Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Aku terbangun dengan perasaan yang aneh—sebuah perasaan yang menyatukan ketenangan dan kebingungannya sendiri. Seolah-olah setiap langkah yang aku ambil saat ini, akan membawa aku lebih dekat pada kenyataan yang selama ini aku hindari. Namun, di sisi lain, aku juga merasakan kedamaian yang belum pernah ada sebelumnya.
Aku menatap Elina yang masih tertidur di sampingku. Dia terlihat begitu tenang, wajahnya tanpa beban, seperti tidak ada yang harus dia khawatirkan. Aku tahu itu hanya tampaknya saja, karena di balik itu, banyak hal yang belum dia ungkapkan. Begitu banyak rasa yang masih terpendam di dalam dirinya.
Aku menarik napas panjang dan melempar pandangan keluar jendela. Langit pagi itu tampak cerah, namun dalam hatiku, ada banyak hal yang masih menggelayuti. Masih ada banyak ketidakpastian tentang hubungan ini, tetapi aku merasa bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk menghadapi semuanya.
Beberapa menit kemudian, Elina terbangun. Matanya masih sedikit sembab, tanda dia baru saja terlelap dengan nyenyak. Namun, ketika dia melihatku, ada senyuman yang terbit di bibirnya—senyuman yang menenangkan hatiku.
"Selamat pagi, Rio," katanya dengan suara serak, memandangi aku dengan tatapan lembut.
"Selamat pagi, Elina," jawabku, membalas senyumnya. "Sudah siap untuk menjalani hari ini?"
Elina mengangguk perlahan. "Aku rasa aku mulai siap. Setidaknya, aku sudah merasa sedikit lebih baik."
Aku tahu bahwa, meskipun dia berkata seperti itu, perasaan dalam dirinya masih rumit. Ada banyak pertanyaan yang menggelisahkan hatinya, dan aku bisa merasakannya. Tapi aku juga tahu, perubahan tidak datang dengan cepat. Setiap hal baik yang terjadi, harus dimulai dengan langkah kecil. Dan aku siap untuk berjalan bersamanya, seiring waktu yang kami lalui.
Pagi itu, kami memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari rumah. Suasana kafe yang tenang dan suasana yang lebih santai membuat kami bisa berbicara lebih leluasa, jauh dari kegelisahan dan beban hidup yang biasanya kami bawa.
Saat kami duduk di meja, Elina mulai membuka percakapan dengan lembut. "Aku ingin bicara lebih banyak tentang kita, Rio. Tentang apa yang kita rasakan dan bagaimana kita bisa melanjutkan semuanya."
Aku mengangguk. "Aku ingin mendengarkan, Elina. Apa pun yang kamu rasakan, apapun yang mengganggu pikiranmu, aku akan mendengarkannya."
Dia menarik napas dalam-dalam, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan apa yang selama ini dia simpan. "Aku tahu aku nggak bisa terus menahan perasaan ini. Aku sudah lama merasa bingung dengan apa yang aku inginkan, dengan apa yang harus aku lakukan. Tapi, sekarang, aku sadar, aku nggak bisa terus berlarut-larut dalam kebingunganku."
Aku meraih tangannya di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. "Elina, kamu tidak perlu merasa terbebani. Aku di sini, dan aku ingin kita bisa melewati ini bersama. Aku ingin tahu apa yang kamu inginkan, apa yang kamu rasa."
Dia menunduk, tampaknya berpikir sejenak, sebelum akhirnya menatapku dengan tatapan penuh kepercayaan. "Aku takut, Rio. Takut kalau aku terlalu berharap, kalau aku terlalu mempercayakan hatiku padamu. Aku takut kalau pada akhirnya, aku akan terluka lagi."
Aku menghela napas panjang, mencoba untuk mengerti perasaannya. "Aku mengerti, Elina. Aku tahu betapa besar rasa takut itu, dan aku tahu kamu sudah melewati banyak hal yang sulit. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu berusaha untuk membuat kamu merasa aman."
Mata Elina mulai berkaca-kaca. Aku tahu bahwa kata-kataku bukanlah solusi instan, tetapi setidaknya, aku berharap bisa memberi dia sedikit ketenangan. "Aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan selalu mudah, Elina. Tapi aku bisa berjanji untuk terus berusaha, untuk terus ada untukmu."
Elina mengangguk, air mata mulai mengalir dari sudut matanya. "Aku percaya padamu, Rio. Aku hanya... ingin kita tidak hanya berbicara tentang perasaan ini, tapi juga tentang masa depan kita. Tentang apa yang akan terjadi setelah ini."
Aku menatapnya dengan serius. "Aku ingin masa depan kita, Elina. Aku ingin ada bersama kamu, untuk menjalani hidup ini dengan segala yang ada di depan kita. Aku percaya kita bisa melakukannya."
Dia tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku melihat kilau kebahagiaan dalam matanya. Kami duduk bersama, berbicara tentang apa yang kami inginkan, apa yang kami harapkan. Meskipun jalan kami tidak selalu mudah, kami tahu bahwa kami memiliki satu sama lain. Kami tidak perlu mencari jawaban instan, karena perasaan ini adalah perjalanan yang harus kami jalani bersama, seiring waktu yang akan membimbing kami.
Hari itu, kami berjalan kembali ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Tidak ada yang berubah secara instan, tetapi ada sebuah kepastian kecil yang mulai tumbuh. Kami tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun masih banyak yang harus kami hadapi, kami tidak perlu melakukannya sendirian.
Dengan langkah-langkah yang penuh harapan, kami menuju ke masa depan yang penuh ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan kemungkinan. Karena yang terpenting adalah kami berjalan bersama, melewati setiap tantangan yang datang, dan terus mencintai satu sama lain.
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak percakapan itu. Meskipun banyak yang belum sepenuhnya jelas, perasaan di antara kami berdua mulai menemukan bentuk yang lebih pasti. Setiap langkah yang kami ambil bersama membawa kami lebih dekat pada kenyataan bahwa hubungan ini, meskipun penuh ketidakpastian, memiliki potensi untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih indah.
Namun, meskipun kami merasa lebih tenang, ada perasaan yang masih menggelayuti Elina. Sesekali, aku bisa melihatnya melamun atau kehilangan fokus saat berbicara. Aku tahu bahwa meskipun dia ingin percaya, ada keraguan yang belum sepenuhnya hilang dari hatinya.
Pagi itu, aku memutuskan untuk membawanya ke tempat yang lebih tenang, tempat yang bisa membuat kami melupakan segala beban sejenak. Aku mengajaknya untuk menghabiskan waktu di taman kota, tempat yang selalu kami kunjungi ketika masih muda. Taman itu, dengan pepohonan rindang dan udara segar, selalu berhasil memberikan kedamaian bagi siapa pun yang datang.
Kami duduk di bangku taman, menikmati secangkir kopi di bawah naungan pohon besar. Angin sepoi-sepoi mengelus wajah kami, dan aku merasakan ketenangan yang jarang kami temui di tengah rutinitas sehari-hari.
"Elina," panggilku lembut, menarik perhatiannya. Dia menoleh padaku dengan tatapan yang penuh keingintahuan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Dia terdiam sejenak, seperti mencari-cari kata-kata yang tepat. "Aku... aku hanya merasa bingung, Rio," jawabnya akhirnya, suaranya pelan. "Aku ingin melangkah maju, tapi aku juga takut."