Minggu baru datang membawa perubahan. Setelah percakapan panjang dengan Elina beberapa hari lalu, kami berdua merasa lebih ringan. Setiap pertemuan terasa lebih nyaman dan penuh makna. Aku bisa merasakan, meskipun kami belum sepenuhnya bebas dari keraguan, ada kemajuan yang berarti dalam hubungan kami.
Hari itu, setelah sekolah berakhir, Elina mengajakku ke sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan. Kafe itu dikenal dengan suasananya yang tenang dan kopi panas yang enak. Kami duduk di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari keramaian, dengan pemandangan luar yang cukup menenangkan.
"Kita bicara serius, ya?" kata Elina setelah beberapa saat duduk dalam keheningan.
Aku mengangguk pelan, menyadari bahwa ini adalah momen yang sudah kami tunggu. "Tentang apa?"
"Tentang kita," jawabnya, matanya tak bisa berbohong. "Aku merasa selama ini aku terlalu menahan diri. Aku takut, takut akan semua perubahan yang terjadi."
Aku menyandarkan punggungku pada kursi, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Elina. "Aku ngerti kok. Aku juga merasa hal yang sama, Elina. Kita nggak perlu buru-buru. Yang penting, kita jalan bareng."
Elina tersenyum, namun matanya kembali menunjukkan kegelisahan. "Tapi aku nggak mau cuma jadi beban buat kamu. Aku nggak mau hubungan kita penuh dengan keraguan dan ketakutan."
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. "Elina, kamu nggak pernah jadi beban buat aku. Kita ini jalan bareng. Kalau ada masalah, kita hadapi bareng. Aku cuma ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian."
Elina menunduk, lalu menggigit bibir bawahnya, seakan berpikir sejenak. "Aku hanya... merasa cemas. Aku takut kehilangan diri aku sendiri dalam hubungan ini. Kadang, aku merasa seperti aku harus berubah supaya bisa diterima."
Kata-kata itu cukup mengena di hatiku. Aku tahu persis apa yang dia rasakan. Banyak orang, termasuk aku sendiri, sering merasa tertekan untuk menjadi seseorang yang mereka anggap layak atau sempurna dalam hubungan. Tapi yang aku inginkan adalah Elina yang asli, yang apa adanya, tanpa perlu berpura-pura.
"Elina," aku mulai dengan suara yang lembut, "kamu nggak perlu berubah. Kamu sudah sempurna buat aku, seperti kamu sekarang. Kalau kamu merasa tertekan, kita bisa mencari jalan keluar bareng."
Dia mengangkat kepala, menatapku dengan tatapan yang lebih tenang. "Kamu yakin? Aku nggak ingin kamu kecewa sama aku."
Aku tersenyum. "Aku nggak akan kecewa. Aku di sini, bersama kamu, bukan untuk mengejar kesempurnaan. Aku di sini untuk kamu. Apa adanya."
Elina menghela napas panjang, seolah melepaskan beban berat yang ada di dadanya. "Terima kasih, Raka. Aku... aku rasa aku butuh waktu untuk benar-benar bisa percaya lagi pada diri sendiri."
Aku mengangguk. "Dan aku akan ada di sini menunggu, sabar. Kita punya waktu, Elina. Kita punya waktu."
Kami berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang ada di sekitar kami. Di luar jendela, angin berhembus pelan, dan aku merasa, meskipun dunia di luar sana penuh dengan kekhawatiran, di sini kami menemukan tempat yang aman untuk saling berbagi.
Setelah beberapa saat, Elina meraih cangkir kopinya dan menyesapnya pelan. "Raka, ada satu hal lagi yang ingin aku bicarakan."
Aku mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa itu?"
Elina menatapku, matanya penuh dengan ketegasan dan kejujuran. "Aku ingin kita mulai membicarakan masa depan. Aku ingin kita punya lebih banyak rencana bareng, nggak hanya untuk hari ini, tapi juga untuk nanti."
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Elina. Ini adalah langkah besar, dan aku tahu ini bukan keputusan yang mudah baginya. Tapi aku juga tahu, ini adalah tanda bahwa hubungan kami mulai berkembang ke arah yang lebih serius. Kami berdua tidak lagi hanya berbicara tentang hari ini, tapi tentang apa yang akan datang.
Aku meraih tangan Elina lagi, menggenggamnya erat. "Aku juga ingin itu, Elina. Aku ingin masa depan kita, dan aku ingin kita berjuang bareng."
Dia tersenyum, senyum yang lebih lepas dan lebih tulus. "Kalau begitu, mari kita mulai."
Hari-hari berlalu, dan setiap pertemuan dengan Elina semakin memberi kami ruang untuk tumbuh lebih dekat. Meskipun begitu, aku tahu bahwa hubungan kami tidak akan selalu mulus. Kami masih harus menghadapi tantangan, baik itu dari dalam diri kami masing-masing maupun dari orang-orang di sekitar kami. Namun, dengan niat yang kuat untuk saling memahami, kami terus berjalan bersama.
Pagi itu, kami bertemu di taman dekat rumah. Elina sedang duduk di bangku taman, menunggu sambil membaca buku, seperti yang sering dia lakukan ketika ingin menenangkan pikiran. Aku mendekatinya dengan langkah santai, merasa tenang begitu melihat senyumannya yang sudah menanti.
"Hai," aku menyapanya, duduk di sampingnya.
Elina menoleh, matanya berbinar. "Hai, Raka. Lagi ngapain aja tadi?"
"Cuma ngerjain beberapa tugas," jawabku, sedikit tersenyum. "Bosen juga sih, tapi lebih bosen kalau nggak ketemu kamu."
Elina tertawa kecil, membuat suasana menjadi lebih ringan. "Kamu, Raka, memang selalu bisa bikin suasana jadi lebih santai."