Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #19

19

Sudah dua minggu sejak kunjungan kami ke Elok Park. Rasanya aneh menyadari bahwa hal sekecil jalan-jalan bisa membawa perubahan besar dalam hubungan. Sejak hari itu, kami jadi lebih terbuka—tak hanya dalam berbagi tawa, tapi juga dalam menghadapi ketakutan dan kekhawatiran.

Hari ini, aku sedang duduk di ruang kerja, menatap naskah yang belum kunjung selesai. Ide-ide yang biasanya mengalir, sekarang seperti tersendat.

Sampai Elina datang.

Tanpa banyak bicara, ia duduk di lantai, bersandar pada lututku, lalu mengangkat wajah menatapku.

"Aku baru dari tempat Mama," katanya pelan.

Aku menutup laptop. "Gimana?"

Ia menghela napas. "Mama bilang dia nggak pernah benar-benar marah sama aku. Dia cuma takut aku terluka lagi. Dan aku... mungkin terlalu keras menutup diri."

Aku membelai rambutnya. "Kamu udah berani melangkah. Itu nggak mudah."

"Dan kamu... selalu di sini," gumamnya, lirih.

Aku tak menjawab. Hanya menggenggam tangannya, seperti yang selalu kulakukan saat kata-kata terasa tak cukup.

Elina memandangku. "Kamu tahu, kadang aku ngerasa bersalah karena hubungan kita nggak selalu bahagia. Kadang kita berantem, saling ngambek, bahkan saling menyakiti tanpa sadar."

Aku tersenyum. "Hubungan kita nggak harus selalu sempurna, Lin. Yang penting, kita tetap pilih untuk tetap tinggal. Meski hujan. Meski badai."

Dia menunduk, menyandarkan kepalanya di pahaku. "Aku suka kamu ngomong kayak gitu."

"Kamu suka aku karena kata-kataku, atau karena aku?" tanyaku menggoda.

Dia tertawa. "Dua-duanya. Tapi yang paling aku suka... karena kamu selalu jadi tempat pulang."

Kami duduk dalam diam, tapi hatiku penuh. Dalam hidup yang kadang kacau dan tak menentu, aku punya satu hal yang pasti: Elina.

Dan mungkin, dia pun merasakan hal yang sama.

Malam itu, sebelum pulang, Elina meninggalkan selembar catatan di meja kerjaku. Tulisan tangannya sedikit miring, tapi aku bisa membacanya dengan jelas:

"Kita nggak perlu jadi sempurna. Tapi aku harap, kita bisa terus tumbuh—bersama."

Pagi itu, aku menemani Elina ke toko buku kecil di pojokan kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi semasa kuliah. Langkahnya pelan tapi mantap, seperti sedang menyusuri kenangan yang telah lama tertinggal.

"Aku dulu sering ke sini waktu lagi patah hati," katanya sambil menyentuh sampul buku puisi yang tergeletak di rak.

"Dan sekarang?" tanyaku, berdiri di sebelahnya.

"Sekarang... aku ke sini karena aku sedang belajar mencintai," jawabnya lirih.

Aku tersenyum, tak banyak berkata. Hanya menggenggam tangannya, erat.

Lihat selengkapnya