Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #23

23

Pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya, meskipun langit tampak mendung. Elina dan aku berjanji untuk bertemu setelah pelajaran terakhir, dan kami berencana pergi ke kafe kecil di ujung jalan. Itu adalah tempat favorit kami, tempat di mana kami bisa berbicara tanpa gangguan, menikmati secangkir kopi, dan merasa bebas dari tekanan dunia luar. Namun, meskipun tempat itu nyaman, aku bisa merasakan bahwa ada ketegangan yang menguar di udara antara kami berdua.

Elina sedikit terdiam selama perjalanan menuju kafe. Matanya menatap jalanan, seolah-olah ada ribuan pikiran yang berlarian di kepalanya. Aku tahu ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin, saat Aira tiba-tiba muncul dan memunculkan perasaan canggung di antara kami.

"Aku merasa kita seperti terjebak dalam situasi yang tidak bisa kita kontrol," Elina akhirnya berkata dengan suara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Aku menatapnya dengan lembut. "Elina, apa yang kamu rasakan sekarang?"

Dia menarik napas dalam-dalam dan menggelengkan kepala. "Aku tahu Aira hanya ingin bercanda, tapi kadang aku merasa dia terlalu memperhatikan kita. Seolah-olah dia tidak ingin kita punya ruang sendiri."

Aku mengerti kekhawatirannya. Aira adalah teman baik Elina, tetapi terkadang, keinginan Aira untuk menjadi pusat perhatian bisa membuat Elina merasa tidak nyaman. Terlebih lagi, jika aku dan Elina sedang mencoba untuk membangun hubungan yang lebih dalam, kehadiran orang ketiga sering kali bisa menjadi gangguan yang tidak diinginkan.

"Elina, kita harus bicara tentang ini," kataku dengan suara serius. "Aku tahu ini mungkin tidak mudah, tetapi kita harus terbuka satu sama lain. Kalau ada yang mengganggu, kita harus saling berbicara tentang itu, bukan?"

Elina berhenti sejenak, menatapku dengan mata penuh keraguan. Aku tahu dia takut jika kejujuran kami akan mengubah sesuatu di antara kami, atau bahkan merusak hubungan yang baru saja tumbuh ini. Namun, aku yakin bahwa tanpa komunikasi yang jujur, hubungan ini tidak akan pernah benar-benar berkembang.

"Aku takut kalau kita terlalu banyak bicara tentang masalah ini, itu akan membuat semuanya semakin rumit," kata Elina dengan suara penuh kekhawatiran.

"Tapi jika kita diam saja, masalah itu bisa semakin besar. Aku tidak ingin kita terjebak dalam perasaan tidak nyaman karena kita tidak berbicara," jawabku, berusaha meyakinkan Elina.

Kami duduk di kafe yang sudah kami tuju. Aroma kopi yang harum mengisi udara, tapi tidak cukup kuat untuk mengusir ketegangan yang masih ada di antara kami. Elina memegang gelas kopi di tangannya, menatap permukaan kopi yang beriak, seolah mencoba mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting.

"Aku tahu Aira adalah temanku," Elina mulai berkata perlahan, "tapi aku juga tahu dia tidak selalu memahami apa yang aku rasakan. Kadang, aku merasa dia tidak mengerti betapa pentingnya waktu kami bersama, dan itu membuat aku merasa sedikit terpinggirkan."

Aku mengangguk, mencoba memahami perasaannya. "Aku mengerti, Elina. Aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Aku hanya ingin agar kita bisa menikmati waktu bersama tanpa gangguan, tanpa merasa tertekan oleh orang lain."

"Aku ingin bisa lebih terbuka tentang ini, tapi aku takut jika aku terlalu tegas, itu akan merusak hubungan kita dengan Aira," jawab Elina, suaranya penuh kebingungan.

Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatannya. "Kamu tidak perlu takut, Elina. Aku di sini untuk mendengarkanmu. Jika ada yang mengganggumu, kita harus menghadapi itu bersama."

Mata Elina terlihat sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kataku. Dia tersenyum kecil, meskipun masih ada sisa kecemasan di wajahnya. "Terima kasih, Raka. Aku merasa lebih baik bisa berbicara tentang ini."

Aku tersenyum, merasa lega karena kami akhirnya bisa membuka hati kami satu sama lain. "Kita akan menghadapi ini bersama, Elina. Tidak ada yang perlu kita takutkan."

Namun, di luar percakapan kami yang terasa intim itu, aku tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari banyak hal yang perlu kami hadapi bersama. Komunikasi adalah kunci, dan aku bertekad untuk terus membangun kepercayaan itu, meskipun jalan yang harus kami tempuh tidak selalu mulus.

Hari-hari setelah percakapan kami di kafe berjalan dengan lebih tenang, meskipun rasa cemas dan kekhawatiran masih menyelip di hati Elina. Kami tetap melanjutkan rutinitas kami seperti biasa, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang belum selesai di dalam diri Elina. Ada sesuatu yang menggantung, seperti bayangan yang tak bisa dia singkirkan.

Kami memilih untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama, menghindari ketegangan yang bisa muncul jika terlalu banyak orang terlibat dalam dunia kami berdua. Namun, aku tahu bahwa tidak semua hal bisa kita atasi hanya dengan bersama-sama. Ada banyak hal yang perlu kami hadapi, terutama soal Aira.

Pagi itu, kami bertemu di taman dekat kampus, tempat yang selalu kami pilih jika kami ingin berbicara tanpa gangguan. Udara segar dan pepohonan hijau memberi kami ruang untuk lebih terbuka.

"Elina, ada yang ingin aku bicarakan," kataku, memulai percakapan dengan hati-hati.

Dia menatapku, matanya penuh perhatian. "Apa itu?"

"Aira... aku merasa kita perlu bicara dengannya," jawabku, melihat reaksinya.

Elina terdiam sejenak, menatap langit yang cerah. "Aku tahu itu, Raka. Aku juga merasa itu perlu. Tapi, aku takut kalau itu akan membuat semuanya semakin buruk."

Aku menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku akan ada di sini, Elina. Kita tidak bisa terus menghindar. Kalau kita ingin hubungan ini berjalan baik, kita perlu jelas dengan perasaan kita. Tidak hanya satu sama lain, tapi juga dengan Aira."

Elina mengangguk pelan, meskipun aku bisa melihat ketakutan dan keraguan yang masih ada di matanya. "Aku ingin dia tahu bahwa aku peduli padanya, tapi aku juga ingin dia mengerti bahwa aku tidak bisa selalu mengutamakan dia di atas segalanya."

Lihat selengkapnya