Minggu berlalu setelah pertemuan kami yang tegang di kantin. Seperti yang dijanjikan, aku dan Elina akhirnya makan siang bersama lagi. Kami duduk di tempat yang sama, namun ada perasaan berbeda yang menggantung di udara—sesuatu yang lebih dalam daripada sebelumnya. Aku tidak bisa mengatakan itu adalah ketegangan, tapi ada semacam keheningan yang menyelimuti kami berdua, seakan-akan kami masing-masing sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Aku memulai percakapan dengan topik yang ringan, berharap itu akan mengurangi kecanggungan. "Gimana tugas seni itu, sudah selesai?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang mengganjal.
Elina tersenyum, mengangguk. "Udah, kok. Cuma tinggal nambahin beberapa detail di bagian latar belakang. Kamu sendiri gimana?"
Aku menghela napas lega. "Sama, udah hampir selesai. Pasti bisa kita kerjain bareng, kan?"
"Ya, pastinya," jawab Elina dengan senyum yang lebih lebar, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang masih tersisa di sana—sesuatu yang belum sepenuhnya diselesaikan.
Kami melanjutkan makan siang dengan percakapan ringan, tetapi aku terus merasakan ada jarak yang tidak bisa dijelaskan. Itu bukan masalah besar, tapi cukup untuk membuatku merasa gelisah. Perasaan cemburu yang muncul minggu lalu masih membekas, meskipun aku berusaha keras untuk menepisnya. Namun, apa yang lebih membuatku bingung adalah sikap Elina yang tampaknya semakin menjauhkan diri tanpa alasan yang jelas. Dia tidak sepenuhnya dingin, tetapi sikapnya mulai berubah.
Setelah makan, kami berjalan menuju kelas dengan langkah yang agak terputus-putus. Tak lama setelah itu, Elina meminta maaf lagi, dengan cara yang agak tidak biasa.
"Rio," katanya, menatapku dengan serius, "aku mau minta maaf soal minggu lalu. Aku tahu kalau aku mungkin bikin kamu merasa nggak nyaman, terutama dengan Anya."
Aku terdiam sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu. Tapi aku juga merasa ada sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang belum terungkap. "Nggak apa-apa, Elina. Aku cuma sedikit cemas, itu aja," jawabku dengan suara yang agak ragu.
Elina mengangguk perlahan. "Aku ngerti. Aku nggak mau kamu merasa kayak gitu. Kadang, aku memang nggak tahu harus gimana."
Aku hanya bisa tersenyum kecil. "Aku ngerti, Elina. Kita kan nggak selalu tahu harus bagaimana."
Saat kami sampai di depan kelas, Elina berhenti sejenak. "Rio," katanya, dengan nada yang lebih serius. "Aku... aku ingin kita tetap seperti ini, tetap jadi teman yang bisa saling mendukung. Tapi ada satu hal yang aku nggak tahu gimana cara bilangnya."
Aku menatapnya dengan serius, merasakan sesuatu yang berat di ucapannya. "Apa itu?" tanyaku, merasa hati mulai berdebar.
"Kadang, aku merasa seperti aku nggak layak jadi bagian dari hidup kamu. Maksudku... kamu jauh lebih baik dari aku," ujar Elina dengan suara yang sedikit gemetar.
Aku terkejut, merasa bingung dengan kata-katanya. "Kenapa kamu ngomong gitu, Elina?" tanyaku, berusaha mencari jawaban dari sesuatu yang tampak seperti kebingungannya.
Elina menghela napas. "Karena aku... aku takut kalau aku hanya bakal jadi beban buat kamu. Aku nggak ingin hubungan kita jadi aneh karena masalah-masalah pribadi aku."
Aku bisa merasakan kegelisahan yang menguasai Elina. Tentu saja aku tidak ingin dia merasa seperti itu, tapi aku juga tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah sisi dari Elina yang baru aku lihat—fragil dan penuh kekhawatiran. Sebelumnya, dia selalu tampak kuat, tenang, dan terkendali. Kini, aku melihat sisi rapuh yang selama ini dia sembunyikan.
"Elina," kataku dengan lembut, "aku nggak pernah merasa kamu jadi beban. Justru, kamu yang bikin hidup aku lebih berwarna. Jangan pernah merasa seperti itu, ya?"
Dia menatapku dengan mata yang mulai berbinar. "Tapi..."
"Tidak ada tapi," jawabku tegas. "Aku ingin kamu tetap jadi dirimu sendiri, Elina. Kita semua punya kelemahan, tapi itu justru membuat kita saling mendukung. Aku di sini, bukan karena kamu sempurna, tapi karena aku ingin mengenal kamu, termasuk sisi-sisi yang tak sempurna itu."
Elina terdiam sejenak, seakan mencerna kata-kataku. Kemudian, dia tersenyum dengan pelan. "Makasih, Rio. Aku... aku senang kita bisa bicara seperti ini."
Aku membalas senyumannya. "Aku juga senang bisa mendengarkanmu."
Di saat itu, aku merasa ada kelegaan yang mulai mengalir di antara kami. Meskipun masih banyak hal yang belum jelas, setidaknya kami mulai saling membuka diri. Kadang, perasaan itu tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata besar. Cukup dengan mendengarkan, memahami, dan memberi ruang untuk kekhawatiran yang tak terucapkan.
Setelah itu, kami berjalan bersama menuju kelas, tetapi kali ini, tidak ada lagi ketegangan di antara kami. Hanya ada perasaan saling mengerti, dan mungkin, itu adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Hari-hari berlalu setelah percakapan mendalam itu, dan meskipun aku merasa bahwa ada kemajuan, perasaan cemas tetap mengganggu pikiranku. Elina seolah menjadi lebih pendiam dan lebih introvert dari biasanya. Aku tahu dia berusaha menahan segala perasaan yang mungkin belum bisa dia ungkapkan, tetapi aku tak bisa sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi di benaknya.
Di tengah-tengah semua kebingunganku, aku mulai menyadari sesuatu yang aneh. Ada perubahan dalam cara kami berinteraksi—lebih dari sekadar sikap Elina yang lebih tertutup. Aku merasakan adanya ketegangan yang tumbuh setiap kali kami bersama. Itu bukan lagi ketegangan yang disebabkan oleh ketidakpastian, melainkan semacam kesepian yang kami rasakan bersama meskipun kami selalu berada dalam satu ruang yang sama.
Minggu itu, aku memutuskan untuk mengajak Elina pergi ke sebuah kafe yang cukup tenang di pinggiran kota. Tempat itu terkenal dengan suasananya yang nyaman dan damai—cocok untuk berbicara dengan lebih terbuka. Aku berharap, di tempat yang jauh dari keramaian, kami bisa berbicara lebih lepas, tanpa gangguan dari apapun.
Setibanya di sana, kami duduk di meja pojok yang agak tersembunyi dari pengunjung lain. Udara sore yang segar membawa perasaan lebih rileks, meskipun suasana hati kami masih canggung. Elina duduk di hadapanku dengan senyum tipis, tetapi aku bisa melihat betapa sulitnya baginya untuk memulai percakapan.
"Elina," panggilku perlahan, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Dia mengangkat wajahnya, matanya sedikit terkejut. "Apa itu, Rio?" jawabnya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.