapi kadang-kadang, kita harus memberi ruang untuk perasaan itu sendiri. Kamu nggak harus mencari jawabannya segera. Waktu akan memberimu jawaban yang lebih baik dari apapun."

Aku hanya mengangguk, mencoba menerima kata-katanya. Livia selalu tahu bagaimana memberi perspektif yang berbeda. Mungkin dia benar. Mungkin aku memang harus memberi waktu lebih banyak.

Minggu berlalu, dan meskipun kami masih bertemu di sekolah, perasaan itu tetap ada—perasaan tidak pasti, yang perlahan mulai menjadi bagian dari keseharian kami. Aku dan Rio tidak lagi banyak berbicara seperti dulu. Sesekali, kami bertukar senyum, dan aku merasa ada sesuatu yang hangat di antara kami, meskipun tidak ada kata-kata yang terucap.

Pada suatu sore, ketika kami sedang berjalan pulang bersama, Rio tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Elina," katanya dengan suara rendah, "Aku ingin kita mulai dari awal. Aku nggak ingin ada rasa canggung antara kita."

Aku menoleh kepadanya, melihat ekspresi yang tulus di wajahnya. "Apa maksudmu?"

"Aku nggak ingin kamu merasa sendirian dalam perasaan ini. Aku tahu kamu butuh waktu, dan aku akan memberimu waktu. Tapi aku nggak mau kita saling menjauh hanya karena kebingunganku."

Aku terdiam sejenak. Kalimat Rio kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi keraguan atau kebimbangan yang membayangi kata-katanya. Dia benar-benar ingin mencoba.

"Rio, aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku ingin kita berjalan bersama, tanpa paksaan."

Dia tersenyum tipis. "Aku setuju."

Kami melanjutkan langkah kami, dan meskipun ada banyak ketidakpastian yang tersisa, untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari sesuatu yang baru.

Pagi itu terasa sedikit berbeda. Mungkin karena setelah percakapan dengan Rio semalam, aku merasa sedikit lebih lega, seolah ada beban yang terangkat dari pundakku. Meskipun kebingunganku belum sepenuhnya hilang, aku tahu bahwa kami sudah mulai melangkah dalam arah yang lebih jelas—bahkan jika itu hanya sedikit.

Aku duduk di bangkuku, menatap jendela kelas dengan mata yang tak terlalu fokus. Dulu, langit adalah tempatku mencari ketenangan. Namun, sekarang, aku malah merasa langit menjadi penuh dengan kemungkinan yang belum kutahu. Apakah itu pertanda baik atau buruk?

Rio datang ke kelas seperti biasa, membawa semangatnya yang khas. Wajahnya yang cerah dan senyum lebarnya terasa lebih menyegarkan dari biasanya. Dia duduk di sebelahku, namun kali ini, ada yang berbeda. Ada keheningan yang menyelimuti, tetapi tidak terasa canggung. Justru, ada rasa nyaman yang membuatku merasa bahwa segala ketidakpastian yang pernah ada, kini mulai bisa dihadapi.

"Pagi," kata Rio, melemparkan senyum tipis ke arahku.

"Pagi," jawabku, mencoba tersenyum balik, meskipun hatiku masih terombang-ambing.

Lihat selengkapnya