Kami kembali ke Jakarta di hari Minggu sore. Sepanjang perjalanan, Elina lebih banyak diam, sesekali hanya mengulas senyum kecil saat kupegang tangannya. Rumah masa kecilnya sudah ia tinggalkan lagi, tapi kali ini bukan karena ingin melarikan diri—melainkan karena sudah selesai dengan yang dulu tertinggal.
Sesampainya di apartemen, dia membaringkan tubuh di sofa dan menatap langit-langit. "Tahu nggak, dulu gue kira, satu-satunya rumah yang gue punya cuma yang di Semarang itu."
"Dan sekarang?"
Dia menoleh ke arahku. "Sekarang gue sadar... rumah juga bisa berarti tempat di mana hati kita merasa tenang. Mungkin, kamu adalah rumah gue yang lain."
Aku tertawa kecil, menggoda, "Cie... akhirnya mengaku juga."
Dia melempar bantal ke arahku, tapi tawanya lepas, ringan. Suasana di antara kami terasa lebih cair, seolah perjalanan kemarin membuka pintu-pintu yang lama tertutup.
Hari-hari berikutnya, Elina mulai kembali ke kantornya. Aku tetap dengan pekerjaanku sebagai jurnalis lepas. Tapi ada yang berbeda—dia tak lagi menghindari pembicaraan soal masa depan.
Suatu malam, saat kami makan malam di balkon, Elina berkata, "Raka... kalau nanti gue bilang gue siap, kamu masih mau sama gue, kan?"
Aku menatapnya lekat-lekat. "Elina, bahkan kalau kamu belum siap pun, gue tetap di sini."
Dia terdiam, lalu menggenggam tanganku. "Terima kasih udah sabar. Kadang, gue bahkan nggak sabar sama diri sendiri."
"Kita nggak sedang lomba. Kita cuma sedang berjalan bareng."
Beberapa minggu berlalu. Hubungan kami semakin erat, tapi tentu tidak tanpa riak. Ada kalanya dia masih menarik diri saat ingatan masa lalu datang tiba-tiba. Ada kalanya aku merasa tak berdaya menghadapi emosinya. Tapi kami belajar untuk tetap saling menggenggam, meski badai kecil datang.
Suatu malam, di antara suara hujan dan teh hangat, Elina berkata, "Gue pengin ngajak lo ketemu seseorang. Mantan gue."
Aku mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Dia orang yang pernah hampir jadi suami gue. Gue pikir... kita perlu menutup cerita itu dengan benar. Lo ikut, ya?"
Aku terdiam. Ada rasa tak nyaman, tentu. Tapi juga ada keberanian dari Elina yang tak ingin aku abaikan.
"Kalau itu penting buat kamu, ya. Gue ikut."
Dia tersenyum. "Terima kasih."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tahu: mencintai Elina bukan cuma soal hari-hari manis. Tapi juga kesiapan menemaninya menghadapi segala yang pernah ia hindari.
Kami duduk di sebuah kafe kecil yang tenang di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Elina menggenggam tanganku erat di bawah meja, sesuatu yang jarang ia lakukan di ruang publik. Matanya menatap ke luar jendela, menunggu seseorang.
Tak lama, seorang pria masuk. Tingginya hampir sama denganku, dengan gaya berpakaian rapi tapi santai. Dia melihat ke arah kami, lalu tersenyum kaku. Elina berdiri menyambutnya. "Hai, Ardi."
"Lina." Dia menyambut tangan Elina, lalu mengangguk padaku. "Raka, ya? Gue Ardi."
Aku menjabat tangannya. "Iya, Raka."
Tak ada ketegangan berlebih, tapi juga tak sepenuhnya cair. Kami duduk. Elina memulai.
"Gue ajak lo ketemu karena... gue pengin mengucapkan terima kasih. Dan minta maaf."