Setelah percakapan yang menenangkan di hari Selasa kemarin, aku merasa sedikit lebih baik. Namun, perasaan cemburu itu masih ada, meskipun aku berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu banyak. Aku tahu bahwa aku harus lebih percaya pada Rio, terutama setelah semua yang dia katakan.
Hari itu, kami kembali duduk di taman sekolah setelah pelajaran selesai. Meskipun aku mencoba untuk fokus pada percakapan kami, mataku secara otomatis melirik ke arah Asha yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Aku merasa ada rasa canggung yang datang kembali, namun aku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan itu pada Rio.
"Elina, kamu kelihatan melamun," kata Rio sambil tersenyum. "Apa kamu masih memikirkan tadi pagi?"
Aku terkejut, mataku menatapnya, dan aku cepat-cepat mengalihkan pandangan. "Oh, tidak kok. Aku hanya sedikit lelah," jawabku cepat. "Mungkin memang butuh waktu untuk menyesuaikan diri, ya?"
Rio mengangguk, dan aku bisa melihat bahwa dia lebih memahami perasaan yang aku alami sekarang. "Kamu nggak perlu khawatir," katanya, "Aku akan selalu ada di sini, Elina. Jadi, jangan ragu untuk bicara jika ada yang mengganjal."
Aku tersenyum, merasa hangat di dalam hati mendengar kata-kata itu. Tapi saat aku melihat Asha tertawa bersama teman-temannya, aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh lagi. Entah kenapa, melihat Rio begitu dekat dengan Asha membuat hatiku sedikit cemas. Aku tahu aku harus mengatasi ini, tapi bagaimana caranya?
Kemudian, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku memutuskan untuk meluangkan waktu sendiri. Setelah sekolah, aku berjalan pulang sendirian, menikmati angin sore yang sejuk. Aku berusaha untuk merenung dan menenangkan pikiran. Tidak ada yang salah dengan perasaan cemburu, aku tahu itu. Tapi jika terus-menerus membiarkan perasaan itu menguasai aku, aku hanya akan merusak hubungan ini.
Sesampainya di rumah, aku duduk di depan meja belajarku, menatap langit dari jendela kamar. Aku sudah terbiasa melihat langit di sore hari—warna merah jingga yang lembut, perlahan mengubah diri menjadi biru malam. Langit yang selalu mengingatkanku pada banyak hal, terutama tentang kebebasan dan kedamaian.
Aku teringat pada Rio, pada setiap momen kecil yang kami bagikan bersama. Aku merasa ada sesuatu yang sangat kuat di antara kami, sesuatu yang membuatku nyaman dan merasa diterima. Tetapi, aku juga tahu bahwa hubungan itu harus terus tumbuh dan berkembang, tidak hanya sekadar berfokus pada kecemasan dan ketakutan yang mungkin ada.
Keputusan untuk melanjutkan hubungan ini dengan Rio adalah keputusan yang aku ambil dengan penuh kesadaran. Aku tahu, kami berdua masih banyak belajar, masih banyak yang harus dipahami, tetapi satu hal yang pasti—aku ingin bersama dia.
Keesokan harinya di sekolah, aku mencoba untuk lebih santai. Rio terlihat sibuk berbicara dengan Asha lagi, dan meskipun ada sedikit rasa cemburu, aku berusaha untuk tidak terlalu memperhatikannya. Tentu, dia teman, dan aku juga harus belajar untuk memberi ruang.
Namun, saat bel istirahat berbunyi, Rio datang menghampiriku di bangku taman seperti biasa. Wajahnya terlihat sedikit cemas, seperti ada yang ingin dia katakan.
"Elina," kata Rio pelan, "Aku ingin kamu tahu kalau aku nggak ingin membuat kamu merasa tidak nyaman. Kalau kamu butuh waktu atau bicara, aku ada di sini."
Aku menatapnya, merasa sedikit terkejut dengan kejujurannya. "Terima kasih, Rio," jawabku lembut. "Aku... aku belajar untuk lebih percaya. Itu saja."
Dia tersenyum, senyum yang kali ini lebih lembut dari biasanya, dan mengangguk. "Aku tahu. Dan aku akan berusaha lebih baik lagi."
Momen itu cukup menguatkan hati aku. Aku tahu Rio memang tulus, dan meskipun aku masih merasa ada sedikit kecemburuan, aku belajar untuk lebih percaya dan memberi ruang.
Hari itu, kami berdua kembali berbicara dengan santai, tanpa ada ketegangan. Ada kebersamaan yang terjalin lebih dalam, perlahan, namun pasti. Tidak ada lagi keraguan yang menghalangi. Aku tahu, hubungan ini akan terus berkembang—perlahan-lahan, namun pasti.
Keesokan harinya, sekolah terasa lebih tenang. Aku mulai merasa sedikit lebih nyaman, meskipun perasaan cemburu itu masih terkadang muncul, terutama saat melihat Asha yang masih sering berbicara dengan Rio. Namun, aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, dan mengalihkan perhatianku pada pelajaran yang sedang berlangsung.
Saat jam istirahat tiba, aku duduk di tempat biasa, di bawah pohon besar di taman sekolah. Aku menikmati keheningan sejenak sebelum Rio datang mendekat. Wajahnya terlihat cerah, seperti biasa. Dia menyapaku dengan senyuman lebar yang selalu membuat hatiku berdebar.
"Hey, Elina! Apa kabar?" sapanya dengan semangat.
Aku mengangguk, tersenyum. "Baik, Rio. Kamu sendiri?"
"Aku baik juga," jawabnya sambil duduk di sebelahku. "Ada yang menarik yang kamu pelajari di kelas tadi?"
Aku mengangkat bahu. "Sebenarnya tidak banyak. Tapi, aku suka pelajaran bahasa Indonesia. Gurunya cukup seru, dan dia banyak memberi contoh yang mudah dimengerti."
Rio tertawa kecil. "Aku juga suka pelajaran itu, tapi aku lebih suka pelajaran fisika. Meskipun susah, tapi aku suka tantangannya."
Kami mulai berbicara lebih banyak tentang pelajaran-pelajaran yang kami sukai. Ternyata, meskipun kami berbeda dalam beberapa hal, ada banyak hal yang bisa kami bicarakan bersama. Percakapan kami terasa begitu alami, seperti tidak ada jarak di antara kami.
Namun, saat Asha melintas dengan teman-temannya, aku merasa sedikit cemas. Asha tersenyum ke arah Rio, dan meskipun Rio hanya membalas dengan senyuman biasa, perasaan cemburu itu kembali muncul. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri.