Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #13

13

Hari-hari setelah percakapan di kelas terasa sedikit lebih berat. Bukan karena ada konflik besar, tapi lebih karena adanya sesuatu yang belum sepenuhnya selesai. Perasaan itu... ada, namun masih samar-samar. Aku tidak tahu bagaimana menafsirkannya, apalagi setelah Rio mengungkapkan perasaannya, yang terasa begitu jujur.

Aku kembali ke rutinitasku, mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Tapi sulit. Terutama ketika Rio duduk di sebelahku, atau ketika dia memandangku dengan senyuman itu. Semua terasa lebih rumit dari sebelumnya.

Hari Selasa ini, aku tiba lebih lambat dari biasanya. Ketika aku melangkah masuk ke kelas, Rio sudah duduk di bangku, tampak sedang berbicara dengan teman-teman lainnya. Matanya segera mencari-cari aku di antara kerumunan, dan begitu melihatku, senyumnya kembali mekar. Tapi ada sesuatu di balik senyumnya yang terasa berbeda. Aku merasa dia juga merasakan keanehan ini.

Saat aku melangkah ke meja, dia memberikan tempat duduk sebelahnya untukku, seperti biasa. Aku duduk, tapi ada jarak kecil di antara kami yang tidak bisa aku jelaskan.

"Selamat pagi, Elina," katanya dengan senyum yang sedikit lebih lembut dari biasanya.

"Pagi, Rio," jawabku dengan suara pelan.

Aku tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan. Apa yang harus aku katakan? Bagaimana jika aku salah? Apa aku siap untuk menghadapinya?

Kami terdiam beberapa saat. Kedua tangan Rio berada di meja, dan aku bisa melihat betapa dia tampak menahan sesuatu. Ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Begitu juga aku. Rasanya kami berdua sedang berjalan di tepi jurang yang tak terlihat, ragu untuk melangkah lebih jauh.

Akhirnya, Rio memecah keheningan. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Elina, tapi aku... aku cuma ingin bilang, aku nggak mau ada jarak di antara kita."

Aku menoleh padanya, mencoba membaca ekspresinya yang sulit terbaca. "Jarang? Maksudmu?"

Rio menarik napas dalam-dalam, matanya berkilat, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tapi dia ragu. "Ya... aku merasa ada sesuatu yang tidak bisa kita abaikan, Elina. Aku merasa kita lebih dari sekadar teman. Tapi kalau kamu merasa nggak siap, aku ngerti kok. Aku nggak mau memaksakanmu."

Aku terdiam. Semua kata-kata itu terasa begitu berat, seperti sebuah kenyataan yang harus aku terima, meskipun aku belum yakin apakah aku siap untuk itu. Aku menatap Rio, mencoba menenangkan perasaanku yang semakin kacau.

"Aku... aku juga merasa ada sesuatu, Rio. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana." Aku berkata pelan, suara hampir tak terdengar. "Terkadang, aku takut kalau aku salah langkah."

Rio mengangguk, senyumnya kali ini lebih tulus, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Aku juga sama, Elina. Tapi yang bisa kita lakukan cuma jalanin aja, pelan-pelan."

Aku hanya mengangguk, meskipun ada perasaan ragu yang terus menggelayuti hatiku. Terkadang, perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa ditentukan dengan cepat. Kita butuh waktu untuk memahaminya, untuk belajar tentang diri kita sendiri, dan tentang orang lain.

Hari itu, kami kembali menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang hal-hal kecil, seperti biasa. Tapi entah kenapa, ada rasa berbeda yang mengambang di udara. Aku masih merasa bingung, tetapi ada sesuatu dalam diriku yang berkata, mungkin ini adalah langkah pertama yang harus diambil, meskipun aku belum sepenuhnya siap.

Hari Selasa kembali datang, namun kali ini terasa berbeda. Aku merasa seperti terjebak dalam perasaan yang belum sepenuhnya bisa kubuka. Perasaan yang menggelora namun juga penuh ketakutan. Aku duduk di kelas dengan pikiran yang berkecamuk, mencoba menenangkan diri dan berfokus pada pelajaran.

Rio, yang biasanya penuh semangat dan suka mengajak ngobrol, kini duduk di bangku sebelahku dengan sikap yang lebih tenang. Seperti ada jarak yang tak terlihat di antara kami, meskipun secara fisik kami duduk berdekatan. Aku bisa merasakannya, dan aku yakin dia juga merasakannya.

Selama pelajaran berlangsung, aku hanya bisa mencuri pandang ke arahnya. Rio terlihat sedikit cemas, seperti menunggu sesuatu. Mungkin dia menunggu aku untuk membuat keputusan. Keputusan yang sebenarnya sudah ada dalam pikiranku, tapi aku takut untuk mengatakannya.

Ketika bel berbunyi dan pelajaran selesai, aku segera membereskan buku-bukuku, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum aku bisa melangkah keluar, Rio menghampiriku dengan langkah pelan.

"Boleh kita bicara sebentar?" tanya Rio dengan suara pelan, seolah khawatir jika aku menolak.

Aku mengangguk tanpa berkata-kata, kemudian mengikuti langkahnya keluar dari kelas menuju taman belakang. Kami berjalan dalam diam, hanya suara langkah kami yang terdengar. Sesampainya di bangku taman yang sering kami duduki bersama, Rio akhirnya membuka mulut.

"Elina, aku nggak bisa terus begini. Aku merasa kita perlu ngomong jelas tentang apa yang terjadi di antara kita," kata Rio, matanya menatapku dengan serius.

Aku terdiam sejenak. Kata-kata itu begitu berat. "Rio, aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku juga merasa ada sesuatu, tapi aku nggak tahu harus bagaimana."

"Gimana kalau kita coba, Elina?" Rio bertanya, nada suaranya penuh harap. "Aku tahu kita bisa pelan-pelan jalani semuanya. Aku nggak mau kita terus merasa bingung kayak gini."

Aku menghela napas panjang. Rasanya seperti ada banyak hal yang harus kupikirkan, banyak ketakutan yang membelenggu hatiku. Aku ingin mengatakan iya, tapi perasaan takut itu masih ada, menghalangiku untuk benar-benar melangkah.

Lihat selengkapnya