Hari Selasa kembali datang, dan seperti biasanya, aku duduk di bangku belakang. Namun, kali ini, aku merasa ada yang berbeda. Semua terasa sedikit lebih cerah, tapi juga lebih penuh dengan perasaan yang sulit kuungkapkan. Rio duduk di sebelahku, dan aku bisa merasakan getaran yang tak biasa di antara kami.
Dia terlihat lebih tenang, lebih rileks dari biasanya, seolah dia telah menemukan keseimbangannya. Tapi aku tahu dia sedang berusaha menenangkan diri, sama seperti aku. Kami tidak lagi hanya teman biasa, tapi masih ada keraguan yang terpendam di antara kami, seperti dua orang yang saling menunggu untuk memulai percakapan yang lebih dalam.
"Selasa lagi," kata Rio sambil tersenyum kecil, menyadari bahwa kami berdua seolah terjebak dalam rutinitas kecil ini. "Seperti biasanya."
Aku tersenyum kecut, sedikit gugup. "Iya, Selasa lagi," jawabku, berusaha bersikap santai. "Tapi ada yang berbeda kali ini."
"Apaan?" Rio menoleh, menatapku dengan penuh rasa ingin tahu.
Aku terdiam sejenak, bingung bagaimana mengungkapkan apa yang terasa di hatiku. "Aku cuma merasa... kita harus bicara tentang hal ini."
Rio terkejut mendengar kalimat itu. "Hal apa?" tanyanya, suaranya mengandung ketegangan.
"Aku nggak tahu, Rio," jawabku jujur. "Aku cuma... merasa seperti ada yang berubah antara kita, dan aku nggak tahu kenapa aku bisa cemburu seperti itu."
Rio terdiam sejenak, dan aku bisa melihat ekspresinya berubah menjadi lebih serius. "Elina, aku nggak mau kamu merasa seperti itu. Aku... aku nggak bisa menjanjikan apa-apa, tapi aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman."
Aku menatapnya, merasa lega sekaligus bingung. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Rio," jawabku dengan suara pelan. "Tapi kadang-kadang, perasaan itu datang tanpa kita bisa mengontrolnya."
Rio mengangguk, menyadari perasaanku. "Aku ngerti. Tapi, Elina, aku ingin kamu tahu bahwa aku juga nggak bisa mengabaikan kamu. Aku cuma bingung, karena aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Aku terdiam sejenak, menyadari bahwa kami berdua sama-sama ragu. Namun, meskipun ada keraguan itu, ada juga sesuatu yang mulai mengikat kami. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, atau mungkin ini hanya sebuah fase dalam persahabatan kami. Tapi yang jelas, aku tahu perasaan ini tidak bisa dipendam selamanya.
"Rio..." aku mulai, menatap matanya. "Apa kamu pernah merasa kalau ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman? Aku tahu kita sudah punya kebiasaan bersama, tapi apakah kamu merasa kita... bisa lebih dari itu?"
Rio menatapku dengan mata yang dalam, seolah sedang mencari jawaban yang tepat. "Aku... aku nggak tahu," katanya pelan. "Tapi aku merasa kita berdua bisa lebih dari itu. Hanya saja, aku nggak tahu bagaimana cara kita menuju ke sana."
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit lebih ringan. "Kita nggak perlu terburu-buru, Rio. Aku hanya ingin kita tetap seperti ini, tapi jika memang ada perasaan lebih, kita harus bicara lagi."
Rio mengangguk setuju, dan kami kembali melanjutkan obrolan santai kami. Meskipun percakapan ini tidak menyelesaikan semuanya, aku merasa ada sesuatu yang berubah antara kami. Kami tidak lagi hanya teman biasa, tetapi dua orang yang saling mencoba mengerti perasaan masing-masing.
Hari itu, kami kembali menjalani rutinitas kecil kami dengan perasaan yang sedikit lebih jelas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku merasa lebih siap untuk menghadapi apapun yang datang. Mungkin, cinta itu memang datang perlahan, tanpa perlu dipaksakan.
Saat bell berbunyi, menandakan waktu istirahat berakhir, aku berjalan keluar dari kelas bersama Rio. Kami tidak berbicara lebih banyak, namun ada kenyamanan dalam keheningan itu—sebuah keheningan yang terasa penuh makna.
Mungkin ini memang awal dari perjalanan yang lebih panjang.
Hari-hari setelah percakapan kami terasa sedikit lebih ringan, meski tetap ada ketegangan kecil yang mengintai. Kami masih saling berbicara seperti biasanya, berbagi cerita ringan, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Aku merasakan kedekatan yang lebih dalam, meskipun belum ada kata-kata yang mengungkapkan semuanya. Kami hanya saling memahami, dalam diam.
Selasa lagi, dan aku kembali duduk di tempat yang sama. Rio juga tidak jauh dariku, duduk di bangku sebelah, tetapi kali ini aku merasa ada perubahan dalam sikapnya. Dia tampak lebih perhatian, lebih sering tersenyum padaku, dan sepertinya dia juga sedang berusaha menyesuaikan diri dengan perasaan yang sedang berkembang di antara kami.
"Selasa lagi," Rio berkata, menyapa dengan senyum hangat, sedikit lebih santai dari biasanya. "Kali ini, kita harus benar-benar menikmati hari ini."
Aku tertawa kecil, merasa sedikit gugup, tapi juga senang. "Iya, aku rasa kamu benar. Mungkin kita bisa coba sesuatu yang baru hari ini?"
Dia mengangguk, tampak tertarik dengan ide itu. "Apa yang kamu pikirkan?"
Aku memikirkan sesuatu yang sederhana saja, sesuatu yang tidak terlalu memaksa. "Bagaimana kalau kita coba jalan-jalan di taman setelah sekolah selesai? Aku tahu tempat yang tenang, dan rasanya kita bisa lebih nyaman berbicara di sana."
Rio menatapku sejenak, lalu tersenyum. "Itu terdengar bagus. Aku juga butuh waktu untuk berpikir dan santai setelah seminggu yang sibuk."