Hari-hari setelah pertemuan dengan Dito terasa lebih tenang. Elina dan aku semakin dekat, dan aku mulai merasa lebih percaya diri dalam hubungan ini. Kami berbicara lebih banyak tentang hal-hal kecil, berbagi tawa, dan menyelesaikan masalah bersama tanpa merasa terbebani. Meskipun ada rasa cemburu yang sempat muncul, aku tahu itu adalah bagian dari proses untuk lebih mengenal satu sama lain. Aku belajar untuk lebih mengandalkan perasaan dan instingku, dan yang terpenting, belajar untuk percaya pada Elina.
Namun, tak selamanya semuanya berjalan mulus. Suatu pagi, saat kami sedang duduk di sebuah kafe kecil setelah kelas, Elina tiba-tiba terdiam. Tatapannya jauh, seakan-akan pikirannya sedang terbang jauh dari sini. Aku memperhatikannya dengan seksama, mencoba menangkap apa yang sedang terjadi.
"Elina?" panggilku pelan, sedikit khawatir. "Kamu kenapa?"
Elina menghela napas, menunduk sedikit, lalu kembali menatapku. "Aku cuma... lagi mikirin banyak hal," jawabnya pelan.
"Masalah apa?" tanyaku lembut, meskipun aku tahu bahwa terkadang Elina butuh waktu untuk membuka diri sepenuhnya.
"Aku cuma nggak mau kamu merasa... terbebani dengan hubungan kita," katanya, matanya mencari-cari jawabanku.
Aku menatapnya, merasa sedikit bingung. "Kenapa kamu bilang begitu? Aku merasa kita baik-baik aja, kan?"
"Ya, aku tahu," Elina mengangguk, "Tapi... kadang aku merasa seperti ada yang hilang dalam diriku. Aku masih bingung soal masa depan dan... apakah aku sudah siap untuk semuanya."
Aku mendengarkan dengan hati-hati, merasa bahwa Elina sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan kami. Ada keraguan yang belum terungkap, dan aku ingin memberinya ruang untuk bicara lebih lanjut.
"Apakah ini tentang kita?" tanyaku dengan hati-hati.
Elina menunduk, jarinya menggenggam gelasnya lebih erat. "Mungkin. Aku nggak tahu bagaimana cara mengungkapkan semuanya, Raka. Tapi kadang aku merasa takut. Takut kalau aku nggak bisa memenuhi ekspektasi, takut kalau aku nggak cukup untuk kamu."
Aku bisa merasakan betapa beratnya perasaan yang sedang dipikul Elina. Setiap kata yang dia ucapkan terdengar begitu tulus, dan aku tahu bahwa ini adalah momen yang penting untuk kami berdua. Aku tidak ingin ada ruang untuk keraguan atau ketakutan dalam hubungan kami.
Aku menggenggam tangan Elina dengan lembut, mencoba meyakinkannya. "Elina, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Aku ada di sini bukan untuk mengejar ekspektasi, tapi untuk berjalan bersama kamu. Aku nggak peduli seberapa besar atau kecil langkah kita, yang penting adalah kita saling mendukung."
Elina menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi, Raka... aku takut kalau aku nggak bisa memberikan yang terbaik untuk kita berdua."
"Aku nggak perlu yang terbaik, Elina," kataku dengan suara yang lebih lembut. "Aku cuma butuh kamu yang apa adanya. Kita akan belajar bersama, kita akan tumbuh bersama. Itu yang terpenting."
Elina tersenyum, meskipun ada sisa-sisa kecemasan di matanya. "Aku... aku akan berusaha lebih baik. Aku ingin kita berhasil, Raka."
Aku mengangguk, merasa lebih tenang. "Kita pasti bisa. Asalkan kita percaya satu sama lain, nggak ada yang nggak mungkin."
Kami duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, saling memandang dan merasa bahwa meskipun ada ketidakpastian, kami sudah mulai menemukan arah yang lebih jelas. Kepercayaan adalah pondasi yang kuat, dan itulah yang kami butuhkan untuk menghadapinya bersama.
Setelah beberapa saat, Elina tersenyum lebih lebar, dan kami melanjutkan percakapan tentang hal-hal ringan—bercanda, tertawa, dan menikmati kebersamaan. Meskipun tidak ada solusi instan untuk semua ketakutan yang ada, aku tahu bahwa kami berdua siap untuk berjalan bersama, menghadapinya satu langkah demi satu langkah.
Hari-hari berlalu, dan meskipun tidak semua perasaan keraguan Elina bisa hilang dalam semalam, aku merasa ada kemajuan yang positif. Kami lebih sering berbicara tentang apa yang ada di pikiran masing-masing, dan aku bisa merasakan bahwa komunikasi di antara kami semakin terbuka. Kami mulai tahu lebih banyak tentang satu sama lain—tidak hanya tentang apa yang terlihat di permukaan, tetapi juga tentang hal-hal yang tersembunyi dalam hati.
Suatu sore, setelah beberapa minggu berlalu sejak pembicaraan kami yang menegangkan itu, aku mengajak Elina untuk berjalan-jalan di taman dekat kampus. Udara sore itu sejuk, dan langit tampak cerah, memberi suasana yang tenang dan nyaman. Kami berjalan berdampingan, tidak terburu-buru, menikmati setiap langkah.
Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Elina. Mungkin karena dia mulai merasa lebih percaya diri, atau mungkin karena dia mulai menerima kenyataan bahwa hubungan kami memang tidak sempurna, namun itu adalah hal yang kami pilih untuk jalani bersama. Aku bisa melihat senyum yang lebih lepas di wajahnya, dan itu memberiku rasa damai yang selama ini aku cari.
"Raka," Elina memulai pembicaraan setelah beberapa saat berjalan tanpa kata. "Aku ingin berterima kasih karena udah sabar banget sama aku."